[caption caption="Puang Sule' berbaju putih (foto; istimewa)"][/caption]Diaspora Bugis Makassar terkenal luas. Mereka, para perantau dari kaki Pulau Sulawesi itu terkenal karena ketangguhan melaut dan misi dagangnya. Mereka adalah pelaut, pedagang, dan pada saat yang sama terhubung pula dengan kepentingan-kepentingan politik lokal. Sebagian benam dalam konflik berdarah-darah, ada yang menang, ada yang kalah. Sebagian lainnya meninggalkan kampung halaman demi prinsip yang dipegangnya.
Salah satunya Sulaeman.
***
Saya memanggilnya Puang Sule'. Lelaki kelahiran Bone ini mengaku melarikan diri ke Tanah Jawa tahun 1959 kala marak letupan pemberontakan tak puas ke rezim Jakarta. Dia mengaku memberontak, dicari-cari laskar Pemerintah. "Saya tiba di sini karena dulunya jadi pemberontak. Ikut Komandan Siri. Saya lari ke Tanjung Priok naik kapal kayu," katanya saat saya temui di bale-bale rumahnya di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang (31 April 2016).
Tahun 50an hingga 60an, Sulawesi bagian selatan bergolak karena dua pemberontakan Abdul Azil dan Abdul Qahhar Mudzakkar. Kalau melihat tahun pelarian Sule', itu bertautan dengan pemberontakan Andi Azis di Bone. Kapten Andi Azis adalah seorang mantan perwira KNIL. Tujuan pemberontakan Andi Azis adalah mempertahankan keutuhan Negara Indonesia Timur (NIT). Gerombolan yang dipimpin Azis menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI. Salah satu catatan mengenai pemberontakan ini adalah pada tanggal 5 April 1950, Andi Azis dan gerombolannya menyerang dan menduduki tempat-tempat vital bahkan menawan Panglima Teritori Indonesia Timur Letnan Kolonel A.J. Mokoginta.
Kembali ke Sule'. Setelah pelarian ke Tanjung Priuk itu, lelaki usia 87 tahun ini mengaku sempat diboyong Pemerintah pulang kembali ke Bone. Beberapa tahun kemudian. Dia bahkan mengaku pernah naik pesawat di tahun 60an saat kembali ke Tanah Sulawesi. "Sering bolak balik Bone naik pesawat," akunya dengan aksen Betawi campur Bugis.
Pertemuan saya dengan Puang Sule' sungguh sebuah keberuntungan. Saat hendak kembali ke Jakarta, saat menjejak dermaga di Teluk Naga itu untuk pamit, insting saya menggoda---setiap dirimu menjejak pesisir di Jawa atau Sumatera, selalu ada aktor titisan sejarah lantaran diaspora Bugis Makassar itu, nun lampau. "Ada tuh, sono," jawab seorang ibu penjaga kios di mulut dermaga Tanjung Pasir saat saya tanya adakah nelayan Bugis atau Makassar di sini. Benar saja, dia menunjuk dua orang di tepi pantai, satu berkacamata usia 60an, satunya lagi sudah terlihat renta.
Yang usia sepantaran 60an terlihat sibuk sehingga enggan berlama-lama saat saya menyapa, yang terlihat renta duduk di bale-bale menyambut salam saya. Terus terang, tak banyak senyum yang diberikan kecuali cerita masa lalunya. Lelaki tua yang beristrikan perempuan Sunda bernama Ari ini mengaku adalah pionir di Tanjung Pasir setelah wara-wiri di Priuk.
"Dulu ada rumah di situ, sekarang sini aja bareng anak-anak," katanya. Di halaman rumahnya terdapat MCK umum, tempat mereka memberi jasa bagi yang butuh. MCK yang bertetangga dengan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) yang oleh perempuan penjaga kios sedang tak beroperasi karena stok sedang kosong. "Berfungsi sih, cuman lagi kosong aja stoknya," kata perempuan itu.
“Anak saya 5 biji,” kata Sule’ sembari tertawa.
“Saya sempat pulang ke Bone namun masih ada gerombolan, jadi saya lari lagi. Mereka belum menyerah semua. Waktu itu tahun 60an,” kata lelaki yang tidak ingat usianya saat lari ke Tanjung Priuk. “Delapan puluh tujuh umur saya,” imbuh lelaki yang mengaku sempat naik pesawat udara dari Makassar ke Jakarta dengan berhutang pada seseorang. Dia bayar kemudian saat tiba di Jakarta.