Mohon tunggu...
Muhammad Kasman
Muhammad Kasman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir pada 11 Desember 1979 di sebuah dusun kecil bernama Pajjia Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sempat sekolah di SDN No. 226 Pakkasalo, SMPN Pattirobajo dan SMAN 2 Watampone.\r\n\r\nSelama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam. Menjadi gelandangan dan kerja serabutan selama dua tahun sebelum menjadi jurnalis di sebuah media online nasional di akhir 2007.\r\n\r\nAwal 2008, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan bergiat di Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Mengisi waktu luang dengan seorang istri dan dua orang anak, sambil sesekali menulis puisi.\r\n\r\nMenyukai hujan dinihari dan embun pagi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hutan, Selembar Topi, dan Sepenggal Derita

4 April 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:03 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup adalah alunan musik, namun bisakah musik yang indah tercipta dari sebuah nada sahaja? Akankah mengalun melodi yang harmonis bila tak ada perpaduan antar irama? Tanya semacam itulah yang makin mengukuhkan keyakinanku bahwa tak pantaslah derita itu ditutur-tuturkan, dibeber-beberkan, dan dipiuh ke dalam cerita.

Bukankah musik itu merupakan kait-kelindan panjang derita yang mewujud dari aktivitas saling bunuh sesama nada sebagaimana sabda Nietzche? Ini berarti bahwa apabila kita mencoba menuturkan sebuah derita, maka kita sedang memenggal sebuah musik menjadi butir-butir nada yang terpisah. Ketika sebuah nada berdiri sendiri, dia gagal menjadi musik, maka pada saat itu, dia kehilangan keindahan.

Begitupun dengan sepenggal derita bila dituturkan, dia hanya akan memantik rasa haru, memicu leleran airmata, membuat resah bergolak di jiwa. Sepantasnya, sepenggal derita tetap dibiarkan berada dalam rangkaian panjang derita, agar dia menjadi salah satu nada yang melengkapi keindahan musik kehidupan, menyempurnakan melankolia yang bersarang di kalbu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun