Pandemi covid-19 juga menjadi pemicu meningkatnya angka perceraian. Fenomena meningkatnya angka perceraian  karena pandemi nyata di beberapa negara. Banyaknya kasus PHK kepala keluarga menjadi pemicu perselisihan. Lamanya masa isolasi selama pandemi covid-19 meningkatkan tingkat pertengkaran di antara pasangan yang berujung perceraian.
Manajer pendaftaran pernikahan di China menyebutkan adanya peningkatan angka perceraian selama masa pandemi covid-19. Firma hukum khusus kasus perceraian di Inggris mencatat adanya peningkatan angka perceraian hingga 42 persen karena masalah keluarga dan bidang ketenagakerjaan.
Arab Saudi juga mendapati kenaikan angka perceraian selama lockdown virus Corona. Dilansir Middle East Monitor, ada sekitar 7.482 kasus perceraian yang terjadi di masa pandemi virus Corona. Sangat mungkin hal yang sama terjadi di Indonesia.
Dampak PerceraianÂ
Perceraian merupakan peristiwa yang sangat traumatis bagi anak, orang tua dan keluarga pasangan. Dampak bagi anak secara umum beresiko tinggi terhadap masalah emosional dan perubahan perilaku anak. Bisa  berakibat pada gangguan prestasi akademik. Sikap anak menjadi keras kepala dan muncul sifat a-sosial. Kualitas gizi anak berkurang karena status finansial keluarga menurun.
Bagi orang tua muncul perasaan hancur, depresi, merasa kurang mampu berperan sebagai orang tua. Menurunnya wibawa orang tua di mata anak-anaknya bahkan penyalahgunaan psikotropika.
Dalam jangka panjang kondisi kesehatan menjadi terganggu, pola makan menjadi tidak sehat dan menurunnya dukungan jejaring sosial. Karena menikah itu menyatukan dua keluarga besar, maka saat terjadi perceraian dua keluarga besar menjadi terpisah karena putusnya hubungan kekeluargaan.
Berdasarkan aspek kebahagiaan, jelas mereka yang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan yang berstatus cerai. Indeks kebahagiaan yang dirilis BPS tahun 2017 menunjukkan mereka yang berstatus menikah memiliki indeks kebahagiaan 71,09.
Sedangkan mereka yang memiliki status perkawinan cerai hidup memiliki indeks kebahagiaan 67,83 dan status perkawinan cerai mati memiliki indeks kebahagiaan 68,37. Indikator ini menguatkan bahwa mereka yang berstatus menikah lebih bahagia dari mereka yang berstatus cerai.
Kelompok Beresiko Tinggi Cerai
Di antara kelompok keluarga yang beresiko tinggi cerai yaitu pernikahan tanpa status hukum yang jelas. Tingginya tradisi biaya pernikahan membuat mereka memilih menikah siri. Atau malasnya mengurus administrasi pernikahan atau karena pernikahan yang dilakukan bukan yang pertama kali tapi kedua atau lebih.