Dalam rangka menyebarkan berbagai propaganda secara masif, pemerintah orde baru memanfaatkan berbagai media. Hal itu berujung pada hegemoni pemerintah pada media massa (baik elektronik maupun cetak), seperti halnya dominasi kekuasaan atas televisi dalam pemberitaan yang ditayangkan.
Media massa acapkali dijadikan perantara pemerintah untuk berbagai kepentingannya---yang berujung pada beban dan fungsi media massa yang menjadi ganda. Pada era ini, media massa (pers) dijadikan sebagai instrumen politik pemerintah---yang mana keterlibatan pers di dalamnya hanya semata atas hubungan dasar suatu urusan belaka antara kepentingan politik dan media massa.
Pada era orde baru, seluruh penerbitan media massa berada di bawah pengawasan langsung pemerintah (tepatnya Departemen Penerangan). Kondisi tersebut berimbas pada kebebasan media massa dalam memberitakan berbagai hal, khususnya tentang pemerintahan. Hal itu berimplikasi pada tidak berjalannya fungsi media massa sebagaimana mestinya, seiring dengan media massa yang dijadikan instrumen untuk mempertahankan kekuasaan oleh pemerintah.
Dalam rangka menyikapi kontrol pemerintah atas pemberitaan media massa, khususnya informasi sensitif pemerintahan, Jakob Oetama mengemukakan, agar media massa tetap "selamat", maka media massa harus berlakon seperti kepiting berbelok jika terhalang batu---yang mana salah satu bentuknya yaitu penggunaan bahasa eufemisme (ungkapan halus pengganti ungkapan yang dirasa kasar atau merugikan) dalam melakukan pemberitaan peristiwa kala itu (Bakri, Z., 2019).
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
Era orde baru yang sarat akan hegemoni atas berbagai hal dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia, haruslah senantiasa terdapat sesuatu yang mampu menyeimbangkan maupun membatasinya.
Antonio Gramsci pernah mengemukakan bahwa dalam menghadapi hegemoni negara, maka perlu adanya benteng sejarah (historical block). Hal itu menurut Gramsci, dinamakan sebagai civil society (Parmudi, M., 2017).Â
Civil society yang berpengaruh penting dalam proses demokratisasi suatu negara, nyatanya dapat diejawantahkan dalam berbagai bentuk jaringan maupun pengelompokkan sosial, seperti salah satu wujudnya yaitu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
Dalam implementasinya, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) pada era orde baru tidak luput dari pengaruh hegemoni. Hal itu sejalan dengan adanya pengontrolan pada OMS---yang mana diperjelas dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat.
Dikeluarkannya UU 8/1985 membuat pemerintah membubarkan berbagai organisasi masyarakat yang bertendensi oposisi pada negara. UU tersebut merupakan wujud asas tunggal orde baru yang berusaha memposisikan semua varian organisasi dalam satu varian format organisasi untuk memudahkan pengontrolan organisasi oleh pemerintah.
Disamping itu, untuk memudahkan pengontrolan organisasi, negara tidak memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu varian profesi. Pemerintah juga hanya mengizinkan pembentukan koperasi dan mendorong organisasi masyarakat untuk mendaftar dan membentuknya, sehingga negara masih memiliki kuasa untuk mengontrolnya.