Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Charlotte Mason: Siapa Berkuasa dalam Keluarga, Orang Tua, Anak atau Tuhan?  #3

28 Juli 2015   08:25 Diperbarui: 28 Juli 2015   09:20 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapakah yang memiliki kuasa dalam membesarkan dan mengatur anak-anak kita? Rasanya, semua kita pasti akan mengatakan, ya orang tua! Secara alamiah orang tua yang melahirkan anak-anak seolah memiliki otoritas yang melekat. Namun disisi yang lain tidak sedikit orang tua yang dengan kesadaran memberi porsi dan peluang kepada anak untuk tumbuh dan kembang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di dunia ini kedua pola hubungan antara orang tua dan anak ini tumbuh sesuai dengan lingkungan budaya nya masing-masing.

Charlotte Mason (CM) sudah menyadari bahwa terdapat dua kubu yang berlawanan secara ekstrim dalam membesarkan anak. Ada model tradisionil Sparta yang berpusat pada ortu (parent centered) dimana ortu menentukan semua dan keras terhadap anak. Ada juga model modern yang berpusat pada anak (child centered) dimana orang tua justru menyembah pada anak.

Ditengah masyarakat kita kemudian muncul berbagai varian mengisi diantara dua kubu tersebut. CM justru tidak bersandar pada keduanya, ia setuju orang tua memiliki otoritas dan anak mengikutinya dengan ketaatan. Namun, ketaatan dan otoritas dasarnya ada pada prinsip. Yang memiliki kekuasaan bukan orang tua, dan anak bukan pula taat buta pada kekuasaan yang dimiliki orang tua, melainkan yang berkuasa adalah hukum alam, hukum universal,  hukum Tuhan, kebenaran. Jadi, nilai-nilai kebenaran menjelma menjadi nilai-nilai yang hidup dan menjadi aturan dalam keluarga. Sistem atau aturan main yang tumbuh dalam keluarga adalah sistem yang sesuai dengan standar kebenaran yang berasal dari Tuhan. Peirntah apapun yang keluar dari orang tua adalah perintah kebenaran karena itu anak layak mentaatinya. “Hai anak-anak taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena itulah yang benar”, (Kristi, 2012:25).  

Lupa Keluarga, Lupa Orang Tua

Sudah terlalu lama kita memberikan beban yang berat kepada sekolah sebagai satu-satunya tempat yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan mental generasi muda, anak-anak kita. Dengan uang yang kita miliki seolah kita memiliki otoritas yang memadai untuk mengevaluasi kinerja guru saat mendapati prestasi anak kita terpuruk. Dengan uang seolah kita telah membeli guru dengan segenap kehidupannya untuk mendidik anak tercinta kita. Sekolah mahal telah menjadi jaminan mutu dan standar keyakinan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya masa depan anak.

Kita lupa ada keluarga yang sesungguhnya sebagai tempat yang paling mulia bagi membekali anak. Kita lebih banyak menempatkan keluarga sebagai halaman belakang dalam pendidikan anak kita. Padahal keluargalah sebagai frontstage dalam merawat tumbuh kembangnya anak. Kita hebat ketika berada diluar rumah, pribadi yang kuat ditempat kerja, karyawan yang berprestasi, selalu menerima penghargaan sana sini, kesibukan yang tak ada henti, penuh inovasi, tapi seketika lunglai ketika kembali keluarga. Pada keluarga, semua residu pekerjaan tumpah dan semua keluh kesah bermuara. Saat di rumah yang tertinggal hanya marah-marah, semua pekerjaan terasa salah, yang asyik hanya tinggal melampiaskan kecewa.

Ada jutaan anak-anak Indonesia yang hidup dalam tekanan orang tua mereka yang belum menempatkan keluarga sebagai institusi sosial yang paling mulia. Orang tua, dengan segala otoritas yang dimilikinya, dengan segala keterbatasan akan kemampuannya, telah berlaku bak seorang raja. Mereka buat aturan seenaknya yang isinya menyatakan bahwa mereka tak pernah salah. Orang tua yang tak pernah bersalah karna itu merasa tak perlu belajar apa-apa untuk mendidik anaknya. Dengan otoritas yang sungguh tak terbatas orang tua membuat anak-anak mereka serasa tak punya suara, tak punya keberanian untuk menyampaikan fikiran dan pendapatnya. Yang ada adalah ketaatan mutlak tanpa dibekali kesadaran dan pemahaman. 

Kuasa orang tua yang berlebihan telah menjadi pola pengasuhan anak di berbagai negara yang msikin ekonominya. Kondisi anak tertekanan inilah yang oleh masyarakat modern disadari sebagai kondisi buruk bagi masa depan bangsa. Sudah lama jika para orang tua dinegara-negara maju justru memberikan porsi yang besar bagi anak-anak mereka. Tidak sedikit orang tua yang memberi kebebasan tanpa batas pada anak-anak mereka. Tapi menyerahkan sepenuhnya keinginan pada anak juga tidak lantas membuat anak tumbuh dengan kemuliaannya. Penting diingat, ada guru lain yang tak terlhat namun begitu kuat mempengaruhi pertumbuhan kejiwaan seoarang anak yaitu lingkungan sosial, budaya maupun teknologi. Anak-anak yang diberi kebebasan tidak lantas mampu memilih dan memilah ditengah-tengah banyaknya pilihan yang tersedia di depannya. Acap kali anak banyak terjerumus karena pengaruh lingkungan buruk yang justru mengancam institusi keluarganya sendiri. Memberi kebebasan pada anak tanpa pemahaman dan ikatan moral yang kuat hanya menjerumuskan masa depan bangsa. Bagaimanapun otoritas orang tua sebagaimana disinggung oleh CM ternyata mutlak dibutuhkan dalam menanamkan standar nilai kepada anak. Yang penting kita memahami sejauh mana batasan otoritas yang dimiliki oleh orang tua sehingga orang tua tidak muncul sebagai rezim otoriter yang bertindak mengeksploitasi anaknya sendiri.

Batas Otoritas Orang Tua

Otorritas tanpa batas menurut CM hanya melahirkan orang tua yang despotik. Batasan yang jelas terhadap otoritas ortu adalah kedudukan anak sebagai pribadi yang unik, istimewa dan berharga. Menaruh respek kepada kepribadian anak sama dengan ortu secara tulus memberi ruang kepada anak untuk menjadi dirinya sendiri, menghargai hak anak untuk memilih dan menjadi individu yang otentik. CM mengingatkan otoritas orang tua hanyalah sementara. Otoritas akan berubah menjadi tirani dan perbudakan hanya jika otoritas itu disalahgunakan. Dibutuhkan seni, bagaimana memimpin anak tanpa merasa ditindas, memerintah tanpa kelihatan memerintah. Hukum hanya ditujukan untuk menakuti pelaku kejahatan, namun pemerintah yang baik adalah yang bisa memelihara kedamaian tanpa intervensi hukum. Bahagialah rumah tangga yang sedikit peraturannya, tegas CM.

Guru Bagi Orang Tua

Jika kita setuju begitu pentingnya orang tua yang memiliki standar kebenaran ilahiah, yang menjadi standar kebenaran keluarga yang menjadi prinsip dalam membesarkan jiwa dan raga anak-anaknya, lantas siapakah yang bertanggung  jawab mencetak orang tua dengan standar yang demikian? Adakah guru bagi jutaan orang tua di Indonesia? Adakah kurikulum rumah tangga kita? Bagaimana cara menyingkirkan guru-guru ibu rumah tangga yaitu televisi dengan segudang acaranya? Bagaimana cara menyadarkan suami yang sudah sibuk seharian mencari makan namun belum dapat juga, untuk tidak emosional dan marah-marah pada keluarga? Apakah selama ini para pemimpin kita (presiden, menteri, anggota dewan, hingga kepala daerah sampai kepala desa) telah menjadi guru yang baik bagi para orang tua? Nilai-nilai apa saja yang telah di-internalisasi mereka kedalam ruh kesadaran orang tua? Siapa sesungguhnya guru yang membentuk mental anak-anak kita sehingga mereka kerasukan seks bebas, tawuran, dan narkoba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun