Maka tahun berikutnya, Bang Nur harus mengutip jargon lama "jodoh di tangan Hansip" bagi pasangan yang tertangkap basah oleh Hansip.Â
Tapi kali ini berbeda. Apa yang Bang Nur alami saat itu, memang agak sedikit berbeda. Bukan di tangan Hansip, tapi "Jodoh di tangan kakek dan nenek".
Dari cerita orang tua di kampung, saudara, kakak dan adik-adik, sepupu, om dan tante, belakangan Bang Nur baru tahu proses pernikahan. Semuanya diatur keluarga. Dari mulai musyawarah keluarga, proses lamaran hingga tanggal dan waktu pesta.Â
Konon ceritanya, di saat Bang Nur masih di perantauan, keluarga besar audah sibuk mempersiapkan calon "Raja dan Ratu Sehari" dalam waktu singkat.Â
Dimulai dari perundingan kakek dan nenek, ibu dan bapak, hingga tiba di keputusan calon istri untuk Bang Nur adalah dari anggota keluarga sendiri. Tepatnya sesama cucu berjodoh.Â
Bang Nur sebagai cucu kakek, menyunting gadis dari cucunya nenek. Keren kan? Mana lebih seru proses pernikahan Bang Nur dengan cerita "Sitti Nurbaya" dalam kisah novel karya Marah Rusli yang kemudian pernah diangkat ke layar lebar untuk tontonan bioskop?Â
Sedikit latar latar belakang, tema novel karangan Marah Roesli berjudul "Sitti Nurbaya" dianggap mempunyai tema anti pernikahan paksa atau menjelaskan perselisihan nilai timur dan barat.
Dikutip dari Menulis.com, novel ini juga pernah dinyatakan sebagai suatu moment perjuangan pemuda pemudi yang berpikiran panjang melawan adat.Â
Seperti hubungan antara Sitti Nurbaya dan Syamsul di masyarakat. Dia menegaskan bahwa novel ini merupakan perbandingan pandangan Barat dan Tradisional.
Pesan utama dari novel ini dengan dialog panjang antara tokoh-tokoh dengan dikotomi moral. Cinta itu tidak dapat dipaksakan dan tidak dapt dikekang, kita tidak bisa memelihara cinta dalam ruang yang terbatas, karena hakikatnya cinta itu bebas.