Mohon tunggu...
Dadang Sukandar
Dadang Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis dan Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

72 Hari Bertahan Hidup di Gunung Dengan Daging Manusia

12 April 2012   14:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42 3424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JudulBuku                          : Miracle In The Andes Pengarang                          : Nando Parrado Penerbit                               : C | Publishing

“Tapi tentu saja ada makanan di gunung ini – ada daging, jumlahnya banyak, dan semua mudah didapat. Ia adalah mayat-mayat yang terbaring di luar pesawat, di bawah lapisan salju yang tipis. Ini membuatku bingung karena meskipun nafsuku mendorong untuk menemukan apapun yang bisa dimakan, aku mengabaikan begitu lama bahwa hanya benda itu yang bisa dimakan dalam radius seratus mil”.

Awalnya Nando Parrado terus menerus memikirkan hal itu. Jejeran mayat-mayat dalam benaman salju itu bukan hanya terdiri dari rekan-rekannya, tapi juga di sana terkubur jasad ibu dan adiknya, Susy. Ia, dan semua korban yang selamat, akhirnya menemukan dasar pembenar dari tindakan mereka: bahwa tugas manusia adalah mempertahankan hidup, dan bahwa Tuhan akan mengampuni tindakan mereka memakan daging rekan-rekan mereka sendiri. Merekapun menyayat daging mayat dengan pecahan kaca jendela pesawat yang telah mencelakakan mereka di pegunungan Andes. Saat menelannya, mereka cuma berpikir bahwa itu hanyalah setumpuk daging. Dengan daging itu mereka bertahan selama 72 hari dalam lembutnya gigitan salju Andes yang mematikan.

Cerita ini adalah kisah nyata yang diceritakan kembali oleh pelaku sekaligus korbannya sendiri, Nando Parrado, dalam bukunya “Miracle in The Andes”. Buku ini mengisahkan kecelakaan pesawat carter “Fairchild” milik angkatan udara Uruguay yang jatuh di salju pupur pegunungan Andes tahun 1972. Para penumpangnya, yang kebanyakan anggota tim rugby Uruguay yang akan melakukan pertandingan persahabatan di Chile, bertahan selama 72 hari sambil menimbun harapan mereka akan datangnya bantuan.

Namun bantuan itu hanya datang dalam halusinasi para korban yang mulai putus asa. Ketika radio pesawat yang nyaris rusak memberitakan bahwa proses pencarian mereka dihentikan, harapan itu memudar dan patah. Satu-satunya jalan kini hanyalah melakukan ekspedisi penyelamatan diri sendiri, menyeberangi halangan puncak gunung dengan kemungkinan menemukan jalan menuju Surga atau Neraka.

Setelah selamat dan kembali kepada hidup yang telah mereka tinggalkan, para survivor itu telah menjadikan Andes sebagai guru, dan menyerap pelajaran berharga darinya tentang berjuang mencapai tujuan hidup: tentang keyakinan dan cinta.

Di Andes para survivor itu menyadari, bahwa hidup terlalu berharga untuk disia-siakan dengan hanya meringkuk dalam bangkai pesawat. Suhu derajat minus setiap saat dapat mengendus sampai mereka mati. Pertolongan tak akan sampai. Mereka harus berjuang sendiri untuk mencampai sumber pertolongan: menembus badai beku, atau kalau perlu merangkak melangkahi halangan puncak gunung. Sumber pertolongan ada di balik gunung sana.

Tapi di lereng gunung mereka hanyalah titik kecil di hamparan debu yang setiap saat siap dilumat badai angin. Medan yang serba kritis membuat jarak mereka cuma seinci  dengan kematian. Pendaki profesionalpun mungkin akan bergidik memandang medan gunung sudah semenjak dari kakinya. Butuh keyakinan yang sama besar dengan gunungnya untuk memutuskan dengan gila melintasi batu menjulang di depan. Dan tindakan sembrono bisa berarti bunuh diri kalau bukan percobaan bunuh diri.

Dengan sisa logikanya yang masih bisa berputar Nando menyadari, bahwa percobaan meninggalkan bangkai pesawat untuk mencari pertolonganpun pada dasarnya adalah upaya bunuh diri. Keadaan yang serba tidak masuk akal di sekeliling mereka, medan curam dan suhu yang buruk, adalah musuh yang tak kenal ampun. Sekumpulan orang yang selamat ini bukanlah pendaki profesional, yang memiliki kemampuan analis gunung setajam pisau lipat. Mereka hanya sekumpulan anggota tim rugby yang lebih paham lari dan menjegal lawan di lapangan ketimbang melangkah di salju dan menghindari jurang es.

Tapi, terdorong oleh kewajiban untuk selamat, dalam sedetik mereka telah menjadi pendaki sungguhan. Untuk menyelamatkan misi ke sumber pertolongan, Carlitos menjahit potongan kain menjadi kantong tidur untuk mengakali suhu beku dari medan ekspedisi yang akan mereka lintasi. Siasat lain menghindari kematian sepanjang ekspedisi adalah membawa potongan daging manusia lebih banyak untuk suplai logistik. Pada hari keenam puluh, setelah merasa mampu untuk menguasai medan gununug dan diri mereka sendiri, sebuah tim kecil ekspedisi telah terbentuk dengan segenggam keyakinan di kantong mereka.

Kesuksesan mereka mencapai keselamatan, kembali kepada apa yang selama 72 hari telah mereka tinggalkan, motivasi terbesarnya adalah cinta. Kematian ibu dan adiknya membuat Nando begitu terpukul. Jikapun ia ikut mati, berarti ayahnya di Uruguay akan kehilangan hampir seluruh keluarganya. Ayahnya tentu tak akan memaafkan dirinya sendiri selama menjalani hidup penuh keputusasaan kelak.

Memikirkan ayahnya selalu memicu ledakan cinta yang memancar dan menyasakkan dada Nando. Demi ayahnya, Nando bersumpah bahwa ia harus tetap waras. Ia tidak boleh mati di gunung ini. Ia harus pulang untuk mengurangi penderitaan ayahnya. Meskipun, ia tidak berhasil membawa pulang ibu dan adiknya.

Rekan-rekan Nando yang lain bahkan sudah mengigau untuk berkumpul kembali bersama keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Dan jika selamat, berarti hari Natal berikutnya adalah hadiah keselamatan mereka dari Tuhan. Cinta pada kehidupan dan kembali kepada orang-orang yang mereka tinggalkan adalah sebuah kewajiban. Cinta mendorong mereka untuk berjuang mempertahankan hidup.

Meski buku ini bukan buku motivasional tentang cara mencapai cita-cita hidup, namun pergulatan intensif dengan gunung dan bayangan kematian telah sendirinya menggambarkan motivasi Nando secara terang. Bahwa keberanian, keyakinan, serta cinta yang selama 72 hari terpupuk di bekunya Andes telah melahirkan mereka sebagai manusia baru: memiliki penghargaan lebih mendalam tentang kekuatan jiwa.

Dalam menjalani kehidupan selanjutnya kekuatan jiwa itu telah menjadikan karakter para korban yang selamat semakin penting. Roberto menjalani karirnya dengan lebih cerdas, meyakinakan dan sekaligus semakin keras kepala. Roberto menjadi dokter jantung anak yang dihormati di Uruguay. Solidaritasnya yang tinggi membuat Robert mudah mengumpulkan massa dari akar rumput untuk mendukungnya dalam pemilihan Presiden Uruguay. Ia gagal menjadi Presiden karena memperoleh suara yang kecil.

Dan Nando, di kampung halamannya Montevideo ia menjadi pengusaha yang disegani. Para survivor itu telah membuat Andes begitu penting dalam hidup mereka selanjutnya.

Dalam buku-buku seri petualangan, buku ini bisa disejajarkan dengan “Into Thin Air” karangan John Krakauer atau kisah kecelakaan mendaki Andes dalam “Touching The Void” karya Joe Simpson. Namun, dalam kedua buku itu petualangan diasumsikan sebagai “permainan di batas kematian”. Bagi Nando, bermain-main dengan kematian sungguh bukan tujuan perjalanannya sewaktu mengepak ransel.

Dalam Into Thin Air, mendaki gunung Everest adalah tindakan memasuki “zona kematian” secara sadar. Bahwa setiap pendaki yang bersiap-siap mendaki Everest telah menyadari, ugal-ugalan di ketinggian 8000 meter bisa beresiko digulung badai gunung atau kecemplung celah salju yang membuat mereka tidak akan pernah pulang ke rumah. Begitupun tindakan Joe Simpson dan sahabatnya Simon Yates di gunung Andes dalam Touching The Void. Tantangan gunung yang mereka jajal dan segala akibatnya kemudian diceritakan begitu dramatis namun tetap tenang, seolah tindakan mereka adalah permainan.

Tujuan John maupun Joe bertualang adalah menemukan sensasi bagi diri mereka sendiri. Dan saat tragedi demi tragedi gunung susul menyusul, mereka sebenarnya justru menikmati ‘kenyamanan’ itu, berada di batas kematian.

Tapi Nando dan rekan-rekannya menembus padang salju bukan untuk merayakan kebesaran jiwa sang penakluk gunung. Mereka hanya ingin lepas dari tragedi kecelakaan pesawat dan segera pulang ke rumah. Dan untuk itu Nando telah bersumpah bagi ayahnya di makam adiknya. Pun rekan-rekannya, hanya ingin pulang dan merayakan Natal berikut di tempat yang selayaknya.

Kesamaan dari buku-buku itu adalah: kisah-kisah petualangan selalu memberi inspirasi tentang peluang mencungkirbalikkan keadaan yang tidak masuk akal menjadi fakta. Bagaimana Nando dan Roberto bertahan hidup di batas kematian hanya dengan kantong tidur dari potongan kain dan setumpuk daging manusia? Miracle in The Andes menjawabnya: karena keberanian, keyakinan, dan cinta. (Dadang Sukandar).

Artikel Terkait:


  1. Cerpen "Pohon Rambutan"
  2. Cerpen "Danau Larson"
  3. Nasionalisme, Prestasi, Hura-hura

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun