Mohon tunggu...
Muhammad Kasman
Muhammad Kasman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir pada 11 Desember 1979 di sebuah dusun kecil bernama Pajjia Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sempat sekolah di SDN No. 226 Pakkasalo, SMPN Pattirobajo dan SMAN 2 Watampone.\r\n\r\nSelama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam. Menjadi gelandangan dan kerja serabutan selama dua tahun sebelum menjadi jurnalis di sebuah media online nasional di akhir 2007.\r\n\r\nAwal 2008, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan bergiat di Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Mengisi waktu luang dengan seorang istri dan dua orang anak, sambil sesekali menulis puisi.\r\n\r\nMenyukai hujan dinihari dan embun pagi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hutan, Selembar Topi, dan Sepenggal Derita

4 April 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:03 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Konon kabarnya, peri cilik itu hanya akan muncul di atas kepala mereka yang di hatinya memang telah tertabur benih-benih rindu, dan tidak bagi mereka yang berhati batu. Tapi anehnya, dia selalu bisa terlihat olehku, padahal rasa-rasanya, galauku telah terhalau tuntas oleh kesiur angin yang berhembus sendu. Atau jangan-jangan...

Ah, ternyata inilah penyebab kenapa galauku terasa sirna bila berada di pinggir hutan ini. Diam-diam, peri cilik itu telah menaburkan pil rindu di atas kepalaku pula. Pantas saja, sejak pertama kali aku mampir di pinggiran hutan itu, aku langsung jatuh cinta pada hutan. Jatuh cinta pada semua yang hadir bersamanya.

Hamparan rumputan di pokok-pokok pinus, senantiasa menggamitku untuk bergulingan diatasnya. Bulir-bulir embun di ujung dedaunan, berbinar indah memantulkan siluet mentari bak warna pelangi yang berpendaran. Lihat, peri cilik itu berputar-putar mengelilingiku, tawanya cekikikan, terasa menggelitik saraf. Dia mengajak berbagi kisah.

[selembar topi, bukan secangkir kopi]
Sudah lama aku menjadi karib si peri cilik, sejak aku menyadari bahwa dia telah menyemai rindu di pelataran kalbu. Kami berbagi tutur, bersalin kisah, dan bertukar cerita, tak pernah jeda. Setiap aku merasa ada waktu lowong, kukunjungi dia di pinggiran hutan tempat angin berkesiur lembut menerpa rerumpun bambu.

Kehadirannya membuatku melupakan sahabat yang setia menemani malam- malam panjangku memupuk galau: secangkir kopi! Aku tak lagi membutuhkan timbunan kafeine dalam aliran darahku, hanya untuk menenangkan kepanikan karena hidup yang kian tak menentu. Aku tak lagi membutuhkan aroma khas kopi yang pekat untuk mengalihkan perhatianku dari beban hidup yang terus menghimpit.

Meski bagi sebagian orang, menikmati kopi adalah simbol kesejatian diri, ekspresi jiwa yang merdeka, dan muasal inspirasi. Tapi bagiku, saat ini, secangkir kopi adalah beban sejarah. Beban untuk secara sadar menjejalkan setumpuk racun kafeine ke dalam tubuh yang kian rentan. Beban untuk berpura-pura menikmati tetes demi tetes cairan pekat itu.

Menyeruput kopi lamat-lamat menjadi kerjaan yang begitu membosankan di mataku. Duduk mencakung di teras gelap, menghadapi secangkir kopi pahit, dan waktu berlalu selama berjam-jam, sementara kopi masih tersisa tetes terakhirnya, entah karena apa. Melamun dan menikmati gelisah jiwa menjadi teman setia menghabiskan kopi yang mendingin, dan malam yang kian gigil.

Kadang saya heran dengan para maniak kopi, mereka mengaku peminum kopi, tapi segelas kopi begitu sulit untuk mereka habiskan. Ketika menghadapi kopi, sebagian besar waktunya berlalu bukan untuk menyeruput kopinya, mereka malah sibuk menatap kepulan asap yang meliuk-liuk dan perlahan menguap di hadapannya. Tak ada upaya untuk mempercepat habisnya kopi yang dihadapi, malah sebaliknya, mereka seperti begitu kasihan untuk menghabiskan kopinya.

Apa nikmatnya mencecap kopi hanya di ujung lidah? Setiap seruput sudah menguap sebelum sampai di tenggorokan. Kenikmatan seperti apa yang tercipta dari cara meminum kopi begitu? Hanya berlapis-lapis ampas yang tersesat di permukaan lidah, di cecap berulang kali, dan rasa sepat pun yang menguar merambat ke hidung dan ubun-ubun.

Itukah seni meminum kopi yang demikian diangung-agungkan oleh para pencinta? Ah, aku telah menghianati seni meminum kopi yang sedemikian. Tak mampu lagi kujaring kenikmatan yang sublim dari galau yang diendapkan di kerak kopi pada dasar gelas. Tak ada lagi kehangatan dari kepulan asap kopi yang menguar lembut.

Ini semua karena persahabatanku dengan si peri kecil pembawa pil rindu di pinggir hutan. Peri itu telah mengalihkan hasratku dari secangkir kopi kepada selembar topi. Ya, selembar topi. Topi yang selalu kukenakan sekarang, topi yang senantiasa menemani setiap perjalananku, topi yang tak pernah lepas memeluk batok kepalaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun