Mengenal  dunia blogger dan menulis di blog, saya mulai dari Kota Bekasi, Jawa Barat, tempat saya tinggal saat ini. Awalnya saya sudah dengar ada komunitas Blogger Bekasi, disingkat "BeBlog" lalu berlanjut menulis di blog pribadi dan blok keroyokan seperti Kompasiana.
Tapi baru mengenal lebih dekat di saat ada acara "Pesta Blogger" Â di gedungnya Menristek (ketika itu BJ Habibie), di BPPT di Jl Thamrin, Jakarta.
Ketika itu saya datang ke acara "Pesta Blogger" sebagai wartawan untuk meliput acara tersebut. Besoknya hasil liputan saya dimuat di koran tempat saya bekerja. Sejak saat itu, mulailah saya mengenal sedikit demi sedikit dunia blogging. Terutama setelah meliput kegiatan tahunan di Pesta Blogger.
Tahunnya saya sudah lupa, kapan Pesta Blogger itu digelar dari tahun ke tahun. Tapi diingatkan lagi oleh Ketua Komunitas Blogger Bekasi (BeBlog), Aries Heru Utomo (AHU) - kini salah satu komisioner di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang bermarkas di Istana Presiden.
"Oh iya saya baru ingat, itu acara Pesta Blogger tahun 2010 dimana Beblog dapat penghargaan ya. Wah sudah 12 tahun lalu," kata Mas Aries, Ketua BeBlog di grup WA Blogger Bekasi.
Aktivitas saya sebagai blogger kemudian berlanjut, waktu melihat ada spanduk acara bloger terpasang di pagar kantor Walikota Bekasi. Saya mampir dan kenalan dengan teman-teman blogger, Â akhirnya sejak saat itu mulai bergabung sebagai anggota Blogger Bekasi.
Di acara blogger di kantor Walikota Bekasi ini, saya bertemu dengan Omjay, atau kini lengkapnya Doktor Wijaya Kusumah, M.Pd, sehari-hari sebagai guru di Labs School Rawamangun, Jakarta Timur. Beliau saat ini sangat produktif menulis di Kompasiana.
Dari sini, saya mulai sering ikut di acara Blogger Bekasi. Bahkan saya ajak istri yang kebetulan sehari-hari bekerja sebagai guru untuk bergabung sebagai blogger.Â
Belakangan putri saya juga bergabung, dari sejak masih di bangku kuliah hingga diwisuda sarjana. Sekarang lagi belajar menjadi "content creator" yakni membuat tulisan untuk dimuat di portal berita. Lumayan honornya bisa menutup biaya pulsa, paket dan langganan WiFi di rumah.
Dalam mengasah kemampuan menulis di blog, saya juga berusaha belajar lebih banyak lagi dengan mencoba bergabung dengan blogger senior lainnya. Salah satunya, saat BeBlog bekerja sama Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Indosat, menggelar pelatihan sosial media di Purwakarta. Kami menginap di sana dengan difasilitasi Indosat untuk akomodasinya.
Akhirnya saya mulai paham. Modal utama seorang blogger adalah mempunyai blog sendiri, disamping menulis di blog keroyokan seperti Kompasiana. Saya pun demikian. Ikut bikin blog gratis, tapi lupa password-nya.Â
Lalu pindah menulis secara aktif ke Kompasiana. Belakangan baru dibuatkan teman blog berbayar. Jadilah blog www.nurterbit.com sampai sekarang.Â
Alhamdulillah sejak bergabung di BeBlog, Komunitas IGI hingga kemudian rajin menulis Kompasiana, mulai saya nikmati hasilnya. Selain sering mengikuti lomba menulis dan membawa pulang hadiah, juga saya jadikan buku dari semua tulisan yang pernah dimuat di Kompasiana.
Hingga saat ini, sudah ada 10 buku saya diterbitkan dari hasil kumpulan tulisan yang semula berserakan. Dari 10 buku tersebut, 4 buku di antaranya adalah murni semua memuat tulisan sendiri, 6 buku lainnya adalah bunga rampai atau "keroyokan" bersama tulisan penulis lain dalam satu buku.
Keempat buku yang merupakan karya murni tulisan sendiri, adalah "Lika-Liku Kisah Wartawan" (PWI Pusat, 2020), "Wartawan Bangkotan" (YPTD, 2020), "Mati Ketawa Ala Netizen" (YPTD, 2022), "Menulis Sampai Tua" (YPTD, 2021). Beberapa naskah calon buku lagi masih dalam proses dan sudah berbentuk draft.
Demikian pula istri saya Sitti Rabiah dan Fifi SHN, keduanya juga adalah penulis di Kompasiana (Kompasianer).Â
Selama jadi blogger dan menulis di Kompasiana, masing-masing sudah menerbitkan 1 buku dari kumpulan tulisannya di blog dan Kompasiana. Istri saya Sitti Rabiah menerbitkan buku "Guru TK Ngeblog" dan putri saya Fifi SHN dengan buku "Blogger Milenial" diterbitkan Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD).
Menulis di Kompasiana
Kapan saya mulai menulis di Kompasiana, dan apa yang membuat saya tertarik bergabung sebagai Kompasianer?
Begini ceritanya. Latar belakang saya selama ini adalah wartawan. Tepatnya wartawan di sebuah surat kabar (koran). Jelas kalau pekerjaan saya sehari-sehari itu, ya adalah menulis.Â
Dari menulis berbagai berita peristiwa hingga tulisan ringan. Yang ringan-ringan inilah dikenal sebagai "feature" yakni artikel berisi human interested.
Nah, Kompasiana inilah yang menyiapkan wadah bagi penulis dengan format blog keroyokan. Siapa pun dia, profesi apa pun mereka.Â
Boleh menulis di Kompasiana (setelah mendaftar, login, tentunya) dengan gaya "feature", atau "story telling".
Modal saya sebagai wartawan di surat kabar, tentu mendukung jika bergabung di Kompasiana. Tapi persoalan lain muncul. Saya ini kan orang koran, tulisan diproses di surat kabar cetak? sementara di Kompasiana itu format digital.Â
Itulah yang terjadi  ketika saya awal mulai bergabung (tahun 2009). Mohon maaf, saat itu masih banyak wartawan seangkatan saya, belum diperkenalkan media online. Istilahnya gaptek, alias gagap teknologi. Nah, saya salah satunya.Â
Bisa dibayangkan. Kami yang "wartawan Bangkotan" dimana di kantor redaksi surat kabar masih menggunakan mesin ketika, lalu tiba-tiba harus menulis melalui komputer, laptop, tablet atau handphone untuk dimuat di Kompasiana?
Alhamdulillah dengan modal sudah bergabung dengan sejumlah komunitas blogger, ikut pelatihan menulis blog, akhirnya kesulitan memproses satu tulisan menjadi postingan di Kompasiana, ditambah ilustrasi foto, pelan-pelan bisa saya atasi. Semua fitur di Kompasiana kemudian saya uji coba satu persatu. Eh ternyata lama-kelamaan asyik juga
Ada peristiwa lucu dan menarik selama saya jadi blogger dan menulis di Kompasiana. Saat itu surat kabar diperkenalkan dengan hadirnya media online, atau web, portal berita dalam bentuk digital.Â
Saat itu, media cetak memang tak mau ketinggalan untuk ikut trend dengan kehadiran media digital dengan membuat media dalam versi digital. Tak terkecuali dengan koran atau surat kabar tempat saya bekerja.
Seluruh wartawan dan redaktur, diberi pelatihan dan praktik bagaimana mengelola media online berbasis berita peristiwa. Untuk level redaktur bidang (editor) diperkenalkan tugas dan tanggung jawabnya bagaimana mengedit naskah berita dari wartawan.Â
Demikian juga wartawan, diperkenalkan bagaimana prosedur pengiriman berita  dan foto dari lapangan ke redaktur atau editor di kantor redaksi. Berita apa saja yang harus cepat dikirim ke kantor untuk dimuat di media online, atau pengembangan berita untuk versi media cetak.
Dalam pelatihan wartawan dan redaktur itulah, Alhamdulillah saya tidak merasa asing sebab apa yang disampaikan oleh instruktur pelatihan media online, sudah saya dapatkan selama bergabung dengan komunitas blogger dan pengalaman menulis di Kompasiana.
"Nah, Bang Nur ini sudah mengerti rupanya bagaimana menulis dan memposting berita di media online," kata instruktur kami.
Padahal saat itu, sungguh mati, "ilmu" saya soal media online atau blog, baru kulit-kulitnya saja dari belajar di komunitas blogger dan Kompasiana. Selebihnya, masih harus terus belajar lagi.
Saya akhirnya bisa menyesuaikan diri. Berita yang semula ulasannya terbatas saat dimuat di surat kabar, saya kembangkan dan ulas lebih dalam di Kompasiana.
Yang mengagetkan, ketika berita razia "kupu-kupu malam" atau PSK (pekerja seks komersial) yang saya tulis di koran hasil operasi tim terpadu (Satpol PP & Kepolisian), saya kemas ulang di Kompasiana. Astaghfirullah, pembacanya ribuan.
Belakangan saya sadar, ternyata judul tulisan saya di Kompasiana, memang "seksi" dan terkesan "bombastis". Begini judulnya: "Ssstt...Ini Dia Tempat Mangkal Kupu-kupu Malam Jakarta". Ulasannya biasa saja, tapi judulnya itu yang mengundang penasaran pembaca, terutama ya mungkin "pria hidung belang" hehe..
Saya pernah ceritakan pengalaman ini acara Kompasiana, "Kursor - Kumpul Sore-sore" di Museum Bank Mandiri, Kita Tua, Jakarta. Yang hadir pada tertawa, termasuk CEO Kompasiana, Mas Nurul.
Kesan yang lain dan susah terlupakan hingga sekarang, saat Kompasiana bekerja sama dengan satu bank swasta, meminta Kompasiner untuk menulis kondisi pasar modern dan tradisional.Â
Saya sendiri kebagian liputan ke salah satu pasar tradisional dan modern di Plered, Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Biaya transportasi dan akomodasi, tentu ditanggung owner Kompasiana hehe...
Selain berkunjung dan melakukan wawancara di pasar modern, saya juga mampir di sebuah pasar tradisional. Namanya "Pasar Jokowi". Koq Jokowi? Mirip nama Presiden RI kita: Jokowi (Joko Widodo).
Nama pasar ini, rupanya diambil dari posisi pembeli yang "JOngKOk" dan "Uwie" (bhs Sunda) di peralatan pedagang terbuat dari bahan bambu. Artinya, rata-rata pembeli yang mampir berbelanja, harus jongkok di depan peralatan pedagang dari bambu.
Eh iya, satu lagi. Dalam salah satu acara "Kompasianival" - acara rutin tahunan berupa kopi darat sesama Kompasianer - ketika itu menghadirkan narasumber Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok).Â
Saya bertanya ke Pak Ahok soal korupsi di lingkungan Pemprov DKI, dijawabnya dengan tuntas dan lugas. Begitu saya turun dari panggung, Kompasiana memberi saya "godie bag" karena pertanyaan "nakal" tadi. Ya, masih banyak lagi pengalaman lain selama bergabung sebagai Kompasianer di Kompasiana.
Selain itu, dampak positif dari rajin menulis di blog dan Kompasiana, selain bisa diterbitkan sebagai buku juga mulai menerima permintaan untuk hadir sebagai narasumber di sebuah seminar, diskusi, atau pelatihan jurnalistik. Paling tidak, diminta berbagi pengalaman dari mulai bagaimana teknis menulis di blog, di Kompasiana, hingga menerbitkan buku.
Acara terkini, menjadi salah satu narasumber di acara Kopdar kerjasama YPTD, Pak Tjipta dan Kompasiana di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Agustus 2022 lalu. Dari Kompasiana hadir Mas Nurul.
Harapan saya ke depan sebagai
Kompasianer, semoga Kompasiana yang telah memasuki tahun ke-14 semakin jaya. Semakin banyak acara kopdar, juga lomba menulis dan saya ikut menjajal keberuntungan.
Salam : Nur TerbitÂ
* Alhamdulillah, tulisan ini terpilih sebagai artikel terbaik, satu dari 5 besar juara lomba menulis #KisahManisKompasianer yang digelar oleh Kompasianer Jogja seperti di pengumuman ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H