Mohon tunggu...
Dadang HuzaziRahman
Dadang HuzaziRahman Mohon Tunggu... Guru - Poto pribadi

Bekerja sebagai guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berkunjung ke Rumah Deri

12 Januari 2023   07:33 Diperbarui: 12 Januari 2023   07:43 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Siang ini terasa amat terik. Cuaca yang memaksa kami untuk segera masuk ke dalam rumah dinas. Cuaca ekstrim, kemarin hujan sepanjang hari, hari ini panas sepanjang hari.

Di rumah dinas Ka Marinudin telah menghidangkan nasi hangat yang memanjang di atas daun pisang. Asap masih mengepul dari atas nasi yang baru saja masak. Setelah ikan asin, sambal dan lalab sudah di letakan dekat nasi yang masih panas, kami berdoa untuk mulai makan bersama.

Rutinitas harian yang sudah jadi tradisi guru-guru di Satap Cigaclung. Makan siang bersama setelah sholat berjamaah dengan para siswa di mesjid milik masyarakat di dekat sekolah.

Baca juga: Mengisi Libur

Salah satu dari siswa kami tak kunjung ke sekolah. Sudah satu pekan tak ada kabar berita. Hari ini kami berencana untuk berkunjung ke rumahnya. Menanyai mengapa dirinya tak hadir di kelas.

Usai makan siang kami bersiap. Saya bersama 3 rekan guru akan berkunjung ke rumah Deri. Deri adalah siswa kelas 8. Sebenarnya ia anak yang rajin bersekolah. Selalu riang, dan senyum tak pernah lepas dari bibirnya ketika ia berjumpa dengan kami gurunya.

Jarak antara sekolah dengan kediaman Deri tak jauh. Hanya butuh 20 menit saja berjalan kaki. Jalannya pun tak sulit, karena telh di semen, meski tak lebar.

Ada dua tanjakan tajam yang harus dilewati. Bagi yang jarang berolahraga akan terasa lelah melewatinya. Saya termasuk yang jarang berolahraga, hingga nafas harus diatur dengan baik. Berhenti melangkah untuk menarik nafas yang lebih panjang jelang sampai di ujung tanjakan.  

Ada beberapa rumah saat kami melewati tanjakan pertama. Rumah panggung dengan dinding bilik bambu. Beberapa ibu-ibu menyapa, menawari kami mampir.

Hampir 14 tahun saya berada ditengah-tengah masyarakat Cigaclung. Waktu sepanjang itu hingga saya sudah tak asing lagi bagi mereka. Hampir semua warga sudah mengenal saya.

Setelah melewati dua tanjakan, kami sampai di rumah Deri. Rumah yang sederhana dan nyaman. Rumah panggung dengan dinding bilik bambu. Begitu pula balainya, terbuat dari bambu.

Salam yang saya lontarkan, langsung dijawab oleh tuan rumah. Ibu Deri membuka pintu. Menyambut kami, lalu menyilahkan kami duduk di beranda bambu depan rumahnya. Istilah di kampung itu adalah sosompang.

Air putih disuguhkan, termos air panas dengan beberapa sachet kopi juga disediakan. Jalan menanjak membuat lelah sangat terasa. Mengusir lelah dengan segelas air yang dituangkan dari teko berwarna silver. Satu gelas rasanya tak cukup, gelas kembali diisi, kemudian diteguk kembali.

Setelah lelah berkurang, pembicaraan dimulai. Saya membuka perbincangan. Menanyakan kabar Deri kepada ibunya, kemudian saya menanyakan mengapa satu pekan ini deri tak datang ke sekolah.

Ibu Deri menarik nafas panjang, sepertinya supaya tenang ketika menceritakan sebab Deri tak mau datang ke sekolah.

Dengan bahasa Sunda ibu menceritakan mengapa anak pertamanya tak mau pergi ke sekolah. Deri ingin dibelikan HP baru, bapak belum punya uang untuk membelikannya.

Kali ini kami yang menarik nafas panjang. Merasa bersalah, tak bisa memahamkan kepada Deri bahwa betapa pentingnya sekolah untuk masa depannya. Tak bisa meyakinkan bahwa ilmu yang didapat dari bersekolah akan membuatnya hidup lebih baik.

Deri datang menghampiri kami. Menyalami, dan mencium tangan guru-gurunya. Deri mengambil posisi duduk di dekat kami. Saya mengelus kepalanya, sambil membujuk ia untuk kembali sekolah. Deri diam, tak ada sepatah katapun yang terucap. Saya kembali membujuknya, meminta ia besok kembali masuk ke sekolah. Deri masih saja terdiam.

Tak lama kelapa muda disuguhkan plus gula aren di wadah piring yang sudah dipecahkan dari gumpalannya. Air kelapa segar dengan kelapa mudanya, dicampur gula aren, kemudian diaduk hingga gulanya larut. Air kelapa berubah warna, menjadi kecoklatan.

"Seruput.... " Nikmat sekali rasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun