Mohon tunggu...
Dadang Kusnandar
Dadang Kusnandar Mohon Tunggu... lainnya -

memasuki dunia maya untuk menjelajah dunia nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sungai Makin Sempit dan Hilang

22 Juni 2012   03:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Dadang Kusnandar

Penggerak Klub Kajian Gerbang Informasi

Tinggal di Cirebon

MENYUSUR Google peta Kalikoa, sebuah desa di Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon, tidak saya dapatkan. Akan tetapi berbincang dengan seorang ibu 63 tahun kelahiran Kalikoa, ternyata menyimpan kisah menarik. Catatan ini ditulis berdasar penuturan Rusiti binti Badari Daham, kini hampir dua tahun ibu sederhana itu meninggal dunia. Ia bertutur seperti berikut ini. Kali Dermaga 1947 di Kalikoa lebarnya 8 meter. Dinamakan Kali Dermaga karena ada jembatan bambu di sungai itu. Dermaga dalam bahasa Cirebon berarti jembatan. Kali Dermaga merupakan pertemuan Kali Kunjeng, dan Sumur Tengguli ~tempat rakyat mencuci pakaian, mandi dsb~lantaran airnya jernih dan mengalir. Lebar Kali Dermaga tahun 2012 tersisa kurang dari dua meter. Sungai ini merangkai ke kali besar  dekat Pasar Sumber.

Pengenalan saya atas Kampung Kalikoa berawal dari teman sepermainan kecil, kini berstatus guru SD di Kalikoa. Ia banyak bertutur tentang kampung asalnya yang gempita (tentu saja menurut versi dia), dan Rusiti adalah ibunya.

Kalikoa 1945 tak berselang lama Proklamasi Kemerdekaan RI, bila ada anak muda yang berteriak MERDEKA, seketika diculik (entah oleh siapa) lalu tak jelas nasibnya. Pemuda yang diculik itu biasanya disembelih lalu mayatnya berhari kemudian ditemukan di Dermaga Malang.

Warga Kalikoa 1947 bepergian ke Cirebon berjalan kaki menyeberangi kreteg (jembatan) Kali Dermaga dengan waktu tempuh sekira 30 menit ke Dermaga Malang. Keindahan Gua Sunyaragi , panorama Cirebon yang asri dengan lanskap Gunung Ciremai dan pesawahan yang dikelola penduduk. Dermaga Malang, sungai yang menyilang jalan raya, melintas dari tikungan Sunyaragi - Kesambi hingga samping SMP Garuda (SMA Negeri 2 Cirebon sekarang.

Tentang Kalikoa dengan point of view sungai berangkat dari kepedulian pentingnya menjaga lingkungan agar tetap lestari, setidaknya dalam ukuran kelayakan lebar sungai hingga tidak mengakibatkan banjir. Kali Dermaga adalah contoh ketidaksiapan kita menjaga lingkungan. Desakan kaum urban pun turut mempersempit lebar sungai itu. Sampah yang mendesak ke tepi Kali Dermaga, Sumur Tengguli yang sudah tidak jernih lagi airnya, dan banyak sungai bernasib serupa di Indonesia. Celakanya, di kota sejak pembangunan dijadikan panglima, sungai bahkan ditutup, jembatan pun hilang lalu berganti jadi jalan raya. Entah itu pelebaran jalan dan atau pembukaan jalan baru. Kota Cirebon termasuk pada kategori ini.

Sungai makin kecil, kian sempit dan tidak dapat dipandang. Mungkin ia berada di bawah aspal jalan yang berhotmix. Mungkin juga sungai yang terus menyempit itu sudah tak mampu lagi mengalirkan air. Cirebon salah satu produk gagal pembangunan lingkungan terus menutup kali menjadi jalan. Masa SMA saya tahun 1980-an Dermaga Malang masih ada berikut jembatannya di samping SMA 2 Jalan dr. Cipto Mangunkusumo. Akan tetapi anak saya tidak tahu dan tidak pernah tahu bahwa di situ pernah ada sebuah sungai. Kabar paling akhir, ditutupnya kali depan Rumah Sakit Tentara Ciremai di Jalan Kesambi. Kali/ sungai ini tersambung ke Dermaga Malang.

Enam bulan lalu teman saya, fotografer Ipon Bae memotret kegiatan menebang pohon mahoni di depan RST Ciremai, namun sayang sekali saya tidak dishare fotonya. Bagi saya ini penting, bukan untuk menghujat pemerintah kota melainkan semata untuk mengaplikasi kebijakan publik berwawasan lingkungan. Jika pun pemerintah berkilah untuk mengatasi kemacetan dan kepadatan lalu lintas, solusinya bukan menutup sungai. Bisa saja dengan cara regulasi di bidang transportasi berwawasan lingkungan, misalnya mengatur lalu lintas di sana jadi satu jalur. Hm, saya yakin pemerintah lebih pandai bila mau melaksanakan kebijakan publik berwawasan lingkungan.

Bayangkan bila suatu saat nanti banjir menggenang Cirebon. Ironis, kota tepi pantai utara (Laut Jawa) yang seharusnya mampu mengalirkan air sungai ternyata tumpah ke jalan serta masuk ke rumah warga. Kondisi ini sebenarnya sudah terjadi (kendati bukan banjir bandang) 6 tahun lalu di Kalitanjung. Penyempitan sungai penyebabnya. Dan lazim terjadi di Indonesia : banjir melanda kota di tepi pantai. Sampai kapan?

Sampai kapan keberadaan sungai semakin tidak memiliki jejak? Sungai kecil yang terus menyempit lalu berubah jadi gorong-gorong bergaris tengah hanya satu meter, lantas berubah lagi menjadi saluran air (got) yang masuk ke pemukiman padat warga ~adalah problem khas perkotaan. Problem sungai bertaut erat dengan lingkungan hidup dengan berbagai variannya. Dengan kata lain semakin mengecil sebuah sungai semakin tidak mampu mengalirkan air. Akibatnya bukan hanya banjir atau genangan air di badan jalan, melainkan terjadi proses erupsi (penggerusan) aspal hingga merusak jalan.

Kerusakan jalan akibat saluran air yang mampatdan kian sedikit plus menyempit, tidak hanya merugikan warga masyarakat. Tapi lebih jauh dari itu ialah pekerjaan sama yang berulang-ulang tiap tahun. Dapat dibayangkan tiap tahun anggaran, pemerintah daerah mengeluarkan dana besar bagi pekerjaan itu-itu saja. Bukankah hanya unta yang masuk kedua kalinya pada lubang yang sama? Pekerjaan umum yang dialokasikan bagi kepentingan publik memang harus dilakukan, namun begitu ketika pekerjaan tersebut merupakan pengulangan pekerjaan tahun sebelumnya dan dikerjakan di tempat yang sama, apakah bedanya dengan unta?

Apabila sungai kecil tidak terus dikonstruk menyempit, dan atas nama pembangunan jalan raya sungai yang berganti status menjadi got besar, lalu secara periodik menjadi got (saluran) dengan diameter kurang dari 50 centi meter~adakah istilah selain upaya pengrusakan lingkungan hidup? Upaya pengrusakan yang pada mulanya berawal dari ketidaksiapan serta ketidakseriusan menjaga sungai. Baik itu menyangkut kualitas air, kemampuan sungai mengalirkan air, lebar sungai maupun keasrian lingkungan sekitar sungai/ kali. Di Cirebon yang ada adalah bangunan di atas bantaran kali. Bangunan yang sudah pasti menggusur bahkan menutup sungai. Diantara sejumlah bangunan di atas bantaran kali jenisnya beragam, ruko (rumah toko), hotel, kios dagang, termasuk kantor pemerintah.

Artinya pemerintah daerah tidak serius menangani keasrian lingkungan hidup. Dan dengan demikian ketidakseriusan itu selalu mengundang permasalahan sama, berulang, bagai tak ada pekerjaan lain yang lebih penting. Selalu saja sarana prasarana (umum) akibat kelalaian menjaga keasrian lingkungan. Jika saja sungai tidak menyempit, jika saja sungai tidak dibuat menyempit, dan bila tidak ada sampah (industri dan rumah tangga) yang merangsek terus ke badan kali, dengan kesungguhan pemerintah daerah memfungsikan kembali sungai serta partisipasi aktif masyarakat maka kali yang ada di Cirebon akan memberi manfaat; bukan mudharat. Langkah yang dapat ditempuh guna merealisasikan ide jangan persempit lebar kali, tidak boleh tidak yakni jangan tutup kali yang terbuka dengan alasan solusi kemacetan lalu lintas. Fakta kali cukup lebar di depan Rumah Sakit Tentara (RST) Ciremai Kota Cirebon dua tahun lalu disamping menutup sungai, juga menebang pohon angsana yang teduh.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun