Aku, yang sedari tadi melamunkan ayah, tergeragap. Otakku dipukul mundur, mengingat-ingat lagi pembagian waris seperti yang kupelajari di kuliah hukum waris.
“Dalam hukum, pembagian waris diatur berdasarkan agama dan undang-undang,” kataku. “Menurut aturan agama, anak laki-laki memperoleh bagian dua berbanding satu dari anak perempuan. Tapi menurut undang-undang, pembagian itu sama rata, baik anak laki-laki maupun perempuan. Namun kedua aturan itu mensyaratkan, bahwa jika ada wasiat maka wasiat itulah yang harus didahulukan. Jadi, menurutku kita harus mendahulukan amanah ayah, membagi warisan itu sama rata,” jelasku.
“Hei, Kusno, kau kan anak laki-laki, mengapa berpendapat begitu?” tanya Mas Girin.
“Itu bukan pendapatku Mas. Itu menurut hukum,” jawabku.
“Kau dengar, Mas? Hukumpun telah menjunjung amanah,” cetus Mba Lasmi.
“Ah, masa bodoh. Pokoknya, sebagai anak tertua, begitu aturanku. Anak laki-laki memperoleh seperempat dan anak perempuan seperdelapan,” tutupnya tanpa kompromis.
Dan begitu pula Mba Lasmi, makin sengit menolak, dan tolakannya itu ditolak lagi oleh Mas Girin. Hingga lewat tengah malam belum juga ada aklamasi. Suasana semakin tegang.
“Begini saja,” tiba-tiba kupecah kebuntuan itu. “Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh warisan sama rata. Anak laki-laki satu perempat bagian seperti kemauan Mas Girin, dan anak perempuan satu perempat bagian seperti keinginan mba Lasmi.”
“Mana bisa begitu! Seluruh harta warisan jumlahnya delapan perdelapan. Kalau tiga anak laki-laki memperoleh seperempat, maka anak perempuan memperoleh seperdelapan bagian. Lemah sekali matematikamu, No.”
“Tidak, Mas. Matematikaku tidak lemah. Yang kumaksudkan disini adalah aku akan merelakan seperempat bagianku untuk Mba Lasmi dan Mba Lasri. Jadi, semua anak perempuan akan memperoleh masing-masing seperdelapan bagian ditambah seperdelapan dari bagianku. Jadi semua memperoleh seperempat.”
“Maksudmu?” tanya Mas Girin heran.