Di usia pensiunnya ini Suli akan menghabiskan sisa hidupnya di Lampung Selatan bersama istrinya. Seorang anaknya tinggal di Kalimantan, seorang lainnya ada di Jawa Barat. Dia menyatakan bahwa banyak hal yang telah berubah namun tetap saja ada yang kurang. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan lampu, tradisi, kadangkala berpotensi menjadi perusak rohani ketika tidak segera dibenahi dengan baik. Pendeta Suli kembali mengambil contoh mabuk-mabukan. “Sedih saya kalau lihat ada yang masih begitu. Saya hanya bisa berdoa,” katanya.
Saya yang lahir di daerah pesisir Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menimpali. Saya menceritakan bahwa tahun 70an, masih banyak warga utamanya nelayan yang masih minum tuak, masih banyak yang datang ke kuburan bahkan meminta doa di sana. Meski demikian, saya menceritakan bahwa dalam praktik ber-Islam, ke kuburan tak dilarang oleh nabi kami Rasulullah Muhammad SAW sepanjang itu mengingatkan kita pada kematian dan memotivasi kita untuk menyiapkan bekal amalan. Tradisi seperti ke kuburan minta ‘didoakan’ oleh orang yang telah meninggal itu merusak hati sehingga harus ada panduan atau rujukan.
Saya bilang bahwa organisasi-organisasi kuat seperti Muhammadiyah dan NU sangat getol mendorong warga untuk secara perlahan meninggalkan hal-hal bersifat tradisi seperti minum arak, terutama di kampung nelayan. Lambat laun mereka menyadari bahwa itu dilarang, bukan hanya oleh negara tetapi oleh agama Islam. Himbauan seperti ini harus terus disuarakan. Negara memang harus mengontrol peredaran minuman haram ini.
***
Menyambung temali pertemanan melalui perbincangan dengan pendeta Suliyanto itu bermuara pada kegalauan bersama akan masih maraknya kebiasaan buruk sebagai pemeluk agama, mabuk-mabukan atau minum minuman keras. Perbincangan ini kian menyadarkan kita betapa besarnya tantangan untuk menjadi pemeluk agama yang utuh, bahwa menjadi Muslim, Kristen atau agama lain sekalipun butuh kesungguhan, kesungguhan untuk kembali ke jalan sesungguhnya, salah satunya tidak mabuk-mabukan.
Saya lalu mengingat hadis Rasulullah yang dikuitip dari Sunan Ibnu Majah-I-Volume 3, Kitab Minuman keras, Bab 30 Hadis No. 3371. "Alkohol (minuman keras) adalah induk dari segala kejahatan dan ini adalah kejahatan yang paling memalukan." Sebagaimana Pendeta Suliyanto, rasanya kita bisa sepakat untuk urusan ini, agama melarang kita minum minuman keras dan mabuk-mabukan.
Saat petugas bandara memanggil para penumpang JT 0892 tujuan Makassar untuk boarding, bergeser dari ruang A2 ke A11, saya mohon pamit ke Bapak Suliyanto, saya menyalaminya dan berterima kasih atas kesediannya berbagi pengalaman dan pandangan.
Pesan perbincangan dari ruang tunggu A2 tersebut amat penting untuk diperhatikan bukan?
Jakarta-Makassar, 09/02/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H