Tapii, disini permasalahannya adalah, si doi, yang ngajak gue bekerja, yang juga bergabung di project ini, mulai nggak tahan karena merasa seperti dijadikan budak, sehingga dia melakukan perlawanan dan memutuskan untuk berhenti. Dan gue? Ya pada awalnya sih masih bertahan, tetapi lama kelamaan mulai gak kerasan, apalagi posisi gue disini juga sebagai backup kerjaan si doi, eh tapi si doi nya malah berhenti.
Hingga pada akhirnya, di bulan ramadhan 2016 kala itu, gue memutuskan untuk berhenti, eh diberhentikan deh lebih tepatnya, karna sedikit slek dengan Si Kakak Bos ini. Semua fasilitas dari kantor (Cuma motor doang sih, sama helm juga), gue balikin. Dan dengan tabungan yang pas-pasan dari gaji, tanpa THR, tepat 2 minggu sebelum lebaran, gue kembali menjadi pengangguran.
Sedih? Udah biasa sih. Dengan prinsip tabu cucurkan airmata, gue pulang menggunakan kereta. Tiba di stasiun lenteng agung, gue jalan 1 km menuju kosan si doi, memberi laporan tentang semua yang terjadi. Disana kami hanya bisa bersedih, menatap bulan dan bintang yang bersinar di malam itu, sambil saling menguatkan masing-masing karena kerasnya kehidupan Jakarta, bagi kami sih.
Ngga disangka, perantauan modal nekat gue ke Jakarta, bermodal 200 ribu, harus berakhir dengan pemecatan tanpa penghargaan, di dua minggu sebelum lebaran.Â
Pada malam itu juga, kami berunding, apakah harus pulang kampung disaat lebaran, atau stay di Jakarta merayakan lebaran 'hanya berdua'. Dilema yang sangat sangat dalam sih buat gue karena udah setahun nggak pulang ke kampung halaman di Dumai, berat sudah rindu ini kepada keluarga, semakin berat karena gue udah nggak punya apa-apa.
To make story short, gue memutuskan untuk pulang, apapun caranya, gue yakin akan ada jalannya. Kebetulan, kebetulan sekali, tempat gue tinggal di Jagakarsa ini didominasi oleh mahasiswa Riau yang sedang menuntut ilmu dan bekerja di Jakarta, sehingga kami bisa kompak untuk mencari sponsor dari proposal "Pulang Mudik Bersama" dalam rangka lebaran.
Kami memasang strategi, memecah tim untuk bergerak, mulai dari melobi Organisasi KNPI hingga Bank Riau sebagai sponsor "Pulang Mudik Bersama", kemudian juga meminta sumbangan dari senior-senior Masyarakat Riau yang sudah sukses di Jakarta. Hingga akhirnya, H-7 lebaran, kami bisa menyelenggarakan 'Pulang Mudik Bersama' dari Jakarta menuju ke Pekanbaru, Riau, menggunakan Bus Pariwisata yang memakan waktu hingga 2 hari lamanya.
Sebuah pilihan yang berat bagi gue, karena harus meninggalkan si doi yang lagi dibawah-bawahnya, untuk pulang bersilaturahmi ketemu keluarga. Tapi apapun itu, seburuk apapun resiko yang akan dihadapi didepan, kita harus berani dalam menetapkan pilihan, itu sih prinsip yang gue pegang.