Oh iya, dengan Bung Neta sendiri, boleh dikata adalah teman saya dalam "sepiring berdua", "sekasur bersama", "senasib sepenanggungan" karena cukup lama sering bareng meliput di wilayah Jakarta Utara.
Tentu banyak kisah unik, berkesan, tegang dan sedikit "horor" antara saya dengan mantan Presidium Indonesia Police Watch (IPW) -- yang masih sempat berkomunikasi via daring menjelang ajal menjemputnya karena Covid-19. Al-fatihah buat bung Neta.
Di lapangan pula, terutama di Jakarta Utara (wilayah kecamatan Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Koja, Cilincing dan Kelapa Gading), saya dan Bung Neta di era 1980-an itu adalah "anak bawang" di tengah wartawan senior yang sama memburu berita.
Tahun 1980-an itu, saya dan Neta masih sama-sama bujangan "tong-tong" ( kalau perawan kan istilahnya "ting-ting" hehe..) dan masih wartawan muda pula yang baru pertama kali menapakkan kaki di belantara hutan beton ibukota.
Saya awalnya wartawan lokal (daerah) di Kota Makassar, Sulsel, dan merangkap menjadi koresponden koran Harian Terbit dan Pos Kota (milik Harmoko) untuk biro Indonesia Timur berkedudukan di "Kota Daeng". Pak Harmoko ketika itu masih Ketua PWI Pusat, belum jadi Menteri Penerangan.Â
Nah di Makassar pula saya mengenal pertama kali koran "Merdeka". Itu karena korespondennya, Â Charles Arsthaka sering liputan bareng. Bedanya beliau senior, saya yuniornya.
Sedang bung Neta S Pane, juga masih "jomblo". Anak Medan ini awalnya lebih sering main teater, sambil meliput berita di Jakarta Utara sebagai wartawan muda dari koran "Merdeka". Itu sebabnya, kami berdua merasa nyaman karena satu "frekuensi".Â
Tak hanya di lapangan, kami berdua juga pernah satu kantor. Bung Neta belakangan bergabung di Harian Terbit setelah re-sign dari "Merdeka". Di tempat baru yang kantor redaksinya di kawasan industri Pulogadung Jaktim, Neta di posisi Redpel Harian Terbit dan saya penjaga gawang halaman alias redaktur bidang Perkotaan, Kriminal dan Hukum.
Tapi Neta tidak begitu lama di Harian Terbit. Selanjutnya dia bergabung di koran "Sinar Pagi" -- yang sudah dibeli pengusaha Bakry Brother dari pemilik lamanya Charlie Siahaan. Dalam pengakuannya kepada saya, juga pernah ditulis di status Facebooknya, dia meninggalkan Harian Terbit dan bergabung ke "Sinar Pagi" karena tergiur jumlah gaji yang berlipat-lipat hahaha....
Saya kurang tahu, apakah setelah "Merdeka" ditutup, Neta juga bergabung ke versi baru koran Merdeka yang sudah tutup dan (konon) dibeli "Jawa Pos" dan berganti nama "Rakyat Merdeka", juga ada versi online-nya "Merdeka.com". Saya tidak sempat konfirmasi hehe...
Di luar profesi wartawan, saya dengan Neta, bahkan pernah sekali waktu, ada satu gadis aktivis di Jakut, yang diam-diam kami berdua jatuh cinta kepadanya. Sampai akhirnya "putus" diam-diam pula. Nah, setelah putus itulah baru kami sadar, ternyata telah terjadi "asmara segi tiga"....hahaha..