[hujan, tak punya tempat di tepi hutan]
Entah kenapa, aku lebih memilih hutan daripada hujan, dalam mengekspresikan suasana hatiku yang lagi kasmaran. Bagiku, hutan lebih eksotik dibanding hujan. Hujan sudah terlalu klise untuk menggambarkan asmara yang menghangat di kedalaman batin. Sementara hutan, lebih misterius, lebih tak terjangkau, dan lebih tak teraba.
Mengenai pilihan ini, aku yakin banyak yang akan bertanya. Aku merasa, keberatan mereka itu lumrah, sebab hujan terlanjur begitu melekat dengan suasana romantis. Hujan begitu pas untuk menjadi latar ketika sepasang kekasih bertemu berdua di sebuah restoran, di mana mereka memilih duduk di bagian sudut dengan pencahayaan minim dari sepasang lilin.
Coba bayangkan ketika anda berada dalam suasana seperti itu, hanya berdua bersama sang terkasih, rerintik hujan yang menampar-nampar jendela kaca di samping meja, ditingkahi dengan alunan suara gesekan biola akan membuat suasana hujan yang gigil menjadi hangat, malah bisa membakar gairah dan gelora asmara.
Tapi itu semua tak membuatku goyah untuk kemudian mengkhianati hutan dan memilih mencintai hujan. Tidak, tidak akan kulakukan tindakan bodoh itu. Mungkin aku terkesan kolot di mata para pencinta dan pemuja hujan. Tapi tidak mengapa, apalagi, meskipun aku lebih memilih hutan dibanding hujan, aku juga tak menjadi pembenci hujan.
Bahkan sejak masih remaja belia sampai sekarang, aku begitu menyukai tiga hal: hujan dinihari, embun pagi, dan puisi. Ya, hujan dinihari, bukan hujan yang turun di waktu-waktu yang lain. Ada suasana lain yang tercipta ketika hujan itu turun di dinihari bila dibandingkan dengan hujan yang turun di waktu lain. Maka, aku memilih hutan dibanding hujan selain hujan dinihari.
Hujan dinihari bisa membuatku menjadi manusia seutuhnya, manusia yang mengambil tindakan bukan karena tekanan aturan, dan sistem yang begitu mengikat, tapi memutuskan sesuatu karena sesuatu itu menyenangkan untuk dilakukan. Hujan dinihari bisa membuatku berani melanggar kebiasaan dan aturan yang mengungkung.
Bila hujan turun di saat dinihari, aku akan lebih memilih untuk kembali menarik selimut daripada bergegas bangun dan segera mandi agar tak terlambat sampai di tempat kerja. Persetan dengan kata terlambat, hujan dinihari terlalu indah untuk ditinggalkan. Lebih nikmat rasanya bila hujan dinihari diisi dengan tidur melengkung di bawah selimut sambil memeluk erat guling atau boneka kelinci besar yang setia menemaniku berhibernasi.
Hujan terlalu sering membuatku kecewa, berapa banyak janji yang harus diundur, atau bahkan tertunda tanpa kejelasan hanya karena hujan yang tiba-tiba menderas dan membadai. Jalan-jalan tergenang air, reranting patah dan beterbangan, pepohonan tumbang dan bergelimpangan. Dan tentu saja, aku yang menjadi kuyup, seperti seekor ayam yang baru saja dicelupkan ke kolam.
Saat galau mendera kalbu, hutan menjadi pelarian abadi. Desau angin di sela pokok randu, kesiurnya yang berpadu dengan lambaian rumpun bambu, sungguh lihai menghalau galau. Aroma daun gugur yang menjalani takdir menjadi humus, berpadu dengan bau tanah lembab, terasa begitu khas dan menyegarkan.
Kadang secara tak sengaja, di sela reranting kering yang meranggas itu, tiba-tiba muncul sepasang sayap mungil dari peri cilik yang membawa sekeranjang pil rindu. Dengan sayap mungil berwarna jingga itu, si peri cilik terbang melayang, rambutnya yang pirang melambai-lambai menyebarkan aroma tak terpemanai semerbaknya.
Pil rindu dari keranjang di tangannya akan dia taburkan di atas kepala mereka yang galau karena rindu, bukan untuk menghalau rindu itu berlalu, malah makin mengukuhkannya tertancap di dasar kalbu. Pil rindu memupuk galau menjadi kembang rindu berwarna biru yang wanginya begitu syahdu.