Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Begini Trik Wartawan Kalau Mau Izin Cuti

4 Juni 2021   10:21 Diperbarui: 4 Juni 2021   13:31 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya wartawan saat meliput di lapangan, menunggu narasumber memberi keterangan (foto dok Nur Terbit)


Pernah gak dapat surat peringatan (SP) dan mutasi sebagai karyawan di satu perusahaan swasta, gara-gara izin dan cuti? Apa bedanya jika bekerja sebagai wartawan di satu penerbitan media, terutama koran atau surat kabar?

Bagaimana sesungguhnya etika cuti dan izin yang baik menurutmu? Seperti apa prosedur pengajuan di kantormu? Apa kendalanya? Bagaimana respons rekan kerja dan atasan setiap kali kamu mengajukan cuti/izin?

Beginilah pengalaman yang saya akan ceritakan selama bekerja -- hampir 34 tahun -- sebagai wartawan, kemudian berlanjut sebagai redaktur di surat kabar Harian Terbit (Pos Kota Grup), era 1980 - 2014.

Sebagian dari pengalaman konyol sebagai wartawan tersebut, sudah pernah juga saya tulis di buku "Wartawan Bangkotan". Sebagian lainnya ada di akun Kompasiana saya. Salah satunya Wartawan Siap Kerja di Bawah Tekanan

Alhamdulillah, saya memang termasuk yang jarang bolos masuk kantor. Yang ada, saya  lebih banyak menerima surat mutasi penugasan/pemindahan pos liputan dari pada surat peringatan (SP). Baik mutasi di lapangan maupun mutasi redaktur bidang di kantor.

Saking banyaknya SK (surat keputusan) mutasi penugasan, terkadang surat penugasan tersebut belum saya antar ke bagian humas, sudah dikasih lagi surat mutasi penugasan ke pos liputan lain. Pokoknya pemecah rekor penerima SK

Repotnya, surat mutasi itu kebanyakan saya terima pada saat menjelang lebaran. Kebayang dong serba salahnya. Di tempat pos liputan lama nama saya sudah dihapus dari daftar penerima "jatah" THR-nya karena dimutasi, sementara di tempat baru (pos baru) belum masuk daftar nama wartawan di pos baru tersebut. Akhirnya gigit jari, gak dapat THR hahahaha....

MENGAJUKAN IZIN CUTI

Beda lagi ceritanya kalau bicara soal izin cuti. Waktu itu saya rencana mau izin cuti untuk mudik ke Makassar naik kapal laut. Dapat izin cuti 7 hari dari kantor, tapi baru bisa masuk kerja setelah 14 hari. 

Pasalnya perjalanan ditempuh 2 hari 3 malam, jadi PP hampir 5 hari. Praktis cuma 1 hari di kampung karena waktu tersita lebih banyak di perjalanan. 

Waktu itu belum banyak kapal laut, jadi harus menunggu jadual kapal hingga seminggu yang berlayar ke Irian (Papua). Setelah itu baru balik lagi ke Jakarta. Nah saat transit di Makassar itulah barulah bisa ikut balik berlayar ke Jakarta hahaha...

Soal aturan tata terbit dan disiplin sebagai karyawan, juga ada ceritanya. Kerja di bawah tekanan memang bikin kesal, apalagi sudah menyangkut rasa keadilan dalam soal hak dan kewajiban sesama karyawan. 

Saya merasa pernah diberlakukan  tidak adil. Misalnya soal izin cuti atau pengajuan pinjaman buang di kantor. Ketika teman L, saya, A, Z, D "dikaryakan" di  salah satu tabloid (masih media grup satu manajemen), saya sempat ribut dengan PU/PP dan Pemred di rapat redaksi. 

Pasalnya, saat teman L izin cuti karena (lupa waktu itu, cuti hamil apa melahirkan), dibolehkan sama PP dan Pemred. Begitu juga R (bagian layout/foto cover) dan Z mengajukan pinjaman uang dan potong gaji, eh mereka semua dikabulkan. 

Giliran saya mau minta cuti, mau minjam uang, gak boleh. Saya ngamuk di rapat. Bos kami Pak H dan Pak Z marah, lalu mengembalikan saya lagi ke media pertama dan diusulkan untuk dipecat. Untung waktu itu Pak D (Pemred Terbit) menerima saya kembali hahahaha.....

Ada trik lain juga pernah saya lakukan (nah, bongkar rahasia perusahaan nih hehehe). Saking susahnya dapat izin cuti pulang kampung ke Makassar, saya minta kakak mengirim telegram ke kantor redaksi. 

Isi telegram, seolah-olah ada anggota keluarga yang sakit keras di kampung, sehingga harus segera pulang. Lembar telegram itulah yang kemudian saya lampirkan pada surat permohonan izin cuti ke pimpinan redaksi.

Waktu itu, belum era digital, belum ada handphone, SMS, What's App atau video call. Kalaupun pakai telpon interlokal, biayanya mahal. Lagi pula, tidak ada bentuk fisiknya yang bisa dijadikan bukti kalau memang ada berita penting dari kampung.

Kalau ada berita penting, biasanya orang mem fasilitas telegram yang dikeluarkan melalui kantor Telkom. Lebih praktis, juga cepat sampainya dibanding kalau menggunakan surat melalui kantor pos. Hari itu pesan dikirim, hari itu juga tiba di alamat yang dituju.

Nah, apakah kamu juga pernah punya pengalaman terpaksa berbohong supaya mendapat izin atau cuti? hahahaha....dasar!

SAAT MEDIA SUDAH BUBAR

Ini juga terulang ketika saya "dikaryakan" di koran P, masih grup media yang satu menejemen. Saya bergabung dengan wartawan dari sesama grup. 

Ketika koran P tutup karena dianggap merugi, wartawan lain di koran P bisa "berlenggang" ramai-ramai balik ke kantor redaksi masing-masing. Sementara saya harus berjuang untuk diterima kembali di koran Terbit. Bahkan sempat ditolak karena posisi di media asal sudah ditempati teman lain hahahaha....nasib..nasib. 

Salam : Nur Terbit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun