1980 - 2012 - 2022 - dua belas angka di atas, sama sekali bukan nomor togel (toto gelap), nomor buntut, nalo atau lotto.
Juga bukan nomor undian harapan maupun kode voucher. Apalagi password untuk menarik uang melalui kartu ATM. Sama sekali bukan.
Dua belas angka di atas, hanyalah sekedar mau menyegarkan kembali ingatan saya sendiri. Ya, tentang angka tahun bersejarah bagi perjalanan hidup saya pada profesi yang dulu dikenal dengan sebutan "kuli tinta", "kuli disket", "nyamuk pers". Sekarang di era digital mungkin lebih tepat disebut "kuli internet".
Bahwa ada angka 1980, itu adalah tahun pertama kali saya resmi sebagai wartawan "beneran" di Kota Makassar Sulsel. Dari koran lokal hingga koresponden surat kabar nasional dari Jakarta.Â
Setiap hari dalam 24 jam, mencari informasi, mengklarifikasi, cross cek and recek, wawancara dan menuliskannya menjadi berita atau laporan jurnalistik.
Sedang angka 2012 adalah tahun dimana saya dinyatakan resmi lulus dan sudah dianggap WARTAWAN UTAMA pada uji kompetensi wartawan (UKW) yang diselenggarakan Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Seusia Rezim Pak Harto
Jadi kalau dihitung dari tahun 1980 ke 2012, artinya saya harus melewati lorong waktu yang panjang selama 32 tahun -- seusia rezim Orde Baru era Pak Harto -- untuk diakui sudah kompetensi sebagai wartawan level utama.
Sedang angka 2022, adalah tahun di mana saya masih tetap setia di profesi ini. Entah hingga kapan, di usia sekarang yang sudah menjelang 62 tahun berjalan.
Sekedar diketahui, untuk bisa dianggap sudah kompetensi, maka seorang wartawan "alumni" UKW, harus melewati tiga level. Pertama, level MUDA (kategori wartawan). Kedua, MADYA (redaktur), dan ketiga UTAMA (pemimpin redaksi). Tidak sedikit yang "gugur" saat ujian di ketiga level tersebut. Alias tidak kompeten.
Dari level Muda menuju Madya, seorang wartawan harus menunggu 3 tahun, dan dari Madya ke Utama perlu menanti 2 tahun. Selanjutnya untuk bisa menjadi Penguji UKW, syaratnya sudah level wartawan Utama. Ini juga melalui seleksi dan ikut TOT (Training of Trainer), dan magang sebagai calon penguji UKW.
Adapun persyaratan
untuk mengikuti kegiatan TOT tersebut, setidak ada 8, antara lain adalah:
1. Anggota Biasa PWI, bukan Penguji dan bukan Penguji Magang PWI;
2. Memiliki Sertifikat Wartawan Utama dari Lembaga Uji PWI;
3. Bersedia mengikuti TOT Virtual secara penuh waktu. Maklum masa pendemi. Pelatihan dilakukan secara online;
4. Bersedia mengikuti tes pemahaman terkait Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan;
5. Bersedia mengikuti ceramah/diskusi tentang Kode Etik Jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun 1999, peraturan terkait pers lainnya, serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak;
6. Bersedia menulis makalah dan menyerahkannya ke Sekretariat PWI Pusat, paling lambat tiga hari kerja setelah TOT Virtual tentang implementasi Kode Etik Jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun1999, peraturan terkait pers lainnya, serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak;
7. Bersedia mengikuti magang calon penguji minimal tiga kali (muda, madya, utama) untuk
memperoleh sertifikat telah mengikuti/lulus TOT Virtual;
8. Bersedia menanggung beban biaya pulsa selama penyelenggaraan TOT Virtual;
Jadi, jangan anggap enteng itu UKW. Sebab di ujian tersebut, anggaplah sebagai latihan atau simulasi. Bagaimana menjadi wartawan, redaktur (editor), pemimpin redaksi (pemred) satu media yang sesungguhnya.
Melalui UKW, juga akan dilihat apakah Anda sudah kompetensi sebagai wartawan, redaktur, pemimpin redaksi atau hanya sekedar "kaleng-kaleng", "abal-abal", "muntaber" (muncul tanpa berita) atau "pasukan Bodrex"?
Bisa jadi Anda hanya sekedar "wartawan" (dalam tanda kutip) yang bermodal kartu pers, yang entah medianya apa, dan apa sudah pernah ikut UKW. Jangan-jangan kartunya juga palsu, atau asli tapi beli.
Sama dengan kasus soal gelar "Profesor" satu kampus yang belum lama ini heboh dan viral di media sosial. Tapi ternyata dilaporkan ke polisi karena diduga palsu.
Atau Anda termasuk sarjana, magister, doktor lulusan STIA alias Sekolah Tiada Ijazah Ada. Tidak pernah masuk kampus, tidak ikut wisuda, tau-tau beli ijazah. Eh belakangan ketahuan ijazahnya tidak tercatat di Kemendikbud. Itu pun ketahuan setelah mau dan sudah jadi anggota legislatif, pejabat birokrasi atau jabatan lain hahaha...
Sekali lagi, jangan sepelekan status dan profesi wartawan. Proses pencapaiannya cukup panjangndan berliku. Tidak sesingkat perjalanan, misalnya, untuk menjadi seorang netizen jurnalist, Youtuber, Selebgram, Tiktoker, atau content kreator, pemburu konten dan sebangsanya. Salam #nurterbit
#Keteranganfoto status: contoh Sertifikat Kompetensi Wartawan level Utama yang dikeluarkan Dewan Pers - PWI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H