Mohon tunggu...
Dadan Sutisna
Dadan Sutisna Mohon Tunggu... -

Urang lembur dan anak petani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bapak dan Tiang Bendéra

5 Juli 2014   03:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI bawah tiang bendéra caprés nomor urut satu,  yang mendadak lunglai karena tak ada angin, bapak tengah semangat menabur pupuk untuk padi-padi yang baru tumbuh. Bendéra itu sudah menancap di tepi sawah sejak seminggu yang lalu. Saya tak tahu siapa yang memasangnya, dan juga tak begitu peduli karena pada musim kampanye atribut semacam ini dapat kita temukan di hutan sekali pun. Saya hanya memperhatikan cucuran keringat bapak di bawah terik mentari bulan puasa. Keringat itu jatuh ke pematang, mungkin membasahi rumput liar yang selalu hadir bersama padi.

Bapak saya seorang petani, sejak dulu, dan barangkali sampai kapan pun. Ia hampir tak mengenyam pendidikan formal, tetapi dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Konon bapak sekolah sampai tamat SR, tetapi saya tak pernah melihat ijazahnya. Tubuhnya tetap kurus—saya kira lebih kurus dari Jokowi—tetapi ia dapat mengangkat beban dua kali lipat dari berat badannya. Selain bercocok tanam, bapak saya juga seorang tukang kayu, atau lebih tepatnya: kuli bangunan. Ia bisa membuat kusén, pintu, jendéla, méja, bahkan sangkar burung. Hasil pekerjaannya cukup rapi sehingga para tetangga yang akan membangun rumah sering meminta bantuannya.

Hari itu, sebelum matahari terbit, bapak datang memikul daun kecubung. Ia memberi makan ikan-ikan di kolam samping rumah saya, dan sesaat memperhatikan betapa lahapnya ikan mas besar menyantap daun kecubung. Ia lantas menghilang—mungkin membeli pupuk yang katanya makin mahal—dan saya kembali ke depan laptop, membaca hiruk-pikuk média sosial, memandangi judul-judul berita, mendengar kebisingan politik yang menderu sejak beberapa bulan yang lalu.

Hampir sebulan lamanya saya meninggalkan média sosial, terutama Facebook. Beberapa situs berita masih saya akses meskipun hanya memindainya dengan sekilas. Dan ketika kembali, seperti yang Anda tahu, hampir setiap orang tengah berpolitik ria. Dukung-mendukung, tendang-menendang. Tautan bertebaran, bahkan dari situs tak bertuan sekalipun. Beberapa di antaranya mengaku terganggu dengan situasi seperti ini, lantas memaki mereka yang selalu menulis status tentang caprés. Tak hanya itu, hapus-menghapus pertemanan pun terjadi karena berbeda dukungan.

Awalnya saya hanya menjadi pemerhati yang baik, karena di média sosial, pemilik akunlah yang berkuasa. Apa saja bisa ditulis, bahkan fitnah paling keji sekalipun. Apalagi ini persoalan politik yang tak mungkin lepas dari saling mempengaruhi, saling mengatur siasat dengan cara apapun. Saya tinggal memasang penyaring di otak saya untuk mengiyakan mana yang lebih mendekati pemahaman saya. Sebagai pemerhati, saya tak pernah ikut-ikutan menulis tentang caprés di dinding saya. Urusan memilih nanti saja di bilik suara, apalagi sejak KPU mengumumkan dua pasangan calon présidén, saya sudah tahu mana yang mesti saya pilih.

Inilah kekébasan yang paling seru, tak pernah pernah ada di jaman Orba, dan belum tentu terjadi di masa yang akan datang. Kita bisa menuduh seénak jari, menebarkan informasi yang mungkin kita sendiri belum begitu mempercayainya. Kita bisa tertawa di atas hujatan, berseteru dalam perdebatan tak berujung, memojokkan lawan dengan amunisi segudang aib.  Dan, beberapa di antaranya mungkin lupa, bahwa dukung-mendukung adalah satu hal, sedangkan silaturahim dan pertemanan adalah hal lainnya.
Tetapi, begitulah, setiap kepala punya sejarah yang berbeda. Apalagi, urusan dukung-mendukung tak selamanya dilandasi moral dan naluri, mungkin juga dihantui ketakutan atau keinginan yang lebih menguntungkan di masa mendatang. Politik, dengan jargon atas nama rakyat, selalu menuju mana yang lebih menguntungkan meski menggunakan darah rakyat.

Perbedaan dukungan, saya kira, hanya terletak pada penafsiran dari apa yang pernah kita baca dan kita dengar. Tak ada yang salah dengan perbedaan itu, karena yang kita baca bukanlah kitab suci yang mutlak kebenarannya. Orang yang sudah melahap 1.000 judul buku tentu berbeda penafsirannya dengan mereka baru belum menamatkan satu bab novél tentang réformasi. Jadi, tak anéh jika masih banyak yang mau mengunyah kampanye hitam, atau menganggap ucapan sang calon suatu dogma yang tak bisa diganggu-gugat.

Pilihan erat kaitannya dengan sejarah membaca, kepentingan pragmatis, kedudukan di masa yang akan datang, dan sisanya adalah naluri. Mengajak pihak lain untuk menyamakan pilihan tentu tidak dilarang sepanjang menggunakan cara-cara yang élok.

*

BENDERA caprés nomor urut satu masih meringkuk kaku karena sedang tak ada angin. Bapak merogoh pupuk dalam baskom kecil, menaburkannya sambil sesekali menyeka keringat. Ia berjalan menjauh dari bendéra itu menuju batang-batang padi yang belum dikasih pupuk.

Dulu, bapak selalu menganggap dirinya sebagai jalma leutik (rakyat kecil), karena merasa hidup pas-pasan dan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Hanya beberapa pétak sawah yang menghidupi kami, dan tetap dipelihara sampai saat ini. Tiga hari yang lalu kami sempat berbeda pendapat: tentang pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun