Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kenal BTN Setelah Ditipu Teman yang Jual Rumah

28 Februari 2019   01:01 Diperbarui: 28 Februari 2019   01:59 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartu debitur, KTP, tabungan awal untuk persyaratan memperoleh fasilitas KPR -BTN (foto : Nur Terbit)

Impian memiliki rumah sendiri, tentu menjadi keinginan semua orang. Terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga. Kan lucu dong, namanya sudah berumah tangga tapi belum punya rumah. Gak lengkap, masak tangga doang gak ada rumahnya? Hehe...

Begitu pula dengan yang saya alami. Awalnya saya seorang "kontraktor". Maksudnya cuma ngontrak. Dari satu rumah kontrakan ke kontrakan yang lain di bilangan Jakarta Utara. Maklum, masih kerja serabutan. Penghasilan hanya mampu untuk makan sehari-hari dan bayar kontrakan.

Ya, namanya juga masih bujangan. Belum memikirkan betapa pentingnya sandang, pangan dan papan. Yang ada di pikiran, bagaimana bisa makan hari ini. Soal di mana tidur nanti malam, ya, tiba masa tiba akal. Yang aman, numpang nginap di kontrakan teman sesama bujangan. Beres kan?

Di sinilah saya mengenal si S yang tinggal tak jauh dari kontrakan saya. Teman ini kebetulan sudah berumah tangga, jadi dia terkadang jadi tempat "curhat". Maklum, saya perantau dari Makassar, Sulsel, sejak tahun 1984. Tak ada sanak famili, dan tentu saja jauh dari orangtua. Maka S inilah kemudian saya anggap keluarga dan saudara sendiri.

Suatu hari, saya berkesempatan pulang kampung untuk pertama kalinya  sejak merantau ke Ibukota. Inilah awal mula memikirkan bagaimana berumah tangga. Hidup bertahun-tahun di rantau, masak belum punya calon istri? Minimal, pacarlah. Begitu pertanyaan keluarga di kampung. Saya hanya bercanda bahwa susah cari pacar, apalagi calon istri di kota besar seperti Jakarta.

"Lebih gampang nyari istri di kampung," canda saya. "Jelas asal-usulnya, masih steril dan belum terkena polusi ibukota". Ucapan yang saya kutip dari omongan sesama perantau di Jakarta itu, tiba-tiba lepas begitu saja di mulut saya. Ups..gak apa-apalah. Namanya juga bercanda.

Rupanya ucapan candaan saya ini, langsung direspon oleh keluarga besar saya di kampung. Sebelum balik lagi ke perantauan, keluarga sepakat menjodohkan dengan anak gadis yang masih ada hubungan keluarga. Saya malah panik dan kebingungan. 

Dalam situasi seperti itu, saya hanya bisa menertawakan diri sendiri. Jauh-jauh merantau ke Pulau Jawa, jodohnya di kampung halaman juga akhirnya. Selanjutnya, saya tak bisa menolak niat baik keluarga. Sampai kemudian kami berdua, saya dan calon istri, "sukses" duduk di pelaminan. Hore.... (mirip cerita sinetron ya 😂🤣)

Dokpri
Dokpri
Butuh Rumah, Bukan Sekedar Tangga

Seperti di awal tulisan, saya menyadari bahwa pada akhirnya setiap keluarga butuh rumah. Ya, namanya berumah tangga. Tidak sekedar perlu tangga, tapi juga rumahnya biar lengkap: rumah tangga.

Begitulah dinamika kehidupan. Setelah beristri, sudah harus siap dengan tempat berteduh. Kalau masih sendiri, "cuek bebek". Tapi kalau sudah berdua istri, lalu nantinya bertiga, berempat, berlima dengan anak? Nah baru deh pusing kepala berbi.

Oh ya. Saya berumah tangga sejak Juni 1987, atau 32 tahun silam. Awalnya saya "kontraktor" di perantauan. Maksudnya cuma ngontrak. Dari satu rumah kontrakan ke kontrakan yang lain di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah pulang kampung dan balik lagi ke rantau, sudah memiliki "Srikandi". Tentu gak bisa lagi jadi "kontraktor" hehe...

Kembali saya ingat teman S yang rumahnya tak jauh dari kontrakan saya. Ke dialah saya mencurahkan isi hati dan kegalauan saya akan rumah tempat tinggal yang permanen. Bukan lagi sekedar tempat bernaung bernama kontrakan, tapi rumah milik sendiri. Tapi bagaimana caranya?

"Saya punya jatah rumah Perumnas. Kalau kamu berminat, bayarin aja. Ganti saja uang DP (panjar) sekalian bayar cicilan pertama. Tinggal nunggu serah terima kunci rumah deh dari developer," kata S, yang seperti biasanya, ada saja solusi darinya.

Berita gembira ini segera disambut oleh istri, yang masih betah di rumah kontrakan. Entah betah atau tidak, mau tak mau, harus diterima sebagai kaum urban alias pendatang baru di ibukota. Kami berduapun mengumpulkan uang tabungan, lalu ditambahkan dengan "sangu" dan bekal dari kedua orang tua masing-masing di kampung.

Setelah uang diserahkan kepada S, istri mulai menyiapkan seadanya perabot dan segala sesuatu untuk dibawa ke rumah baru nantinya. Rumah yang dibayarin dari teman S, dengan mengganti uang DP yang mereka sudah bayarkan sebelumnya ke developer.

Dokumen akad kredit saat pengambilan rumah KPR BTN (dok Nur Terbit)
Dokumen akad kredit saat pengambilan rumah KPR BTN (dok Nur Terbit)
Kenal BTN Setelah Tertipu Teman

Di tengah mempersiapkan segala sesuatunya menjelang kepindahan kami ke rumah baru, mulai jarang bertemu dengan teman S. Sehingga sulit mengetahui informasi mengenai bagaimana kondisi teekahir di lapangan.

Menurut istrinya S, suaminya lagi sibuk bangun rumah juga di kampung. Saya mulai gak enak hati dan perasaan, tapi selalu saya teruskan. Justeru istri saya yang tidak sabaran untuk segera pindah ke rumah baru.

"Pindah bulan ini saja, pak. Kalau bulan depan kita bayar kontrakan lagi deh," saran istri saya.

"Sabar dulu deh, percuma juga kan belum serah terima kunci dari developer. Mudah-mudahan bulan ini juga serah terima kunci seperti janji S, dan kita langsung pindah," bujuk saya kepada istri. Untuk sementara, memang dia mau terima alasan saya.

Tiba waktu terima kunci, teman S tak pernah berkomunikasi lagi. Saya dan istri, akhirnya datang sendiri ke developer mempertanyakan rumah yang kami beli dari S. Tentu saja, sambil berharap bisa dapat kunci rumah.

"Nama teman bapak bernama S itu tidak ada di daftar kami. Semua yang sudah melunasi uang DP dan cicilan pertama, pasti tercatat di buku kami," kata petugas di bagian marketing.

"Jadi berarti teman saya S itu belum sepeserpun dia bayar ke sini? Lalu bagaimana dengan.....", saya tak meneruskan lagi. 

Tapi berdua istri, segera meninggalkan petugas marketing menuju lokasi perumahan, mencari lokasi rumah berdasarkan informasi dari petugas developer.

Apa yang terjadi kemudian, membuat seluruh persendian saya seolah copot, badan lemas. Tak terkecuali istri saya. Rumah yang dimaksud, ternyata sudah diisi oleh orang lain. Kami pun hanya bisa gigit jari.

Kartu debitur dari BTN (foto dok Nur Terbit)
Kartu debitur dari BTN (foto dok Nur Terbit)
Mulai Kenal KPR BTN

Mulai dari sinilah saya dan istri mengenal Bank Tabungan Negara (BTN) melalui fasilitas program Kredit Pemilikan Rumah (KPR). 

Dengan susah payah uang yang sudah "hangus" untuk DP rumah, akhirnya dicicil oleh S. Tentu saja setelah kami sempat bersitegang dan nyaris berkelahi. Dari pengembalian uang secara cicilan itu pula, kami menyicil kembali uang DP ke BTN.

Setelah semuanya beres, kami pun menjalani serangkaian prosedur di kantor BTN. Seperti melengkapi dokumen administrasi. Daftar slip gaji dari kantor, surat keterangan belum punya rumah, buku tabungan dan surat keterangan persetujuan istri. 

Setelah urusan administrasi beres, dilanjutkan dan wawancara, akad kredit hingga akhirnya tiba pada penyerahan kunci. Ya, penyerahan kunci yang sebenarnya. Bukan penyerahan kunci gaya teman S, yang jelas-jelas hanya tipu daya belaka.

Ketika itu, BTN memang satu-satunya bank pemerintah yang melayani soal kredit pemilikan rumah atau KPR. Artinya, nama dan keberadaan BTN saat itu, sangat familiar bagi kami, generasi zaman old 😎😕.

Kini, sesuai perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang semakin dinamis, membawa BTN hadir untuk merangkul generasi digital dan milenial. 

Kenapa generasi milenial, karenan keberadaan generasi milenial dipandang penting untuk kemajuan dunia properti di Indonesia pada masa mendatang. 

Mengutip sebuah literatur, selama 69 tahun Bank Tabungan Negara (BTN) sudah mengabdi untuk negeri. BTN selalu melayani dan memfasilitasi keluarga Indonesia dalam sektor perumahan dan keuangan  sesuai dengan visi BTN : terdepan dan terpercaya dalam memfasilitasi sektor perumahan dan jasa layanan keuangan keluarga.

Nah, dari kisah nyata di atas, barangkali itulah momen berkesan saya dan istri ketika menjadi nasabah BTN dan menghuni rumahnya hingga sekarang. Rumah BTN atau diplesetkan menjadi rumah yang di-Bayar Tapi Nyicil (BTN). 

Bagi kami penghuni rumah BTN, nama bank ini sungguh  melekat di hati. Apalagi karena selama 69 tahun telah mengabdi untuk negeri ini.

Selamat ulang tahun BTN yang ke-69. Semoga tetap menjadi Sahabat Generasi Digital & Milenial Indonesia.

Sekian, wassalam. Nur Terbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun