Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lika-liku Kehidupan ‘Paganrang’ Kota Makassar

1 September 2016   11:02 Diperbarui: 1 September 2016   11:11 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Daeng Saleh Cs (foto Nur Terbit)"][/caption]Daeng Saleh, tercatat sebagai warga Kampung Bugis, Batang Ase, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. “Sudah masuk areal komplek militer Kostrad,” kata Daeng Saleh.

Namun rumah panggung khas etnis Makassar yang ditempati Daeng Saleh bersama anggota keluarganya, berada di sebelah utara Bandara (lama) Sultan Hasanuddin, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Dia sudah berpuluh tahun menjalani profesi sebagai PAGANRANG KELILING, yaitu pemain musik keliling dari rumah ke rumah, dari panggung ke panggung untuk mengisi acara hajatan, khitanan atau upacara adat.

Ketika saya bertemu Daeng Saleh bersama 4 anggota tim kelompok musik etnisnya ini, ia sedang “bertugas” mengawal pesta perkawinan ponakan saya di Kampung Laikang, Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. Tidak jauh dari pagar tembok bandara baru Sultan Hasanuddin.

Bermain musik keliling dari rumah ke rumah, dari panggung ke panggung

Pengertian “mengawal pesta perkawinan” ini, tentu saja karena Daeng Saleh melakukan tugasnya sebagai “paganrang” mulai pra-pesta perkawinan hingga hari H atau di puncak acara.

MIRIP BANG THOYIB

Biasanya 2 – 3 hari ia terpaksa tidak pulang ke rumahnya. Ya, mirip Bang Thoyiblah hehehe….Uniknya, seolah sebuah prosesi mistik, setiap kali Daeng memulai melakukan kegiatan “agganrang“, tidak lupa dilakukan semacam upacara khusus.

Ya, semacam ritual lengkap dengan“sesajen” dari berbagai asesoris yang sengaja disiapkan tuan rumah, atau pihak yang punya hajat.

“Biar lancar dan pesta perkawinan berjalan dengan aman dan membawa berkah bagi semua, termasuk kami ini yang datang membawa suara gaduh, hehehe…”.

Untuk urusan hiburan musik etnis ini, Daeng Saleh menerima bayaran sekitar Rp 1 juta selama 3 hari.

Jumlah tersebut kemudian dibagi berlima, tentu dengan porsi bayaran yang berbeda antara pemai pendukung dengan Daeng yang pimpinan hehehe…

Ketika ditanya kapan tepatnya ia mulai menggeluti secara serius musik etnis ini, Daeng Saleh hanya tertawa lebar. Seakan ingin mengatakan bahwa separuh hidupnya, telah ia abdikan dirinya sebagai “Paganrang“, sekaligus pemilik dan pengelola di bidang usaha hiburan musik tradisional ini.

“Kalau saya ditanya sejak kapan, wah rasanya sudah puluhan tahun. Bahkan saya mulai “agganrang” sejak usia masih anak muda sampai sekarang, hahaha….”.

Alhamdulillah, kata Daeng Saleh, sekarang sudah banyak cucu, rambut juga sudah memutih karena dimakan usia.

Paganrang dalam pengertian bahasa Makassar adalah sebuah kelompok musik tradisional khas suku Makassar.

Personilnya terdiri dari 5 orang pemain musik akuistik yakni : Papui-pui (peniup alat tiup) dimainkan oleh pemimpin kelompok musik, Pagong (pemukul gong),Pacalung-calung (pemukul gending) dan Paganrang (pemukul gendang).

WAWANCARA SANTAI

Berikut ini bincang-bincang saya dengan Daeng Saleh Saleh di salah satu rumah di Kota Makassar, awal Februari 2016 silam, tempat di mana “Si Daeng” sedang menjalankan profesinya memainkan alat musik dari kediaman langganannya.

Penulis (P) : Assalamu alaikum. Siapa namata Pak?

Daeng (D) : Waalaikumussalam, Saya Daeng Saleh.

P : Apa nama jenis pukulan ganrang (gendang)-nya Daeng?

D : Ada dua. Yang pertama pukulan “Ganrang Bale Sumanga”. Yang kedua adalah pukulan gendang jenis “Ganrang Pamancak”.

P : Maksudnya apa, tolong dijelaskan..

D : Ganrang “Bale Sumanga” itu dipakai sebagai pelengkap “adat istiadat”. Sedang“Ganrang Pamancak” yang pukulannya sangat dinamis dengan tempo cepat ini, pada zaman dulu memang sering dipakai mengiringi acara atraksi pencak silat. Kita yang main sebagai “Paganrang” benar-benar ikut main pencak silat.

P : Apa bedanya gendang besar dengan gendang kecil itu? Lalu acara apa saja baru digunakan?

D : Gendang kecil dipakai untuk “Ganrang Pamancak” sedang gendang besar untuk pukulan “Bale Sumanga”. Selain itu gendang besar juga dipakai pada acara“Aggorontigi” (malam pacar bagi calon penganten, saat melepas masa lajang dan keluarga dekat datang memberi restu. Biasanya digelar sehari sebelum calon penganten duduk di pelamin).

Video seru permainan "Ganrang" dari Daeng Saleh Cs di sini;

https://youtu.be/4oBM95Cr3Rw

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun