Memikirkan ayahnya selalu memicu ledakan cinta yang memancar dan menyasakkan dada Nando. Demi ayahnya, Nando bersumpah bahwa ia harus tetap waras. Ia tidak boleh mati di gunung ini. Ia harus pulang untuk mengurangi penderitaan ayahnya. Meskipun, ia tidak berhasil membawa pulang ibu dan adiknya.
Rekan-rekan Nando yang lain bahkan sudah mengigau untuk berkumpul kembali bersama keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Dan jika selamat, berarti hari Natal berikutnya adalah hadiah keselamatan mereka dari Tuhan. Cinta pada kehidupan dan kembali kepada orang-orang yang mereka tinggalkan adalah sebuah kewajiban. Cinta mendorong mereka untuk berjuang mempertahankan hidup.
Meski buku ini bukan buku motivasional tentang cara mencapai cita-cita hidup, namun pergulatan intensif dengan gunung dan bayangan kematian telah sendirinya menggambarkan motivasi Nando secara terang. Bahwa keberanian, keyakinan, serta cinta yang selama 72 hari terpupuk di bekunya Andes telah melahirkan mereka sebagai manusia baru: memiliki penghargaan lebih mendalam tentang kekuatan jiwa.
Dalam menjalani kehidupan selanjutnya kekuatan jiwa itu telah menjadikan karakter para korban yang selamat semakin penting. Roberto menjalani karirnya dengan lebih cerdas, meyakinakan dan sekaligus semakin keras kepala. Roberto menjadi dokter jantung anak yang dihormati di Uruguay. Solidaritasnya yang tinggi membuat Robert mudah mengumpulkan massa dari akar rumput untuk mendukungnya dalam pemilihan Presiden Uruguay. Ia gagal menjadi Presiden karena memperoleh suara yang kecil.
Dan Nando, di kampung halamannya Montevideo ia menjadi pengusaha yang disegani. Para survivor itu telah membuat Andes begitu penting dalam hidup mereka selanjutnya.
Dalam buku-buku seri petualangan, buku ini bisa disejajarkan dengan “Into Thin Air” karangan John Krakauer atau kisah kecelakaan mendaki Andes dalam “Touching The Void” karya Joe Simpson. Namun, dalam kedua buku itu petualangan diasumsikan sebagai “permainan di batas kematian”. Bagi Nando, bermain-main dengan kematian sungguh bukan tujuan perjalanannya sewaktu mengepak ransel.
Dalam Into Thin Air, mendaki gunung Everest adalah tindakan memasuki “zona kematian” secara sadar. Bahwa setiap pendaki yang bersiap-siap mendaki Everest telah menyadari, ugal-ugalan di ketinggian 8000 meter bisa beresiko digulung badai gunung atau kecemplung celah salju yang membuat mereka tidak akan pernah pulang ke rumah. Begitupun tindakan Joe Simpson dan sahabatnya Simon Yates di gunung Andes dalam Touching The Void. Tantangan gunung yang mereka jajal dan segala akibatnya kemudian diceritakan begitu dramatis namun tetap tenang, seolah tindakan mereka adalah permainan.
Tujuan John maupun Joe bertualang adalah menemukan sensasi bagi diri mereka sendiri. Dan saat tragedi demi tragedi gunung susul menyusul, mereka sebenarnya justru menikmati ‘kenyamanan’ itu, berada di batas kematian.
Tapi Nando dan rekan-rekannya menembus padang salju bukan untuk merayakan kebesaran jiwa sang penakluk gunung. Mereka hanya ingin lepas dari tragedi kecelakaan pesawat dan segera pulang ke rumah. Dan untuk itu Nando telah bersumpah bagi ayahnya di makam adiknya. Pun rekan-rekannya, hanya ingin pulang dan merayakan Natal berikut di tempat yang selayaknya.
Kesamaan dari buku-buku itu adalah: kisah-kisah petualangan selalu memberi inspirasi tentang peluang mencungkirbalikkan keadaan yang tidak masuk akal menjadi fakta. Bagaimana Nando dan Roberto bertahan hidup di batas kematian hanya dengan kantong tidur dari potongan kain dan setumpuk daging manusia? Miracle in The Andes menjawabnya: karena keberanian, keyakinan, dan cinta. (Dadang Sukandar).
Artikel Terkait: