Oh ya. Saya berumah tangga sejak Juni 1987, atau 32 tahun silam. Awalnya saya "kontraktor" di perantauan. Maksudnya cuma ngontrak. Dari satu rumah kontrakan ke kontrakan yang lain di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah pulang kampung dan balik lagi ke rantau, sudah memiliki "Srikandi". Tentu gak bisa lagi jadi "kontraktor" hehe...
Kembali saya ingat teman S yang rumahnya tak jauh dari kontrakan saya. Ke dialah saya mencurahkan isi hati dan kegalauan saya akan rumah tempat tinggal yang permanen. Bukan lagi sekedar tempat bernaung bernama kontrakan, tapi rumah milik sendiri. Tapi bagaimana caranya?
"Saya punya jatah rumah Perumnas. Kalau kamu berminat, bayarin aja. Ganti saja uang DP (panjar) sekalian bayar cicilan pertama. Tinggal nunggu serah terima kunci rumah deh dari developer," kata S, yang seperti biasanya, ada saja solusi darinya.
Berita gembira ini segera disambut oleh istri, yang masih betah di rumah kontrakan. Entah betah atau tidak, mau tak mau, harus diterima sebagai kaum urban alias pendatang baru di ibukota. Kami berduapun mengumpulkan uang tabungan, lalu ditambahkan dengan "sangu" dan bekal dari kedua orang tua masing-masing di kampung.
Setelah uang diserahkan kepada S, istri mulai menyiapkan seadanya perabot dan segala sesuatu untuk dibawa ke rumah baru nantinya. Rumah yang dibayarin dari teman S, dengan mengganti uang DP yang mereka sudah bayarkan sebelumnya ke developer.
Di tengah mempersiapkan segala sesuatunya menjelang kepindahan kami ke rumah baru, mulai jarang bertemu dengan teman S. Sehingga sulit mengetahui informasi mengenai bagaimana kondisi teekahir di lapangan.
Menurut istrinya S, suaminya lagi sibuk bangun rumah juga di kampung. Saya mulai gak enak hati dan perasaan, tapi selalu saya teruskan. Justeru istri saya yang tidak sabaran untuk segera pindah ke rumah baru.
"Pindah bulan ini saja, pak. Kalau bulan depan kita bayar kontrakan lagi deh," saran istri saya.
"Sabar dulu deh, percuma juga kan belum serah terima kunci dari developer. Mudah-mudahan bulan ini juga serah terima kunci seperti janji S, dan kita langsung pindah," bujuk saya kepada istri. Untuk sementara, memang dia mau terima alasan saya.
Tiba waktu terima kunci, teman S tak pernah berkomunikasi lagi. Saya dan istri, akhirnya datang sendiri ke developer mempertanyakan rumah yang kami beli dari S. Tentu saja, sambil berharap bisa dapat kunci rumah.