The old journalist never die...
The old writer never be tired ...
Wartawan tua tidak pernah mati. Penulis tua tidak pernah lelah..
Ungkapan yang cukup populer di atas, menjadi motivasi saya saat pertama kali memutuskan untuk menulis buku. Tentu menulis buku karena sudah ada sedikit kelonggaran waktu, pasca pensiun jadi wartawan di lapangan.
Tapi maaf, bagi saya dan mungkin teman lain maupun wartawan yang sudah senior, juga sepakat kalau wartawan itu adalah profesi yang tak mengenal pensiun.
Dalam aalah satu artikel yang pernah ditulis oleh "Daeng" Ilham Bintang, wartawan senior, pemilik infotainment, katanya kira-kira begini : "media boleh tutup, surat kabar atau media apa pun namanya boleh bubar, tapi yang namanya wartawan, semangatnya tak pernah mati (pensiun)".
Suatu waktu, komunitas penulis di Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) menggelar webinar. Secara rutin menghadirkan narasumber dari kalangan penulis buku. Berbagi pengalaman bagaimana proses kreatifnya dalam menulis.
Melalui YPTD pimpinan Thamrin Dahlan ini, seorang kompasianer, penulis buku yang sudah purnawiran Polri ini, suatu hari memberi kehormatan kepada saya untuk tampil sebagai narasumber pada satu sesi webinar.
Mungkin karena saat itu saya dianggap sudah pensiun sebagai wartawan media cetak (koran, surat kabar harian), teman-teman di sana mengusulkan agar topik diskusi webinarnya adalah "Wartawan Tanpa Suratkabar".
Baca Juga : WARTAWAN BANGKOTAN
Tawaran simpatik itu langsung saya terima. Tapi dengan catatan, topiknya saya usulkan diganti menjadi "Wartawan Tak Kenal Pensiun". Kenapa? Alasannya sederhana saja. Lebih pas dan tentu lebih bebas bagi saya "mengeksekusinya" karena saya sendiri yang mengalami.
Kalau topik pertama yaitu "Wartawan Tanpa Suratkabar", jika disingkat akan menjadi WTS, atau wartawan Bodrex, wartawan abak-abal, menurut saya konotasinya bisa negatif. WTS, sudah "merk dagang" pihak lain. Yakni (maaf), singkatan dari Wanita Tuna Susila. Atau sebutan halusnya PSK, alias Pekerja Seks Komersial
Lagi pula di era digital ini, sudah tidak cocok menggunakan istilah wartawan tanpa suratkabar. Ataupun wartawan Bodrex yang meniru iklan obat sakit kepala itu. Kenapa? Ya, dunia surat kabar sendiri sudah mengalami senjakala. Sudah pada mati.Â
Atau setidaknya, "hidup segan mati tak mau". Kalau pun masih ada koran beredar, kata teman yang wartawan senior, lebih banyak wartawannya dari pada oplah korannya. Jadi koran itu mencoba tetap eksis, tapi hanya sekedar bertahan demi gengsi, dan tentu pertimbangan faktor nilai sejarah dari media tersebut.
Mereka gak dibredel atau diberangus oleh penguasa. Tapi "memberanguskan diri" sendiri. Satu demi satu koran berguguran. Mereka beralih ke versi digital alias media online. Sudah banyak bukti "wassalam" yang bisa diambil sebagai contoh.
PENSIUN TAPI TETAP MENULIS
Agak repot memang untuk menggambarkan sosok seorang "pensiunan" wartawan, atau wartawan yang sudah menjalani masa pensiun. Gampangnya, ya contohnya saya sendiri deh. Sudah pensiun dalam arti tidak ke kantor dan ke lapangan lagi mengejar berita dan narsumber. Pensiun tapi tetap menulis.Â
Memasuki masa pensiun, setiap orang mengalami banyak perubahan dalam hidup. Itu sudah pasti. Dari segi penurunan aktivitas, penghasilan, produktivitas, dan masih banyak lagi. Ini saya kutip dari pengantar TOPIK PILIHAN dari admin Kompasiana.
Bahkan, rasa sedih, kesepian dan kekhawatiran pun kerap menghantui. Jika tak dikelola dengan baik, dapat berakibat stres, tak bersemangat, dan putus asa. Lantas tubuh kian lemah dan mudah sakit.
Kalau sudah begini, apa yang harus kita perbuat?
Kalau saya sih, ya seperti yang saya ceritakan di atas. Mencari kesibukan.yang tidak jauh-jauh dari dunia saya sebelumnya. Yakni dunia tulis-menulis. Pensiun tapi tetap "sibuk" bekerja dengan menulis dan mengirimkan ke media.
Baca Juga : Cerita di Balik Penulisan Buku Wartawan Bangkotan
Atau menulis buku di antaranya. Dengan bermodal latar belakang sebagai "Wartawan Bangkotan", saya tetap menulis. Menjadi admin atau redaktur tamu di sejumlah media online, di tabloid atau majalah yang masih "ngotot" untuk tetap terbit dan siap kalau sewaktu-waktu medianya  dijemput ajal.
Meski sudah mencoba tetap eksis menulis di masa pensiun (ditambah lagi masa pandemi Covid19 sekarang ini), tak sedikit kendala tetap menghadang. Hanya saja karena tekad sudah terlanjur ditancapkan.Â
Â
Ya, itu pula judul buku yang sedang saya garap sekarang ini. Ibarat semboyan pelaut dari kampung saya di tanah Bugis-Makassar, seperti di bawah ini :
...Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai. Lebih memilih tenggelam dari pada hanyut terbawa arus kembali ke pantai.."
Terjemahan bebas dari saya versi bahasa Makassar :
"Takkala le'bami kukakkasang sombalakku, kupatinra gulingku, tenami ri atingku a'lampabiluki biseangku lammotere..
Karena itu, tak ada kata menyerah, batal, mundur, atau pulang tanpa hasil, tapi tetap harus maju. Ya, melanjutkan mimpi dan impian yang tertunda.Â
MENGISI WAKTU PENSIUN SAMBIL MENULIS BUKUÂ
Pensiun itu indah tapi sedikit membosankan jika tidak diisi dengan kegiatan positif. Banyak cara dilakukan kaum pensiunan. Ada yang melanjutkan hobinya dengan berkebun, mengajar di kampus atau membuka pelatihan.
Kalau saya sih sudah jelas, tetap menulis meski sudah pensiun dari wartawan lapangan atau redaktur yang harus berkantor. Hari Senin 15 Febuari 2021 silam misalnya, buku terbaru saya dan putri saya, Alhamdulillah sudah proses naik cetak.
Ini buku yang keempat saya : "MENULIS SAMPAI TUA", sekaligus juga buku perdana dari putri bungsu saya Fifi (Siti Harfiah Nur) "BLOGGER MILENIAL". Sudah diajukan oleh penerbit Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) ke Perpustakaan Nasional bersama buku lainnya. Sudah mendapatkan ISBN, tanda daftar resmi bagi buku baru dari lembaga pemerintah.
ISBN (International Standard Book Number) sendiri, adalah kode pengidentifikasian buku yang bersifat unik. ISBN terdiri dari deretan angka 13 digit, sebagai pemberi identifikasi terhadap satu judul buku yang diterbitkan oleh penerbit.
Terima kasih pak Thamrin. Juga bang Ajinatha - Aji Najiullah Thaib - sebagai desainer buku saya dsn putri saya. Alhamdulillah, sudah bisa dipesan dari sekarang melalui Pre Order.
1. Wartawan Bangkotan (100 K)
2. Mati Ketawa Ala Netizen (75 K)
3. Di luar ongkos kirim.
Putri bungsu saya Siti Harfiah Nur atau Fifi , ternyata diam-diam mengikuti jejak "Tetta-na" (Papah-nya) -- yang sudah "Wartawan Bangkotan" -- untuk menjadi blogger dan belajar menulis buku. Ya, Fifi mau menjadi blogger dan penulis di era milenial ini.
Alhamdulillah, cover bukunya juga didisain oleh Bang Aji Najiullah Thaib (Ajinatha) yang memang ahli membuat disain cover buku. Judul bukunya BLOGGER MILENIAL.
Buku perdana dari Fifi ini, berisi kumpulan tulisannya sejak jadi blogger, bergabung di komunitas blogger, pengalaman sebagai mahasiswi kos-kosan, ikut kopdar dan lomba blog, ikut event blogger, endorse produk, ngebuzzer, live twit, traveling, wisata kuliner.
Juga, ada pengalaman seru dan mencekam saat Fifi terbaring di ruang operasi (bedah) rumah sakit, perjuangannya melawan dan mencoba lepas dari dekapan tumor, serta sejumlah cerita seru lainnya.
Begitulah saya menulis dan mengisi waktu pensiun. Tidak terasa sudah mengabdi sebagai wartawan aktif di lapangan dan editor di kantor redaksi selama 34 tahun hingga benar-benar pensiun Februari 2014. Selanjutnya beralih ke media online sambil menulis buku dari kumpulan tulisan yang pernah dimuat di media.
Terakhir sebelum pensiun penuh di surat kabar, sempat duduk sebagai redaktur. Sebelumnya sudah berkarier sebagai wartawan dimulai dari jenjang koreponden daerah di Makassar, Sulsel.Â
Alhamdulillah saat pensiun (lebih tepatnya PHK karena korannya dijual oleh pemiliknya), saya menerima pesangon kurang dari Rp 50 juta.
Setelah dipotong segala macam sangkutan utang dari kantor dan koperasi, saya hanya bisa membawa pulang uang pesangon Rp 20 jutaan, bersih. Ya, pesangon untuk 34 tahun sebagai wartawan.
Baca Juga : Cerita Sahabat Tentang Wartawan Bangkotan
Kompasianer, itulah yang saya lalui selama periode pensiun. Penuh suka duka. Tentu ada cara lain mengisi masa pensiun, tapi begitulah yang saya lakukan supaya tetap semangat dan merasa bermanfaat bagi orang di sekitar.Â
Mari kita sekeluarga tetap saling mendukung, sehat dan produktif. Insha Allah. Aamiin. Salam (Nur Terbit)
Tulisan terkait :
Praktik Senioritas di Kantorku Sempat Membuat Depresi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI