“Ayah saya sakit keras, Bu,” kataku. “Saya diminta pulang kampung.”
“Kalau begitu, pulanglah!”
“Tapi saya tidak punya ongkos. Dan lagi, bagaimana dengan perjanjian ini?”
“Lupakan dulu perjanjian ini. Kita akan mengurusnya lagi setelah kamu kembali. Soal ongkos, saya akan meminjamkanmu secukupnya,” Bu Kawi menawarkan.
“Tidak, Bu! Saya tidak ingin merepotkan. Uang kos saja belum lunas,” tolakku.
“Lalu, ada cara lain?”
Aku berpikir sebentar. Dalam pikiran sempat terlintas menerima tawaran itu. Tapi, tidak. Aku benci berhutang. Hutang bagai ular melilit badan, bisa sesak dadaku dihimpitnya.
“Begini saja,” kataku saat sebuah ide melintas di pikiran. “Berikan saya sekarung rambutan dari kebun ibu yang sebentar lagi panen. Saya akan menjualnya di kereta selama perjalanan pulang kampung.”
“Apa, No? Kamu yakin?” tanya Bu Kawi, tak percaya dengan ide konyolku itu.
“Berikan saja saya sekarung rambutan. Semuanya akan beres,” janjiku.
Siangnya, bersama Bu Kawi aku memanen rambutan di kebunnya. Di sana ada lima batang pohon rambutan yang siap panen. Aku memetik buahnya di beberapa pohon. Jumlahnya hampir setengah karung. Setelah kurapihkan dengan ikatan-ikatan, total jumlahnya dua puluh ikat. Aku dan Bu Kawi sepakat, harga seikatnya seribu lima ratus rupiah yang akan kubayar setelah laku terjual. Di kereta nanti, aku akan menjualnya tiga ribu rupiah satu ikat. Bu Kawi tak banyak komentar selain berkacak pinggang dan geleng-geleng kepala.