Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

11 Tantangan Membangun Kampung Nelayan

12 Februari 2016   08:51 Diperbarui: 12 Februari 2016   11:10 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Keempat, masih maraknya praktik penangkapan ikan dengan alat tangkap tak ramah lingkungan yang menjadi usikan bagi nelayan-nelayan tradisional yang masih taat aturan perikanan. Beberapa daerah seperti Pangandaran, Indramayu, Lamongan dan Maros disinyalir masih kerap disuplai ikan hasil tangkapan jaring dasar yang dilarang Pemerintah (dogol, arad, cantrang). Dengan praktik seperti ini, mereka kerap menjual ikan di laut lepas, bukan di pelabuhan resmi.

Kelima, terbatasnya sarana prasarana prosessing perikanan di area PPI sehingga kalau hasil perikanan melimpah, beberapa ikan seperti tenggiri yang bernilai ekonomis tinggi hanya akan dikeringkan. Ini bisa mereduksi harga namun praktik masih tetap ditemukan, seperti di PPI Kintap, Tanah Laut. Diperlukan intervensi untuk menyiapkan fasilitas processing yang terpadu dengan pabrik es, BBM, infrasruktur jalan dan transportasi antar desa dan pusat-pusat perkotaan (pasar).

Keenam, masih ditemukannya eksploitasi ikan langka dan dilindungi di beberapa PPI. Beberapa nelayan dan pengumpul bahkan menjadikan ikan hiu, pari manta sebagai target buruan padahal jenis ikan seperti ini telah menjadi target konservasi.

Ketujuh, terbatasnya sarana prasarana pendukung di PPI untuk evakuasi atau perlindungan bagi nelayan yang mendapat kecelakaan di laut. Beberapa wilayah seperti di PPI Kranji di Lamongan maupun Eretan di Indramayu sudah sangat siap namun timpang saat dibandingkan dengan TPI seperti di Donggala. Perlu perhatian pada pemenuhan kebutuhan ‘search and rescue’ pada aparat-aparat yang bertugas di sekitar PPI.

Kedelapan, adanya ancaman pendangkalan di sekitar lokasi PPI seperti di Muara Kintap dan Maros. Sedimentasi yang hebat di muara sungai menjadi penyebabnya. Karenanya diperlukan pengerukan dan perluasan lahan tambatan dan perlindungan perahu.

Kesembilan, kapasitas kelompok-kelompok nelayan dan pemanfaat di PPI masih sangat lemah seperti dalam hal pengetahuan manajemen mutu ikan, teknik pengolahan produk serta pemasaran bertanggungjawab. Ini bisa berdampak pada tidak optimalnya layanan PPI sebagai administrator distribusi ikan. Produk yang maksimal tak dibarengi dengan penanganan yang efektif.

Kesepuluh, meski personalia dan pranata organisasi PPI telah menunjukkan kapasitas di atas rata-rata namun keberadaan mereka belum terhubung secara optimal dengan sumberdaya organisasi di sekitar PPI, seperti pedagang, pengumpul dan kelompok-kelompok usaha bersama (KUB) yang telah dibentuk. Keberadaan mereka dianggap sebagai pengawas dan pengatur operasi PPI ketimbang sebagai mitra atau bagian dari pengembangan usaha perikanan. Mereka sejatinya bisa memberikan asistensi dalam arti luas seperti manajemen usaha dan pemasaran namun belum dioptimalkan. Diperlukan pendekatan dan penyadaran masyarakat untuk menggiatkan konsultasi ke unit-unit layanan seperti ini.

Kesebelas, belum terintegrasinya pengelolaan PPI ke dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah seperti musrenbang. Sejatinya, sebab TPI/PPI banyak yang berlokasi di desa administratif maka mereka juga harus menjadi bagian dari perencanaan dan pengembangan wilayah setempat.  Pemerintah daerah harus mulai membangun komunikasi atau menjadikan PPI sebagai mitra strategis mereka.

Cara KKP Membangun Kampung Nelayan dan PPI

Pada konferensi tingkat tinggi ke sembilan Asia Timur, Presiden Joko Widodo mengungkit lima pilar poros maritim. Salah satunya adalah mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim. Empat dari sembilan kebijakan sekaligus program inti Nawa Cita Pemerintah bertalian dengan isu kemaritiman. Pemerintah hendak memoles potensi kemaritiman dalam dimensi yang luas sebagai titik balik jati diri bangsa.

Pertama, dalam cita ketiga dikatakan, membangun Indonesia dari masyarakat pinggiran dengan perkuat daerah dan desa dalam rangka kedaulatan. Cita kelima, meningkatkan kualitas hidup melalui pendidikan dan pelatihan. Ini relevan dengan upaya meningkatkan kualitas masyarakat pesisir. Cita keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing sehingga bisa bersaing dengan bangsa lain. Laut dan perikanan adalah kekuataan bangsa ini. Cita ketujuh menyebutkan kemandirian ekonomi dengan gerakan sektor ekonomi strategis, maritim, kelautan, dan perikanan merupakan salah satu sektor strategis nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun