Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siang Itu di Sunda Kelapa

8 Februari 2016   07:56 Diperbarui: 8 Februari 2016   19:44 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Edi ABK senior asal Sumbawa. Abdullah asal Bima. Keduanya mengaku keturunan Bugis-Makassar.  Mereka mengatakan bahwa banyak hal yang masih harus dibenahi di urusan pelayaran ini. Mereka merasa bahwa ada beban yang harus ditanggung saat mereka sandar lama di pelabuhan, saat tiada ketidakpastian berlayar, mereka harus merogoh kocek sendiri. Para ABK harus menggunakan uang sendiri untuk makan hari-hari.

Belum lagi untuk dibagi ke keluarga mereka harus hutang atau dipotong gajinya jika pulang berlayar.

“Apakah ABK ada asuransi?” tanyaku. “Mana ada asuransi, mati ya mati aja, mana ada,” sergah Abdullah. Abdullah terlihat cekatan dan memahami seluk beluk pelayaran. Dia juga ABK di kapal pinisi

Edi dan Abdullah mengeluhkan rendahnya kepedulian para pemilik kapal yang tak memenuhi kebutuhan para ABK. Kebutuhan saat menjaga kapal, saat menunggu muatan dan jika kapal tak ada muatan sepulang dari mengangkut barang. Mereka merasakan ketidakadilan ketika gaji mereka di kapal pinisi tak seperti kapal besi padahal beban kerjanya lebih berat di kapal pinisi.

Mendengar cerita Edi dan Abdullah, saya membayangkan cerita-cerita lain dari perjalanan hidup Talib, Baharuddin dan Sarullah. Membayangkan cerita lain dari bagaimana mereka menambatkan masa depan anak-anaknya dengan perempuan-perempuan yang dipilihnya. Talib yang menikah dengan perempuan Banten, sementara Baharuddin dengan perempuan Brebes tentu mempunyai kisah asmara, resepsi pernikahan, suka duka menjadi pelaut. Apapun itu, sepanjang mereka masih bertahan di lofiitu pertanda mereka bahagia, mereka nyaman, mereka terus menghebuskan angin tradisi maritim khas dari Timur, passompe, pelaut.

Di siang yang teramat terik itu, saya kembali memesan Gojek. Seperti ingin cepat sampai di penginapan dan menuliskan cerita pendek para pelaut itu, menyampaikan ke teman-teman di pondokan saya di kawasan Tebet.  Di jalan pulang, sebelum sampai ke gerbang pelabuhan, terlihat beberapa kaum muda mengabadikan pinisi, mereka bersuka cita atas pemandangan siang itu, mereka pasti terkesima pada jejeran kapal pinisi hasil karya luhur kebudayaan maritim dari Timur.

Tebet, 7 Februari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun