Nah, rupanya ini rahasianya. Lagi-lagi kembali ke soal "kehangatan" tadi. Bahan makanan dan belanjaan dari pasar, "dipeti-eskan" di kulkas.Â
Begitupun masakan dan makanan. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, semua dikeluarkan lagi dari kulkas.
Misalnya nih ya, contoh. Kue "Jalangkote" alias kue Pastel khas Makassar. Separuh digoreng, separuhnya lagi disimpan di kulkas.Â
Jadi begitu "Jalangkote" habis dimakan dan masih mau nambah lagi, ya tinggal buka kulkas dan keluarkan "Jalangkote"-nya untuk digoreng lagi. Jadi hangat lagi.
Itu urusan kue "Jalangkote". Tidak jauh beda dengan urusan "Coto Makassar".Â
Ketika daging cotonya sudah "tiris", babat dan campuran lainnya sudah tidak tersisa lagi. Jeroan sudah ludes dan "ambyar". Masih ada banyak cara. Jangan putus asa. Masih "Banyak Jalan Menuju Roma".Â
Itulah kehebatan seorang istri. Dia bisa mengolah kembali bahan-bahan sisa yang masih ada. Menjadi lebih berada dan beradab.
Harap maklum, ketika harga daging sapi melambung tinggi -- bahkan waktu jelang lebaran cukup mahal (sampai ke harga Rp200 ribu/kg) -- istri tidak kehabisan akal. Caranya?
Masakan Coto Makassar yang perlu "kehangatan" tadi, misalnya, ikut berganti musim.Â
Dari semula ada segala macam jenis daging sapi dan jeroan tadi, bisa segera berganti musim, eh, wujud, menjadi daging ayam, telur ayam.Â
Maka jadilah "Coto Makassar" versi daging ayam dan telur ayam