Lalu saya berpindah ke Cambang.
“Ngapain saja di Jakarta boss,?” Pancingku.
“Ya seperti ini, saya sempat ngopi di Phonam Jakarta. Di sana saya bertemu banyak aktivis termasuk Akbar Faisal anggota DPR RI dari Partai Hanura yang juga orang Wajo,” Katanya bangga. Di meja kami, beberapa saat kemudian datang Pahir.
Saya coba arahkan obrolan.
“Apa jadinya jika seorang saksi dari desa diboyong ke Mahkamah Konstitusi,?”.
Tiba-tiba saya ingat bahwa akan ada beberapa saksi dari calon pemenang Pemilukada Kabupaten Selayar yang akan diboyong ke Jakarta seperti yang saya baca dari salah satu harian di Makassar. Mereka akan didudukkan di depan Mahkamah Konstitusi.
Ya, di mahkamah konstitusi, benteng terakhir keadilan di Indonesa.
“Seperti apa kondisi di sana ya?”
“Wah jangan main-main pak,” Kata Cambang. “Suasananya sangat menegangkan,” Lanjutnya.
“Betul, “timpal Pahir. “Suasananya sangat megah, lapang dan jauh berbeda di ruang persidangan biasanya yang sempit. Jarak antara hakim dan saksi sangat jauh. Di Mahkamah Konstitusi pengacara, pembela dan siapa saja yang terkait dalam perkara Pemilukada, tidak boleh overacting atau mengada-ngada. Profesionalisme pengacara menjadi pertaruhan. Jika tidak siap pasti keok,” Kata Pahir.
Terkait sengketa hasil Pemilukada, sejauh ini ada dua keadaan yang perlu dilihat terkait gugatan pemilukada, “ditolak atau diterima”. Ditolak artinya, ada beberapa pertimbangan murni MK yang putuskan berdasarkan kepada pertimbangan keadilan sosial, yang tidak semata-mata melihat data-data atau fakta persidangan. Selain itu juga terkait dengan cakupan peran atau konteks. Ada beberapa yang mestinya bukan domain MK tetapi terkait dengan prosedur yang masuk di wilayah teknis pemilukada, seperti tenggat aduan.