[caption caption="Komunitas Bugis di Tanah Laut--Kalimantan Selatan (foto: Kamaruddin Azis)"][/caption]“Saya salah satu contoh sukses perantau Makassar di Malaysia.” Perdana Menteri Najib Tun Razak.
Relokasi warga Kalijodo yang menyita perhatian publik itu telah menghadirkan sosok bernama Daeng Aziz. Pria Bugis ini disebut sebagai sutradara di balik lakon prostitusi dan premanisme nan langgeng di Kalijodo. Perseteruan hebat Daeng Aziz dan orang nomor satu Ibukota, Ahok yang hendak memindahkan warga di sekitar Kalijodo menjadi trending topic kini.
Lepas dari pro-kontra Aziz dan Ahok, ada yang menarik ditelisik, tentang sejarah dan sepak terjang orang Bugis-Makassar di Nusantara. Tentang bagaimana mereka menjadi bagian dari sejarah pertumbuhan kawasan, di tanjung-tanjung, di teluk, pesisir hingga kota-kota baru—kawasan yang jauh dari tanah leluhur mereka. Seorang teman aktivis LSM bernama Wahyuddin B. Kessa, yang mencintai Gus Dur serta aktif pada beberapa program di Kementerian Desa (Kemendes) saat ini, berpendapat, hubungan mutualisme Bugis-Makassar, Melayu serta Cina sangat kuat sejak lama dan itu tercermin di Ahok, sejak di Belitung.
“Ahok yang tegas itu adalah menifestasi petuah dan ajaran Bugis yang diperolehnya selama di Belitung,” katanya saat ditemui di Bandara Soeta di ujung tahun 2015. Menurut Wahyu, semasa mudanya, Ahok kerap mendapat nasehat dari orang-orang tua Bugis yang telah lama menetap di Belitung Timur. Petuah yang menurut Wahyu merupakan manifestasi filosofis, kemampuan adaptasi dan dimensi daya tarung Bugis-Makassar; Tellu Ceppa (Bugis) atau Tallu Cappa’ (Makassar).
Membaca Diaspora Bugis-Makassar
Christian Pelras dalam buku The Bugis, mengupas dalam diaspora masif suku dari kaki Pulau Sulawesi ini awal abad pertama hingga abad kontemporer. Pelras menyebutkan bahwa masyarakat Bugis mulanya adalah masyarakat agraris. Jatuhnya Makassar pada jelang 1669 memaksa beberapa dari mereka seperti dari Wajo (berbagasa Bugis) dan Gowa (berbahasa Makassar) memilih menjadi pengelana.
Menurut Pelras, mereka meninggalkan kampung halaman, membangkang pada Belanda dan memilih menjadi perompak di laut, menjadi serdadu bayaran, hingga kemudian menjadi bagian dari penguasa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara seperti di Riau, Siak, Mempawah Kalimantan bahkan di lekuk Malaysia. Peneliti Bernard Vlekke, di bukunya, Nusantara, Sejarah Indonesia, menyebut armada perompak Bugis-Makassar berkeliaran di perairan Nusantara. Dia menyebutnya, Macassar Zee Rovers. Mereka menguasai perairan Samarinda, dan menyokong kekuatan para sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang lokal, antara raja-raja kecil termasuk Mempawah.
Di dalam kitab sejarah Melayu—Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji yang kesohor dari Riau itu, diceritakan dengan gamblang kebesaran pelaut Bugis-Makassar di masa lampau terutama di semenanjung Melayu, Riau hingga pesisir Kalimantan. Sementara di Jawa, siapa yang tak kenal kiprah Karaeng Galesong dan Karaeng Naba, pengikut Sultan Hasanuddin yang gencar melawan pendudukan Belanda sejak takluknya Gowa usai traktat Bungaya di abad 17.
Jadi wajar jika ada data yang menyebutkan bahwa komunitas Bugis-Makassar telah menjadi pilar sekaligus tonggak sejarah perkembangan kawasan pesisir di Nusantara, dari Sumatera hingga Papua. Keturunan Bugis-Makassar, termasuk Mandar, Enrekang dan Toraja di Kalimantan ditaksir 1 juta. Ada 350 ribu di Sumatera dan sekitar 800 ribu menjadi warga negara Malaysia. Tun Abdul Razak serta Najib Tun Razak, adalah dua tokoh Makassar-Gowa paling cemerlang. Mereka adalah perdana menteri Malaysia kedua dan keenam.
***
Antara bulan November hingga Desember 2015, saya terlibat dalam satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membangun kampung nelayan. Ada 31 kabupaten/kota yang menjadi target lokasi, dari pesisir Pusong di Lhokseumawe hingga Urumb di Merauke—Papua.