Mohon tunggu...
Dadang Darmansyah
Dadang Darmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di Badan Pusat Statistik

Lahir di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, saat ini ASN di Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis, penyuka olahraga dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengkhawatirkan, Angka Perceraian di Indonesia Meningkat

2 November 2020   08:52 Diperbarui: 28 April 2021   19:36 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perceraian | pixabay

Beberapa waktu yang lalu sempat viral video yang menggambarkan antrian mengular di Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Bandung. Bukan untuk antri bansos atau bantuan langsung tunai tapi mereka yang akan mengurus gugatan cerai mereka di Pengadilan Agama.

Pihak Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung tidak menyangkal berita tersebut. Bahkan salah satu narasumber Pengadilan Agama mengatakan menangani kasus gugat cerai rata-rata per hari 150 gugatan. Bahkan jika ditambah dengan pendaftaran gugatan cerai baru bisa mencapai 500 kasus gugatan.

Sedemikian rapuhkah tatanan bangunan keluarga kita sehingga angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Fakta di atas hanya sebagian dari gunung es, karena masih banyak sengketa keluarga yang tidak berujung di pengadilan.

Tren perceraian di Indonesia memang meningkat setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Publikasi Statistik Indonesia  mengungkapkan angka perceraian pada tahun 2015 sebesar 353.843 kasus. Pada tahun 2018 meningkat menjadi 408.402 kasus.

Selama kurun waktu tiga tahun saja meningkat 54.559 kasus atau 15,41 persen. Penyebab terbesar penceraian pada tahun 2018 yakni perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dengan jumlah 183.085 kasus. Di urutan kedua disebabkan oleh masalah ekonomi dengan jumlah 110.909 kasus.

Sisanya karena pasangan pergi, KDRT dan perilaku tercela pasangan. Bahkan Mahkamah Agung pernah merilis data pada bulan April 2019, jumlah kasus perceraian yang disebabkan karena perbedaan pandangan politik.

Data dari Pengadilan Agama seluruh Indonesia menunjukkan inisiatif perceraian berasal dari pihak perempuan dengan jumlah 307.778 kasus. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 kasus.

Tren Global Perceraian

Ternyata peningkatan tren angka perceraian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara terjadi hal yang sama dengan sebab yang sedikit berbeda. Ada yang disebabkan karena stigma perceraian di negara tersebut bukanlah sesuatu yang buruk. Sebagai contoh negara Belgia mencapai angka perceraian hingga 61 persen.

Perempuan berpendidikan tinggi di sana memilih bercerai karena stigma bercerai di sana bukanlah hal yang buruk. Sementara di Rusia tingkat perceraian mencapai angka 51 persen. Penyebabnya antara lain peperangan, kesulitan keuangan dan perilaku buruk minum alkohol.

Amerika Serikat memiliki tingkat perceraian yang meningkat beberapa tahun terakhir, yakni 51%. Menurut jajak pendapat yang dilakukan di Amerika Serikat, terdapat lima penyebab perceraian yaitu komunikasi yang buruk, keuangan, penyalahgunaan kepercayaan, tak lagi tertarik satu sama lain dan perselingkuhan.

Pandemi covid-19 juga menjadi pemicu meningkatnya angka perceraian. Fenomena meningkatnya angka perceraian  karena pandemi nyata di beberapa negara. Banyaknya kasus PHK kepala keluarga menjadi pemicu perselisihan. Lamanya masa isolasi selama pandemi covid-19 meningkatkan tingkat pertengkaran di antara pasangan yang berujung perceraian.

Manajer pendaftaran pernikahan di China menyebutkan adanya peningkatan angka perceraian selama masa pandemi covid-19. Firma hukum khusus kasus perceraian di Inggris mencatat adanya peningkatan angka perceraian hingga 42 persen karena masalah keluarga dan bidang ketenagakerjaan.

Arab Saudi juga mendapati kenaikan angka perceraian selama lockdown virus Corona. Dilansir Middle East Monitor, ada sekitar 7.482 kasus perceraian yang terjadi di masa pandemi virus Corona. Sangat mungkin hal yang sama terjadi di Indonesia.

Dampak Perceraian 

Perceraian merupakan peristiwa yang sangat traumatis bagi anak, orang tua dan keluarga pasangan. Dampak bagi anak secara umum beresiko tinggi terhadap masalah emosional dan perubahan perilaku anak. Bisa  berakibat pada gangguan prestasi akademik. Sikap anak menjadi keras kepala dan muncul sifat a-sosial. Kualitas gizi anak berkurang karena status finansial keluarga menurun.

Bagi orang tua muncul perasaan hancur, depresi, merasa kurang mampu berperan sebagai orang tua. Menurunnya wibawa orang tua di mata anak-anaknya bahkan penyalahgunaan psikotropika.

Dalam jangka panjang kondisi kesehatan menjadi terganggu, pola makan menjadi tidak sehat dan menurunnya dukungan jejaring sosial. Karena menikah itu menyatukan dua keluarga besar, maka saat terjadi perceraian dua keluarga besar menjadi terpisah karena putusnya hubungan kekeluargaan.

Berdasarkan aspek kebahagiaan, jelas mereka yang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan yang berstatus cerai. Indeks kebahagiaan yang dirilis BPS tahun 2017 menunjukkan mereka yang berstatus menikah memiliki indeks kebahagiaan 71,09.

Sedangkan mereka yang memiliki status perkawinan cerai hidup memiliki indeks kebahagiaan 67,83 dan status perkawinan cerai mati memiliki indeks kebahagiaan 68,37. Indikator ini menguatkan bahwa mereka yang berstatus menikah lebih bahagia dari mereka yang berstatus cerai.

Kelompok Beresiko Tinggi Cerai

Di antara kelompok keluarga yang beresiko tinggi cerai yaitu pernikahan tanpa status hukum yang jelas. Tingginya tradisi biaya pernikahan membuat mereka memilih menikah siri. Atau malasnya mengurus administrasi pernikahan atau karena pernikahan yang dilakukan bukan yang pertama kali tapi kedua atau lebih.

Menikah tanpa status hukum lebih beresiko untuk bercerai dibanding mereka yang menikah secara formal. Mereka yang menikah dengan pasangan yang sudah punya anak lebih beresiko bercerai dibandingkan dengan pasangan yang diawali menikah tanpa anak. Perkawinan di usia terlalu muda juga berpotensi menjadi angka perceraian.

Data BPS dalam publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat (Agustus tahun 2020), masih ada 15,48 persen wanita pernah kawin dengan umur perkawinan pertamanya 16 tahun ke bawah. Sedangkan yang usia perkawinan pertamanya antara 17-18 tahun sebesar 20,74 persen.

Keluarga yang utuh jauh lebih memberikan lingkungan pengasuhan yang optimal bagi anak dibandingkan single parent. Keluarga yang utuh mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik yakni merawat dan memberikan pengasuhan serta penanaman nilai-nilai pada anggota keluarga.

Tumbuh kembang anak dari sisi fisik, mental dan psikososial sangat dipengaruhi oleh hadirnya kasih sayang kedua orang tuanya. Struktur keluarga dengan dua orang tua dapat  memfasilitasi keberhasilan keluarga dan memberi ruang bagi terwujudnya effective parenting. 

Perceraian berdampak luar biasa kepada keluarga. Diawali dari perubahan fungsi keluarga, stressing bagi pasangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Juga berpengaruh kepada pola pengasuhan keluarga yang pada akhirnya berpengaruh pada perkembangan anak. 

Perceraian menyebabkan ketahanan keluarga dan masyarakat menjadi rapuh. Dalam skala yang terus meningkat ketahanan keluarga dan masyarakat yang rapuh menjadi ancaman ketahanan suatu negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun