DI bawah tiang bendéra caprés nomor urut satu, yang mendadak lunglai karena tak ada angin, bapak tengah semangat menabur pupuk untuk padi-padi yang baru tumbuh. Bendéra itu sudah menancap di tepi sawah sejak seminggu yang lalu. Saya tak tahu siapa yang memasangnya, dan juga tak begitu peduli karena pada musim kampanye atribut semacam ini dapat kita temukan di hutan sekali pun. Saya hanya memperhatikan cucuran keringat bapak di bawah terik mentari bulan puasa. Keringat itu jatuh ke pematang, mungkin membasahi rumput liar yang selalu hadir bersama padi.
Bapak saya seorang petani, sejak dulu, dan barangkali sampai kapan pun. Ia hampir tak mengenyam pendidikan formal, tetapi dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Konon bapak sekolah sampai tamat SR, tetapi saya tak pernah melihat ijazahnya. Tubuhnya tetap kurus—saya kira lebih kurus dari Jokowi—tetapi ia dapat mengangkat beban dua kali lipat dari berat badannya. Selain bercocok tanam, bapak saya juga seorang tukang kayu, atau lebih tepatnya: kuli bangunan. Ia bisa membuat kusén, pintu, jendéla, méja, bahkan sangkar burung. Hasil pekerjaannya cukup rapi sehingga para tetangga yang akan membangun rumah sering meminta bantuannya.
Hari itu, sebelum matahari terbit, bapak datang memikul daun kecubung. Ia memberi makan ikan-ikan di kolam samping rumah saya, dan sesaat memperhatikan betapa lahapnya ikan mas besar menyantap daun kecubung. Ia lantas menghilang—mungkin membeli pupuk yang katanya makin mahal—dan saya kembali ke depan laptop, membaca hiruk-pikuk média sosial, memandangi judul-judul berita, mendengar kebisingan politik yang menderu sejak beberapa bulan yang lalu.
Hampir sebulan lamanya saya meninggalkan média sosial, terutama Facebook. Beberapa situs berita masih saya akses meskipun hanya memindainya dengan sekilas. Dan ketika kembali, seperti yang Anda tahu, hampir setiap orang tengah berpolitik ria. Dukung-mendukung, tendang-menendang. Tautan bertebaran, bahkan dari situs tak bertuan sekalipun. Beberapa di antaranya mengaku terganggu dengan situasi seperti ini, lantas memaki mereka yang selalu menulis status tentang caprés. Tak hanya itu, hapus-menghapus pertemanan pun terjadi karena berbeda dukungan.
Awalnya saya hanya menjadi pemerhati yang baik, karena di média sosial, pemilik akunlah yang berkuasa. Apa saja bisa ditulis, bahkan fitnah paling keji sekalipun. Apalagi ini persoalan politik yang tak mungkin lepas dari saling mempengaruhi, saling mengatur siasat dengan cara apapun. Saya tinggal memasang penyaring di otak saya untuk mengiyakan mana yang lebih mendekati pemahaman saya. Sebagai pemerhati, saya tak pernah ikut-ikutan menulis tentang caprés di dinding saya. Urusan memilih nanti saja di bilik suara, apalagi sejak KPU mengumumkan dua pasangan calon présidén, saya sudah tahu mana yang mesti saya pilih.
Inilah kekébasan yang paling seru, tak pernah pernah ada di jaman Orba, dan belum tentu terjadi di masa yang akan datang. Kita bisa menuduh seénak jari, menebarkan informasi yang mungkin kita sendiri belum begitu mempercayainya. Kita bisa tertawa di atas hujatan, berseteru dalam perdebatan tak berujung, memojokkan lawan dengan amunisi segudang aib. Dan, beberapa di antaranya mungkin lupa, bahwa dukung-mendukung adalah satu hal, sedangkan silaturahim dan pertemanan adalah hal lainnya.
Tetapi, begitulah, setiap kepala punya sejarah yang berbeda. Apalagi, urusan dukung-mendukung tak selamanya dilandasi moral dan naluri, mungkin juga dihantui ketakutan atau keinginan yang lebih menguntungkan di masa mendatang. Politik, dengan jargon atas nama rakyat, selalu menuju mana yang lebih menguntungkan meski menggunakan darah rakyat.
Perbedaan dukungan, saya kira, hanya terletak pada penafsiran dari apa yang pernah kita baca dan kita dengar. Tak ada yang salah dengan perbedaan itu, karena yang kita baca bukanlah kitab suci yang mutlak kebenarannya. Orang yang sudah melahap 1.000 judul buku tentu berbeda penafsirannya dengan mereka baru belum menamatkan satu bab novél tentang réformasi. Jadi, tak anéh jika masih banyak yang mau mengunyah kampanye hitam, atau menganggap ucapan sang calon suatu dogma yang tak bisa diganggu-gugat.
Pilihan erat kaitannya dengan sejarah membaca, kepentingan pragmatis, kedudukan di masa yang akan datang, dan sisanya adalah naluri. Mengajak pihak lain untuk menyamakan pilihan tentu tidak dilarang sepanjang menggunakan cara-cara yang élok.
*
BENDERA caprés nomor urut satu masih meringkuk kaku karena sedang tak ada angin. Bapak merogoh pupuk dalam baskom kecil, menaburkannya sambil sesekali menyeka keringat. Ia berjalan menjauh dari bendéra itu menuju batang-batang padi yang belum dikasih pupuk.
Dulu, bapak selalu menganggap dirinya sebagai jalma leutik (rakyat kecil), karena merasa hidup pas-pasan dan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Hanya beberapa pétak sawah yang menghidupi kami, dan tetap dipelihara sampai saat ini. Tiga hari yang lalu kami sempat berbeda pendapat: tentang pilihan.
Sejak zaman Orde Baru, Golkar mengakar di kampung saya. Waktu kecil, saya masih mengingat seorang tetangga yang dikucilkan lantaran berbeda pilihan. Tahun 1997, saya menjadi pemilih pemula, dan nénék memaksa saya untuk memilih Golkar tanpa memberikan alasan apapun. Bapak juga melakukan instruksi yang sama. Nénék—karena seorang véteran—memberikan iming-iming bahwa saya sudah didaftarkan menjadi anggota PPM (Pemuda Panca Marga), yang kelak bakal dapat warisan gaji. Begitulah setiap Pemilu, selalu ada instruksi, dan saya tak pernah mengindahkannya.
Pada pemilu-pemilu sebelumnya, saya tak peduli siapa yang akan jadi anggota déwan atau pemimpin. Saya hanya mencoblos yang saya suka, atau tidak sama sekali. Siapapun yang menang ya begitulah, saya terima dengan lapang dada. Tetapi kali ini, ada yang mengusik untuk bersuara sebelum penghitungan suara. Setidaknya dengan menulis.
Berawal dari obrolan kecil di ruang tengah, di sela-sela menimang sang cucu, ibu saya menceletuk: “Emih mah rék nyoblos nomer hiji (Ibu akan memilih nomor satu)!” katanya, dan kemudian diiyakan oleh bapak. Saya tak héran, mengingat sisa-sisa Golkar masih mengakar di kampung kami. Itu hak orang tua saya dalam menentukan pilihan. Justru saya merenungi jawabannya ketika ditanya “kenapa”. Dengan nada polos, ibu saya memberi alasan dengan sedikit menyudutkan, tentang fisik, tentang perbedaan keyakinan agama, tentang sesuatu yang menurut saya tidak rasional. Saya yakin ini bukan pemikiran beliau semata, melainkan bisikan dari yang lain. Dan, tiba-tiba saya bertanya pada diri sendiri, kenapa bisa berbéda pilihan dengan orang tua?
Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi, siapapun calon yang terpilih nanti. Terserah Tuhan. Saya hanya mendapatkan sedikit sinyal dari rekam jejak mereka: tentang apa yang pernah mereka lakukan sebelum mendéklarasikan sebagai calon. Rekam jejak selama kampanye lain lagi, karena tentunya telah mendapatkan bumbu ini dan itu, dengan bisikan dari sana-sini, serta memosisikan sosok yang paling pantas untuk dipilih, karena kampanye adalah promosi. Untuk menyegarkan ingatan, saya membaca lagi kliping digital sejak tahun 1990-an sampai sekarang, mencoba bersikap netral untuk membuat poin kepatutan dan ketidakpatutan berdasarkan tafsiran pribadi tentang rekam jejak tersebut.
Meskipun berbeda pilihan, sungguh tidak sopan jika saya kemudian mengajak berdebat, dan lantas membeberkan apa yang pernah saya baca. Saya hanya bilang bahwa pilihan saya nomer dua, dengan alasan: “Karena bapak saya telah terbiasa bermandikan keringat. Bapak saya pekerja keras. Bapak saya petani. Bapak saya tukang kayu. Dan keluarga kita terdiri dari orang-orang kurus. Dan kita memilih: menentukan pilihan atau membiarkan. Dan kita tidak punya kepentingan apapun, dan kita ingin memilih dengan nurani.” Bapak hanya mengangguk, mungkin mencoba untuk mencermati getaran suara sang anak, atau bahkan sedang berusaha menyeragamkan suara.
Kéésokan harinya, saya mencari spanduk calon nomor dua, memasangnya di pagar rumah sebagai bentuk keberagaman. Dan bapak kemudian memberi makan ikan, menyaksikan ikan mas besar menyantap daun kecubung, menghilang dan kemudian menaburi padi dengan pupuk. Dari dekat tiang bendera itu, bapak berjalan menjauh, menjauh, menuju padi-padi yang ingin tumbuh dengan baik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H