Sebuah topi sejenis pet yang terbuat dari kain beludru berwarna jingga. Model topi ini mengingatkanku dengan pelukis yang paling setia muncul saban minggu di satu-satunya siaran televisi saat itu, Televisi Republik Indonesia. Pelukis itu selalu mengenakan topi pet, tapi tentu warnanya bukan jingga sebagaimana topi milikku.
Dia, pelukis itu, Tino Sidin namanya, selalu memakai topi pet warna hitam, dan selalu hitam. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa Tino Sidin tak pernah mengganti topinya kan? Aku sih tidak terlalu peduli kalau dia menggonta-ganti warna topinya dari biru, hijau, merah, coklat, hitam, atau warna yang lain.
Bagiku, apapun warna topi yang dipakai Tino Sidin si pelukis itu, tetap saja hitam dalam pandanganku saat itu. Musababnya adalah karena aku menonton acara tersebut dengan menggunakan pesawat televisi lama yang hanya mengenal dua warna: hitam dan putih. Saat itu, belum ada seorangpun di kampungku yang mengenal pesawat televisi berwarna.
Kembali ke topi pet milikku. Sengaja aku menggunakannya setiap kali bertandang untuk bercengkrama dengan si peri cilik. Bukan apa-apa, aku waspada, jangan sampai si peri itu masih saja iseng menaburkan pil rindu di atas kepalaku. Coba bayangkan kalau semua galauku menjelma kembang rindu berwarna biru. Bisa-bisa kalbuku berubah menjadi taman rindu.
Padahal bagiku, sebuah kembang rindu saja yang mekar dan mewangi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi relung hatiku, apatah lagi bila dia iseng menumbuhkan berpuluh, beratus, bahkan beribu kembang rindu? Meskipun, aku sudah memperingatinya untuk tidak melakukan itu, tetap saja topi ini kubutuhkan dan bermanfaat ketika sewaktu-waktu dia khilaf, atau penyakit usilnya kambuh.
[sepenggal derita, tak layak diceritakan]
Ah, peri cilik pembawa keranjang berisi pil rindu di pinggir hutan, telah mempengaruhiku sedemikian rupa. Meskipun aku berhasil menghindari taburan pil rindunya di atas kepalaku untuk kesekian kalinya berkat topi petku yang berwarna jingga, namun karena itulah, di fikiranku berkembang wawasan baru tentang hidup yang sedang aku dan orang lain juga jalani.
Bila penikmat hujan memilih untuk menghayati rinai yang berguguran dengan ditemani oleh secangkir kopi dan sepotong cerita, maka hutan –bersama peri cilik pembawa keranjang berisi pil rindu, dan selembar topiku mengajarkan bahwa sepenggal derita lebih pantas untuk dikenang, daripada menikmati sepotong cerita. Bahkan sepenggal derita tak layak untuk diceritakan, dan tak pantas untuk dinikmati bersama secangkir kopi di kala hujan.
Menceritakan derita dan kesedihan hanya akan membuat kita menjadi melankolia, semakin dituturkan, semakin dia membekap jiwa dalam genangan kisahnya yang sendu. Sepenggal derita lebih tepat dinikmati dari saat ke saat, bukankah keindahan hidup muncul dan mengemuka dari rangkaian derita dan kesedihan?
Menceritakan derita yang dialami, sama dengan sengaja menghabiskan waktu hanya untuk meratap. Sebab pada hakikatnya, hidup hanyalah serentetan derita, dan hidup adalah cinta itu sendiri. Bukankah cinta tak pantas untuk diceritakan, melainkan dinikmati tragedinya? Selain sebagai rentetan derita, cinta adalah sulaman tragika, cinta adalah rajutan ketidakpastian. Dan dalam itu semua, para pecinta merasakan kebahagiaan.
Rentetan derita adalah wajah lain dari kerinduan yang lahir dari galau yang mengalami peragian karena pil rindu si peri cilik. Sulaman tragika adalah kembang rindu berwarna biru yang berurat berakar di relung kalbu. Rajutan ketidakpastian adalah benih-benih rindu yang di semai di taman hati. Setiap penikmat derita akan merasakan keindahan yang ganjil dari kerinduan yang sublim.
Kerinduan sebagaimana yang dialami oleh Sawerigading, kerinduan yang berwujud rasa sepi dan terasing entah karena kekurangan apa. Kerinduan yang menemukan muaranya ketika Sawerigading berhasil bersitatap dengan We Tenriabeng, saudari kembar emasnya, saudari yang telah terpisah dengannya sejak pertama kali menjejak bumi.