Mohon tunggu...
Dadang Rahmat
Dadang Rahmat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Semester 7 Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hegemoni Orde Baru: Propaganda, Kontrol Media, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)

10 Desember 2024   07:45 Diperbarui: 10 Desember 2024   08:17 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Peralihan dari orde lama ke orde baru ditandai dengan adanya suksesi kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan tersebut sejalan dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno yang telah bertengger selama 22 tahun. Hal itu selaras dengan putusan pemberhentian Soekarno sebagai Presiden Indonesia pada Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang diselenggarakan pada tahun 1967. 

Pada tahun yang sama juga, tepatnya pada 12 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Presiden Indonesia kedua menggantikan Soekarno dengan dasar pertimbangan atas kontribusi luar biasa Soeharto dalam menjaga stabilitas nasional Indonesia saat itu. 

Era orde baru ditandai dengan berkuasanya Soeharto sebagai Presiden Indonesia---dengan waktu yang jauh lebih lama yaitu kisaran 32 tahun. Lamanya kuasa Soeharto tersebut tidak luput dari berbagai dinamika dan polemik di dalamnya, baik yang berpengaruh positif maupun negatif. 

Lebih lanjut, hegemoni pada era orde baru sangatlah kuat memengaruhi berbagai aspek di lingkup kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia, seperti halnya terdapat propaganda, kontrol media, dan berimbas pula pada perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) saat itu.

Propaganda

Dalam memastikan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang lancar sesuai dengan maksud dan keinginan pemerintah, berbagai propaganda yang dibungkus dengan berbagai jargon atau slogan turut mewarnai era orde baru.

Berbagai propaganda digalakkan untuk menciptakan citra pemerintahan yang baik dan kuat---dikemas melalui kebijakan dan pidato kenegaraan untuk menarik simpati masyarakat. Propaganda tersebut dimanifestasikan melalui slogan maupun jargon yang dibuat secara masif bertebaran di masyarakat.

Penggunaan slogan maupun jargon pada era orde baru diniatkan untuk menjaga stabilitas nasional demi kelancaran nasional, yang juga digunakan sebagai stimulus pembangunan.

Umumnya, jargon maupun slogan era orde baru ini bernuansakan Golkar, ABRI, Pancasila, dan pembangunan. Beberapa jargon atau slogan tersebut antara lain ABRI Pelopor Stabilisasi Politik dan Ekonomi; Hantjurkan Gerombolan Tjina Komunis; Kekaryaan ABRI Kebutuhan Republik; ABRI sebagai Universitas Rakyat; Soeharto "Bapak Pembangunan"; Pembangunan Tidak Bisa Dipisahkan dari Golkar; Korupsi dan Pungli Harus Dibabat sampai ke Akar-Akarnya; Golkar sebagai Kekuatan Politik Rakyat; Single Majority bukan Hanya Milik Golkar (Khairani, A. D. Z., & Suprijono, A., 2015).

Secara spesifik, terdapat slogan maupun jargon yang tertuang dalam konteks pers, kebijakan, politik, pembangunan, integrasi nasional, dan kesejahteraan sosial. Beberapa jargon atau slogan tersebut antara lain seperti Konperensi-Kerdja PWI Mendjebol Orde Lama; Pers Bebas dan Bertanggung Jawab; Orde Baru adalah Sikap Mental Bermoral Pancasila; Aku Nyoblos Golkar!; Menyeleweng Ditindak, Tak Bersalah Diayomi; Orde Baru adalah Orde Pembangunan; TVRI Menjalin Persatuan dan Kesatuan; Hanya dengan Pelita yang Berlanjut, Kebodohan dan Kemiskinan Bisa Diatasi; Dua Anak Cukup; KB, Listrik, dan Koran (Hadi, D. W., & Kasuma, G., 2012).

Kontrol Media

Dalam rangka menyebarkan berbagai propaganda secara masif, pemerintah orde baru memanfaatkan berbagai media. Hal itu berujung pada hegemoni pemerintah pada media massa (baik elektronik maupun cetak), seperti halnya dominasi kekuasaan atas televisi dalam pemberitaan yang ditayangkan.

Media massa acapkali dijadikan perantara pemerintah untuk berbagai kepentingannya---yang berujung pada beban dan fungsi media massa yang menjadi ganda. Pada era ini, media massa (pers) dijadikan sebagai instrumen politik pemerintah---yang mana keterlibatan pers di dalamnya hanya semata atas hubungan dasar suatu urusan belaka antara kepentingan politik dan media massa.

Pada era orde baru, seluruh penerbitan media massa berada di bawah pengawasan langsung pemerintah (tepatnya Departemen Penerangan). Kondisi tersebut berimbas pada kebebasan media massa dalam memberitakan berbagai hal, khususnya tentang pemerintahan. Hal itu berimplikasi pada tidak berjalannya fungsi media massa sebagaimana mestinya, seiring dengan media massa yang dijadikan instrumen untuk mempertahankan kekuasaan oleh pemerintah.

Dalam rangka menyikapi kontrol pemerintah atas pemberitaan media massa, khususnya informasi sensitif pemerintahan, Jakob Oetama mengemukakan, agar media massa tetap "selamat", maka media massa harus berlakon seperti kepiting berbelok jika terhalang batu---yang mana salah satu bentuknya yaitu penggunaan bahasa eufemisme (ungkapan halus pengganti ungkapan yang dirasa kasar atau merugikan) dalam melakukan pemberitaan peristiwa kala itu (Bakri, Z., 2019).

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)

Era orde baru yang sarat akan hegemoni atas berbagai hal dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia, haruslah senantiasa terdapat sesuatu yang mampu menyeimbangkan maupun membatasinya.

Antonio Gramsci pernah mengemukakan bahwa dalam menghadapi hegemoni negara, maka perlu adanya benteng sejarah (historical block). Hal itu menurut Gramsci, dinamakan sebagai civil society (Parmudi, M., 2017). 

Civil society yang berpengaruh penting dalam proses demokratisasi suatu negara, nyatanya dapat diejawantahkan dalam berbagai bentuk jaringan maupun pengelompokkan sosial, seperti salah satu wujudnya yaitu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

Dalam implementasinya, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) pada era orde baru tidak luput dari pengaruh hegemoni. Hal itu sejalan dengan adanya pengontrolan pada OMS---yang mana diperjelas dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat.

Dikeluarkannya UU 8/1985 membuat pemerintah membubarkan berbagai organisasi masyarakat yang bertendensi oposisi pada negara. UU tersebut merupakan wujud asas tunggal orde baru yang berusaha memposisikan semua varian organisasi dalam satu varian format organisasi untuk memudahkan pengontrolan organisasi oleh pemerintah.

Disamping itu, untuk memudahkan pengontrolan organisasi, negara tidak memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu varian profesi. Pemerintah juga hanya mengizinkan pembentukan koperasi dan mendorong organisasi masyarakat untuk mendaftar dan membentuknya, sehingga negara masih memiliki kuasa untuk mengontrolnya.

_________________________

Dapat ditarik benang merahnya, hegemoni negara pada era orde baru ini mengindikasikan adanya perampasan kebebasan di masyarakat, walaupun adanya niat demi kelancaran pembangunan maupun stabilitas berbagai aspek saat itu. Kendati demikian, sesuatu hal yang sifatnya berlebihan diterapkan seperti halnya strategi kuasa yang dilakukan Soeharto ini pada akhirnya berujung pada kemunduran yang berimbas pada lengsernya kekuasaan Soeharto.

Oleh karena itu, melalui gambaran hegemoni pada orde baru yang diulas dalam konteks propaganda, kontrol media, dan organisasi masyarakat sipil, sudah sepatutnya dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi pemerintahan yang sekarang dalam menyelenggarakan pemerintahan dan memastikan kelancaran pembangunan. Jangan sampai kesalahan yang sama terulang kembali di masa mendatang. 

Dan sebagai masyarakat, sudah sepatutnya untuk selalu mengawasi pemerintahan demi penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia yang berjalan secara damai, adil, sejahtera, dan makmur serta berbuah pada kemajuan tiap masanya guna menyongsong cita-cita ideal sebagaimana yang telah tertuang jelas dalam hukum dasar negara Indonesia.

Referensi

Bakri, Z. (2019). Pengaruh Media Terhadap Pemerintahan dan Politik Masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. At-Tabayyun: Journal Islamic Studies, 1(2), 99-114.

Hadi, D. W., & Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Media Verleden, 1(1), 1-109.

Khairani, A. D. Z., & Suprijono, A. (2015). Jargon--Jargon Politik Masa Orde Baru dalam Menciptakan Stabilitas Nasional. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 3(3), 267-273.

Kusumaningrum, A. (2019). Awal Orde Baru. PT. Maraga Borneo Tarigas

Namotemo, H., & Demitrius, A. (2018). Kajian Historis Kemunculan dan Perkembangan Organisasi Masyarakat di Indonesia. Jurnal Hibualamo: Seri Ilmu-Ilmu Sosial Dan Kependidikan, 2(2), 28-35.

Parmudi, M. (2017). Kebangkitan civil society di Indonesia. At-Taqaddum, 7(2), 295-310.

Syam, F., dkk. (2009). Rancangan Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No.8 Tahun 1985), 1-59.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun