Sebagai orang Makassar, memang gak pas kalau saya pakai pakai "Wartawan Bangkotan" (dalam bahas Betawi, wartawan tua) untuk personal branding saya.
Harusnya memakai jargon Makassar juga ya Karena kalau "wartawan tua" dalam bahasa Makassar, bukan "bangkotan".Â
Tapi biasanya disebut "wartawan akkapurru'mi" (wartawan sudah keriput kulitnya) "wartawan a'lato-lato'mi" "wartawan a'lowa-lowami" (wartawan sudah pikun).Â
Bahkan untuk kata "wartawan" orang Makassar menulisnya dengan "WartawanG" pakai huruf akhiran "G" besar
Kenapa saya pakai istilah bangkotan itu, ada alasannya, tidak mesti dong saya harus jadi orang Betawi terlebih dahulu hahaha...Rektor STP (Sekolah Tinggi Publisistik) Hoeta Soehoet, dimana penyanyi dan musisi lagendaris Iwan Fals kuliah, pernah bilang,Â
"...wartawan yang selama hidupnya tidak pernah menulis buku, hanya pantas disebut wartawan Bangkotan..".Â
Nah, saya terinspirasi dari kata-kata beliau. Saya ingin membuktikan, bahwa sekalipun saya sudah "Bangkotan", tapi saya sudah bisa menulis buku. Ya makanya saya beri judul bukunya : "Wartawan Bangkotan".
Diprotes Teman Wartawan
Terus terang, saya jadi gak enak diomongin sama Abang senior Endang Sobirin di status FB yang beliau posting 9 Juni 2021 hahahaha....Lalu saya mencoba menjawab protes beliau dengan judul : MEMBALASÂ STATUS FB Endang Koeswadi Sobirin
Abang senior Endang Sobirin, teman saya ini masih sesama wartawan, walaupun belum pernah satu liputan bersama. Tapi banyak teman sekantornya saya kenal. Saya di harian Terbit (Pos Kota Grup).Â
Saya kenal beliau waktu masih di koran harian "Jayakarta" almarhum. Dari semula berkantor di Tanah Abang II Jakpus, lalu gabung ke kantor Sinar Harapan/Suara Pembaruan di Jl. Otista Cawang Jaktim.Â
Setelah sudah sama-sama "Bangkotan", eh malah ketemu di media sosial Facebook ini. Dunia ternyata sempit ya hahaha...
Beliau tidak setuju saya pakai istilah "Bangkotan". Seperti yang saya screenshot status FB-nya di bawah ini. Alasan beliau, karena "Bangkotan" itu katanya, istilah Betawi (Jakarta).Â
Jadi katanya hanya cocok untuk orang atau wartawan etnis Betawi. Misalnya, Ridwan Saidi atau Mahbub Djunaedi, dua tokoh Betawi yang sudah tua. Eh, maksudnya tidak muda lagi
Babeh Ridwan Saidi adalah budayawan Betawi dan mantan anggota DPR, kini masih hidup, dan Mahbub Djunaedi adalah wartawan senior, kini sudah wafat, dan beberapa bukunya saya koleksi.Â
Bahkan, ketika Ridwan meluncurkan buku kumpulan tulisan Mahbub di Yayasan Bung Karno, Pasar Minggu, Jaksel, 1990-an, saya juga hadir meliput sebagai wartawan.Â
Di tempat ini saya ketemu almarhum "Om Pram" alias Pramoedya Ananta Toer bersama adiknya Koesala Soebagyo Toer. Sempat berfoto.
Tulisan tentang "Om Pram" selengkapnya ada di link ini
Atau di nurterbit.blogspot (2011/12) bertemu-sesama-pengagum-pramoedya. Atau di blog saya yang lain : www.nurterbit.com Bisa juga diklik channel video saya YouTube.com/nurterbit
Saya Pakai Sebagai Personal Branding
Tentang apa arti "Bangkotan" itu sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bangkotan adalah "bangkot". Arti lainnya dari bangkotan adalah "sudah tua". Bisa diklik link ini : https://lektur.id/arti-bangkotan/
Jadi saya kira, begitulah argumen saya. Mohon maaf kepada Abang senior Endang Sobirin, juga untuk masyarakat Betawi pada umumnya.Â
Maaf, sekali lagi maaf, jika orang Makassar seperti saya sudah "lancang" memakai istilah Betawi "Bangkotan" untuk judul buku saya.
Saya sendiri pernah memegang KTP DKI Jakarta bergambar Monas waktu masih bujangan di Tanjung Priok, Jakarta Utara (1980-1990).Â
Lalu "menyingkir" ke pinggiran ibukota, tepatnya di Kota Bekasi (1990 sampai sekarang) dan berganti KTP bergambar Kujang, senjata tradisional masyarakat Sunda. Semacam badik di Makassar, atau keris di Jawa, rencong di Aceh dan lainnya.
Itu sebabnya, saya juga heran. Sebagai orang Makassar, seharusnya kan saya ini lebih pantas dipanggil "Daeng Nur", tapi kenyataannya teman-teman lebih sering menyapa "Bang Nur", layaknya panggilan lelaki Betawi. Khususnya Jakarta.Â
Mungkin karena sudah separuh umur saya (31 tahun dari 60 tahun), dihabiskan di rantau. Lebih aneh lagi, ada yang manggil "Abang Daeng". Ya suka-sukalah. Dipanggil apa aja boleh deh, asal jangan dipanggil oleh KPK. Bisa gawat
Jadi untuk "kasus" Bangkotan ini, saya tentu harus berterima kasih sekali lagi kepada Abang Senior Endang Sobrin. Hitung-hitung, Abang Endang telah ikut mempromosikan buku saya, sekaligus personal branding saya secara gratis
Kalau perlu, maaf nih bang, saya tantang abang. Yuk kita berkolaborasi menulis tentang "Lika-Liku Kisah Wartawan" -- ini juga judul buku saya yang lain dengan editor Ismet Rauf wartawan senior LKBN Antara -- diterbitkan oleh PWI Pusat dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN), Februari 2020, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.Â
Nah kapan nih kita berkolaborasinya? Atau sekedar ngopi-ngopi dulu untuk "pemanasan" Saya tunggu kabar dari Abang deh kapan siapnya. Yuk ah bang...
Bekasi, Rabu 9 Juni 2021 pk. 00.48 WIB -Salam Nur Terbit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H