Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

135 Likes pada Rindu Rumah Lampau Bugis-Makassar

28 Februari 2016   09:58 Diperbarui: 29 Februari 2016   01:48 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Rumah panggung (foto: Kamaruddin Azis)"][/caption]Saya memilih kuot ini sebagai pengantar, "The past may dictate who we are, but we get to determine what we become— Unknown

Pada ruang dan waktu, kita tiba akhirnya di suasana berbeda. Pada yang lampau, kekinian, juga pada yang tiba. Pada perubahan itu, ada saja yang sepertinya belum sepenuhnya tuntas, tetap terhubung pada lampau, seperti jejak yang selalu hadir di keseharian. Karena kesan baik, pesona atau mungkin saja gairah yang dikandungnya. Bagi saya, mungkin anda juga, masa lalu adalah sepotong surga kemewahan dan suka cita, sebagaimana masa depan, diapun layak dirindu--we get to determine what we become. Begitulah amsalnya.

27 Februari atau 19 jam sebelum tulisan ini dibuat, saya terkesima pada ragam respon sahabat-sahabat Facebook. Adalah foto rumah (dalam bahasa Makassar disebut balla, coba baca ulasan Ipul Daeng Gassing di sini) yang saya ambil di Pulau Kapoposang, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Pangkep, Sulawesi Selatan pada lima tahun silam yang mengundang respon luar biasa.

Luar biasa karena memanen ‘likes’. Saya bukan artis, bukan pula Jokowi haters, bukan pula anti Saipul, tak anti Prabowo. Saya bukan dari mereka yang mencinta status lampau politik dan fans artis yang karena ikatan cinta buta dan karena itu mereka kerap mendulang ‘likes’ dari fans FB. Saya hanya rindu rumah. Salah satu cara memilih jalan pulang. Setuju?

Saya posting foto itu dua kali di FB dan blog. Dan karena kerinduan dan makna yang dikandungnya, saya memposting lagi. Respon yang datang sungguh ibarat air bah di hari kemarau. Ingatan rumah itu bermula saat saya ingat meloncat dari anak tangga karena bikin rusak sesuatu di rumah kami. Saya ingat pula teras rumah yang kami manfaatkan sebagai tempat leyeh-leyeh, bermain, sarapan, tidur siang.

“Jangan tidur di depan teras, jangan angkat kaki, malu dilihat orang,” begitu kata om saya Rasyid Daeng Timung saat lihat saya masih tidur di teras rumah batu di ujung tahun 80an.

Saat itu, saya seperti tak bisa melupa kenangan di rumah tiang, saat terbiasa tidur siang dan angkat kaki di teras rumah (paladang). Punya rumah batu namun laku masih serasa di rumah panggung. Perubahan fisik tak selalu beriringan dengan kebiasaan. Saya rasakan itu.

[caption caption="Rumah di Puntondo (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

Jejak rumah-rumah panggung di kampung, adalah rumah yang menyimpan banyak kenangan. Pada proses kejadiannya, pada gotong royong membangunnya, menyimpan perkakas berusaha, dapur, kayu bakar, gentong, perkakas tenun, dan lain sebagainya. Saya pribadi terkenang, kakek saya Battu Daeng Ngalli’ yang menjadi penghulu rumah, yang meminta kepada ayah untuk menggantung pisang di tiang tengah, simbol agar masa depan penuh nasib baik.

Di Galesong, tepatnya di Kampung Jempang, pada tahun 70an sebagian besar rumah adalah rumah panggung. Seingatku hanya rumah Soekasno, penyuluh pertanian yang rumahnya batu, sekitar 300 meter dari rumah kami. Demikian pula sekolah dan kantor-kantor pemerintah.

[caption caption="Tempat menerima tamu (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

[caption caption="Rumah di Bontoloe (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

[caption caption="Rumah kediaman Raja (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

***

Kembali ke Facebook. Jelang 20 jam sejak tayang, 135 likes dari sahabat saya mengerubungi rumah tiang bercat biru muda, teras gantung putih buram, tangga kayu lengkap dengan segala asesoris khas lampau; gentong bilas di kaki tangga, jendela ganda, bangku panjang di sisi tiang serta naung rumah yang dijadikan tempat menyimpan kayu bakar dan kebutuhan domestiknya. Terdapat pula jerigen tempat menyimpan air. Di pulau, air tawar adalah barang langka. Di belakang rumah itu berdiri pohon kelapa dan pohon pisang sebagai pagarnya.

Kalian yang lahir pada tahun 70-80an pasti rindu rumah begini. Begitu godaan saya pada sahabat-sahabat di FB. Sontak ratusan memberi respon. Selain simbol likes, mereka juga menyimpan tanggapan.

Sahabat sekuliah saya di Ilmu Kelautan Unhas angkatan 89, Misbahuddin alias Jumbo dari Tenggarong, Kalimantan Timur membalas postingan itu dengan kata ‘Cocoki’. Dia ingin bilang saya juga rindu. Dia ingat rumahnya di Takalar. Iccang Jalil, seorang teman lainnya kelahiran Gowa menimpali, ada pohon coppeng (seperti anggur) di samping rumahnyakah? Dia ingat rumah neneknya di Kampung Rumanglasa’, teringat saat kerap menimba air di belakang rumah. Seorang lainnya, Kee Enal teringat rumah neneknya di Bone. “Modelnya kasik,” katanya.

[caption caption="Rumah di Pulau Kapoposang, Pangkep (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

[caption caption="Rumah di Pulau Pasi' (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

Saat rumah panggung berganti batu di Kota Benteng, Selayar (foto: Kamaruddin Azis)
Ishak, seorang kelahiran Pulau Long di Belitung Timur menimpali, “Rumahku di Pulau Long begini, hahaha,” tanggapnya. Pulau Long adalah pulau yang dihuni Bugis perantau di tepian Pulau Belitung nun jauh di barat. Seorang lainnya bernama Muradi menganggap postingan rumah ini tak istimewa. Disebutnya demikian sebab di Pangkep masih banyak rumah begini. Kau beruntung, bung!.

Lain Muradi lain pula Sudirman Nasir. Sudi, begitu saya panggil, adalah Doktor lulusan Australia dalam bidang kedokteran dan merupakan kolomnis langganan media tenar di Indonesia. Melihat foto tersebut dia terkenang saat menikmati kopi hitam dan sukun goreng plus sambel di kampung-kampung.

“Duduk-duduk di beranda pakai sarung.” Ingatnya.

Tanggapan silih berganti. Dafiuddin Salim, dosen Kelautan di Universitas Mulawarman jatuh cinta pada tangga. “Posisi tangganya mantap kanda,” katanya.  Menurutnya, ihwal tangga, ada juga menghadap ke samping, mencirikan orang Bugis, kalo menghadap ke depan (seperti pada gambar) mencirikan orang Makassar.

“Bukan begitu kanda? Kangen dengan kampung halaman ini,” ucapnya dari Banjabaru, Kalimantan Selatan. Nur Isdah Idris dari Makassar menyatakan kalau rumah begini masih banyak di kampung-kampung. “Masih begini rumah kerabat di kampung,” balasnya. Budi Santoso seorang PNS Pemprov Sulawesi yang sedang kuliah di Australia mengatakan ini luar biasa.

“Wow so amazing photo..” tulisnya dari Melbourne. Selain Mas Budi ada pula Nandar, dosen di UNM Makassar, Gusni Amir, Suardi Daeng Ropu, Ririn, Harianto, Baktiar seorang dosen Unhas. Rara Balasong, sahabat SMA saya yang tinggal di Jerman, mengirim pesan. “Aku rindu makan(g) ikan di begitu juga,” candanya.

Marco Kusumawijaya yang digadang jadi Calon Walikota DKI Jakarta ikut komen, “Daeng sempat tinggal di rumah demikian?” tulisnya. Saya jawab penah, setahuku tahun 1981 rumah panggung kami berganti batu.  Seorang sahabat lainnya, Fatmawaty Nur, membalas dengan kata sastrawi dan mengundang lambaian sapu tangan.

“Iyya rindu. Hikz, dulu rumah bapak besar, di belakang ada pohon mangga, di bawah rumah ada balai-balai, kalau siang turunki karena panas di atas. Semriwing di bawah. Tapi biasa disiram dulu (dengan air) balai-balainya. Biasa ada tai ayam, dia berak di balai-balai. Samping kiri rumah ada sawah, kanan tempat angon sapi, belakang rumah bukit. Kalau malam saya suka buka gorden kamar. Jendelanya besar, jadi seperti nonton film layar lebar ada sawah disinari bulan purnama. Pas waktu itu itu masa-masanya saya lagi jatuh cinta. Dan rumah ini., seperti rumah bapakku. Dulu…”.

[caption caption="Bersantai di teras rumah panggung (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

Membaca postingan Fatmawaty seperti kita ikut benam dalam pusaran rasa rindu yang mengaduk jiwa dan raga bukan?. Sedih? Terharu? Atau terserang gejala pilek?

Nazilla Najwa, sahabat saya nun jauh di Kabul, Afghanistan menuliskan, “Still remember such simple, beautiful and full of love houses.” Nazilla pernah datang ke Indonesia tahun 2014, dia melihat rumah begini di pedalaman Takalar. Di Puntondo, rumah pesisir. Seperti kita, diapun terkesan. Pada peninggalan lampau yang dari tahun ke tahun semakin langka.

Saya kira kita memang sedang rindu suasana rumah lampau, rumah sederhana dan mendamaikan. Mungkin bukan fisiknya, tapi semangat yang dikandungnya, pada kelonggaran memandang makrokosmos dari jendela rumah di empat penjuru rumah, pada kerjasama sosial yang bisa terungkit dari pintu rumah yang terus terbuka dari pagi hingga petang, pada tatatan unsur-unsur kehidupan yang harmonis (ala desa).

Mungkinkah punya rumah modern yang memboyong unsur-unsur itu?

Tebet, 28 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun