“Saya lahir tahun 1949 di salah satu desa di Wonogiri, Jawa Tengah,” katanya. Dia mengaku bersaudara delapan orang. Ayah Suliyanto adalah seorang warga biasa yang berprofesi sebagai tabib, bisa mengobati. Dari keluarganya yang muslim, Suliyanto kemudian memilih berkeyakinan lain. Pilihannya itu setelah dia merenung dan mencari arah jalan pikirannya.
“Berubah setelah saya membaca salah satu majalah, namanya Sangkakala,” ungkap pria yang pernah menjadi office boy di Kedutaan Belgia ini. Bagi Suliyanto, suasana kala itu adalah panggilan membayangkan jalan kesejahteraan, tentang kedamaian, tentang visi manusia. Dia banyak berpikir tentang kehidupan di desa-desa dan ragam aspeknya seperti tradisi, budaya.
“Saya merenung, menuju jalan keselamatan itu,” katanya, tangan kanannya memegang dadanya. Latar pengalaman hidup di desa dengan segala pernak-pernik, klenik dan tradisi membuatnya berpikir berbeda. Begitulah cerita pria yang telah mendarmabaktikan dirinya dengan memberi pelayanan rohani di daerah transmigran Kalimantan. “Katingan nama tempatnya,” jawabnya saat saya menanyakan domisili di Kalimantan. Pengabdiannya di Katingan adalah pengabdian terakhir setelah berpindah-pindah lokasi.
“Per 1 Januari tahun ini saya sudah pensiun, ini mau pulang ke Lampung.” Kata pria yang mengaku akan kembali ke rumah dan tempat tinggalnya di Lampung Selatan. Usia jualah yang mengantar Suliyanto kembali ke Lampung Selatan.
***
Melihat saya yang getol bertanya, dan menyampaikan kalau saya senang menulis, dia pindah ke samping kanan saya. Saya bilang akan mengambil hal-hal baik dan akan menuliskannya. Meski beliau mengatakan tak semua yang diomongkannya harus ditulis, termasuk mengabadikan wajahnya melalui kamera.
Pria berusia 67 tahun ini mengaku sebagai pendeta, telah lama mengabdi. Dia memberikan pelayanan rohani pada peserta trasmigran dari berbagai daerah. Selama menjalankan tugas itu dia membangun pertemanan dengan siapa saja terutama di sekitar kompleks gereja dimana dia bertugas. “Saya kerap ke kebun, bertemu para transmigran yang datang dari banyak wilayah,” katanya. Menurut Suliyanto di lokasi transmigran di Kalimantan Tengah itu banyak ragam orang, ada Jawa, Dayak juga dan Flores,” katanya.
Suliyanto mengakui bahwa saat ini tantangan baginya, bagi kita semua adalah masih maraknya kebiasaan buruk yang susah dihilangkan seperti minum minuman keras, mabuk-mabukan. Tradisi lama yang susah hilang padahal agama sudah ada sejak lama pula. “Saya biasa sedih dan hanya bisa berdoa kalau lihat orang-orang masih mabuk-mabukan,” katanya dengan mimik serius.
Saya lalu menimpali, bahwa sebagai muslim, benar bahwa saat ini meskipun telah dengan jelas dilarang dalam kitab suci praktik minum minuman keras dan mabuk-mabukan itu masih marak. “Sudah banyak korban tapi orang-orang belum sepenuhnya sadar,” kataku. Banyak yang minum oplosan lalu sekarat, berkelahi di bar, saling tikam, saling ancam karena mabuk.
Perbincangan kami, antara seorang muslim usia 45 tahun dan seorang pendeta usia 67 tahu ini kemudian sampai bahasan perubahan-perubahan historis keagamaan pada rentang 40 tahun terakhir.
Pak Suli mengatakan bahwa saat dulu bahkan hingga kini, tantangan dan godaan beragama sangat kuat, karenanya dibutuhkan kekuatan dan daya tahan untuk kembali ke pesan agama. Praktik-praktik tidak sehat, merusak, tidak adil harus selalu dibuang jauh. Bagi Suli, pendidikan adalah modal penting dalam memahami agama. Logika dan keyakinan harus disucikan dari tingkah laku tak terpuji.