***
Sebenarnya, orang yang sedang menjalankan "safar" sebagai  "musafir" adalah termasuk salah satu golongan yang diberi keringanan oleh Allah untuk tidak berpuasa. Golongan lainnya adalah wanita hamil dan menyusui.
Dalilnya yang saya temukan adalah:
"Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah salat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui." (HR. An Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Hadits ini merupakan dalil bahwa "musafir" boleh berbuka sebelum dia pergi "bersafar". Inilah hukum puasa bagi "musafir". Jadi, jika dengan berpuasa dapat menimbulkan bahaya pada diri kamu, maka puasa diharamkan baginya.
Selain itu, jika kamu belum memenuhi persyaratan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir, maka kamu wajib berpuasa.
Berapa jauh perjalanan boleh disebut "musafir"? Dari hasil penelusuran literatur itu, saya menemukan jawaban bahwa: "Musafir atau dalam perjalanan dengan jarak yang ditempuh telah mencapai 81 kilometer".
Nah, bagaimana dengan saya yang "musafir"-nya hanya dari Bekasi ke Jakarta?
Jarak Bekasi - Jakarta memang tidak sampai 81 kilometer, bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Tapi jika tiba saatnya arus lalulintas macet, misalnya saat jelang buka puasa, di mana banyak orang "ngabuburit" di perjalanan, maka waktu tempuh bisa lebih dari 1-2 jam.
Bagaimana "musafir" mengganti puasanya?
Lagi-lagi saya tidak termasuk "musafir" seperti dalam pandangan hukum Islam. Setidaknya bukan orang yang  "meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu".
Buka
Maka, bagi saya sendiri, tetap harus berpuasa dan...mampir ke masjid untuk berbuka puasa "gratis", sekaligus numpang sholat Magrib berjamaah. Iya kan?