Perlambatan ekonomi Indonesia semester I tahun 2015 sudah nyata. Tak perlu diperdebatkan lagi. Indikator makronya jelas yaitu penurunan impor (17%) dan penurunan ekspor (11%) sangat signifikan. Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2015 sebesar 4,7 persen, melambat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2014 sebesar 5,1 persen. Dampaknya pengangguran juga meningkat yaitu dari 7,15 juta orang menganggur pada Februari 2014 menjadi 7,45 juta orang menganggur pada Februari 2015. Inflasi juga meningkat
Indikator sosialnya, para elit ekonomi-politik mulai pusing mempersiapkan kebijakan antisipasi sementara rakyat mulai kedodoran tak ada tambahan dana sambut lebaran. Dilapangan daya beli masyarakat jelas semakin menurun. Menurut teman saya analis jalanan, lebaran tahun ini hampir tak menemukan orang bawa botol sirup minuman setidaknya di jalanan kota Medan. Tidak seperti tahun sebelumnya, banyak orang hilir mudik menjelang lebaran menenteng sirup tanda sudah mendapat jatah lebaran. Meski indikasi itu kelihatan agak sumir namun bisa juga nyata. Banyak kalangan mungkin mulai mengurangi jatah THR sebab omzet mungkin menurun. Atawa ada kalangan yang saat ini mulai menggantinya dengan uang. Di Kampus juga begitu, parcel lebaran tak ada lagi semua dirubah dalam bentuk uang. Namun setelah jadi uang, belum tentu juga digunakan untuk beli sirup minuman mungkin ada keperluan lain yang lebih penting dalam menyambut lebaran. Analisis lainnya, lebaran tahun ini berhimpit dengan anak-anak masuk sekolah. Ibu rumah tangga lebih mengedepankan perlengkapan anak sekolah ketimbang belanja konsumsi yang percuma.
Masalah & Solusi
Para ekonom pemerintah maupun swasta berkata ada dua penyebab perlambatan ekonomi Indonesia yaitu faktor dalam negeri dan faktor luar negeri. Menurut mereka hanya dua faktor itu yang nyata, tak mungkin ada penyebab dari faktor “luar angkasa” (Tuhan). Perhitungan material seperti itu sah-sah saja. Namun bagi penganut mazhab immaterial sebaliknya. Justru faktor luar angkasa yang sangat berdampak nyata.
Faktor luar berasal dari perlambatan ekonomi dunia, turunnya harga minyak mentah dunia, krisisi Yunani yang tak selesai, kebijakan suku bunga The Fed, sehingga mengurangi belanja global yang berdampak pada Indonesia. Semua negara kelihatan lebih mementingkan melihat kedalam negeri untuk sementara. Faktor dalam negeri terkait sisi produksi, yang pertama produksi pangan menurun akibat mundurnya periode tanam, produksi minyak mentah dan batubara turun sehingga industri kilang minyak juga negatif. Kemudian distribusi perdagangan melambat karena menurunnya pasokan barang impor, kinerja konstruksi melambat terkait dengan terlambatnya realisasi belanja infrastruktur. Kinerja belanja daerah juga melambat karena takutnya pejabat daerah tersandung masalah korupsi.
Sejumlah solusi sudah dipikirkan pemerintah yaitu meningkatkan proyek infrastruktur (Menteri Keuangan), reformasi struktural disektor riil dan fsikal (Gubernur BI), stabilitas harga beras dan menjaga inflasi (pengamat ekonomi), membangun sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional dan produktifitas sektor pertanian (INDEF), menjaga ketersediaan energi, dll. Namun adakah yang bisa menjamin pilihan-pilihan solusi tersebut sebagai obat mujarab ?
Teori Usang
Hampir tidak mungkin ada negara yang tidak terimbas dampak ekonomi global. Sebab dunia sudah menyatu (convergen) padu. Dunia disatukan oleh hukum, oleh ikatan, oleh kesepakatan perdagangan dunia. Semua pihak harus mematuhinya kalau mau tidak dikucilkan dalam pergaulan bangsa-bangsa. Kita sudah terikat dan diikat!!. Ingat, kesepakatan itu adalah norma yang mendorong agar semua negara masuk dalam peperangan terbuka. Tentu saja, tidak ada satupun negara yang mau kalah. Semua negara berjuang untuk tampil sebagai jawara tak perduli apakah itu akan membawa derita bagi bangsa-bangsa lainnya. Semua negara pasti akan memikirkan negaranya sendiri saja. Tak ada waktu untuk memikirkan negara lainnya. Bahkan takperlu juga berbaik hati dengan mereka yang berbeda. Negara yang kuat akan menang dalam pertarungan terbuka. Negara lemah akan terjungkal dan terbuang dari arena. Dan semua itu menjadi pemandangan yang biasa saja. Semuanya sudah maklum.
Agar pertarungan tampak sempurna. Kapitalisme Global pun menyingkirkan peran negara serta pemerintah. Takperlu lagi ada peran pemerintah, cukup mereka sebagai regulator saja. Biarkan hanya swasta yang ada, percayakan pada pasar, akan ada “invisible hand” yang membuat rakyat pasti akan sejahtera. Begitulah teori usang sejak jaman atok Smith, yang selalu diajarkan dibangku kuliah. Namun selama puluhan tahun teori itu tak juga mampu menjawab tantangan yang ada. Entah sudah berapa kali ekonomi dunia justru selalu terjerembab tak di duga-duga. Namun peran swasta tetap utama sebab teori itu kata Fukuyama akan menutup sejarah. Padahal kita tahu, ditangan swasta (pasar) justru selalu terjadi kegagalan pasar (market failure). Karena itu menurut Keynes, peran pemerintah tetap penting untuk mengatasi kegagalan swasta. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus campur tangan dalam peningkatan belanja masyarakat, baik dengan cara meningkatkan suplai uang atau dengan melakukan pembelian barang dan jasa oleh pemerintah sendiri.
Namun semua itu hanya teori semata. Pada prakteknya kegagalan pemerintah dapat terjadi juga. Pemerintah justru bisa menjadi sumber masalah sebab pemerintah bisa saja dikuasai oleh para mafia. Jika kegagalan pasar kemudian diikuti kegagalan pemerintah apakah yang akan terjadi pada dunia? Dunia tentu saja dapat kembali terjerembab dalam depresi seperti yang pernah terjadi sebelumnya (great dpression). Jika itu terjadi, akankah kita tetap memaksakan kehendak kita yang jelas-jelas gagal mengatasi masalah? Lihat bagaimana ekonomi Amerika dipukul KO oleh kerakusan para bankir yang luar biasa. Hanya berfikir untuk menyedot keuntungan yang besar semata. Meski Barack Obama kemudian memberikan dana talangan kepada swasta namun tidak ada jaminan situasi akan pulih segera. Terlalu banyak variabel yang mesti dijaga untuk mengembalikan ekonomi pada keadaan semula. Kesewenang-wenangan, keserakahan, dan nafsu tak berbatas yang pada akhirnya menjadi masalah utama. Jadi manusia lah yang menjadi pusat masalah yang sebenarnya.
Out of The Box
Sehebat apapun masalah perekonomian melanda dunia maupun suatu negara, para perencana tetap percaya bahwa solusi yang tepat adalah memperbaiki sistem liberal-kapital yang sudah ada. Paham Liberalisme-Kapitalisme (pasar bebas) tetap menjadi pilihan yang utama. Jika ada bagian yang rusak, tak perlu sampai mengganti sistem yang ada. Kerusakan bisa diperbaiki dengan cara tambal sulam saja (incremental). Padahal kerusakan tidak hanya menyangkut sisitem dan sub-sistem semata, melainkan juga menyangkut mental para pelaksana (implementor). Lihat, mengapa belanja pemerintah daerah justru anjlok padahal ditengah kelesuan ekonomi kita butuh meningkatkan belanja pemerintah? Sebab banyak pejabat daerah justru takut menggunakan anggaran karena taruma ditangkap KPK. Aneh bukan...? kalau tak bersalah mengapa takut menggunakan anggaran? Penyebabnya, pejabat daerah takut, karena sistem selama ini memang tak memungkinkan untuk mereka bekerja secara jujur. Lingkungan birokrasi yang korup memaksa mereka untuk mengambil tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan proyek pemerintah sudah bukan rahasia umum lagi jika masih saja dikelola secara mafia (makan fee saja), siapa yang punya proyek (untuk mendapatkan proyek saja pengusaha sudah mengeluarkan dana), berapa keuntungannya, berapa setorannya, berapa biaya pengamanannya. Dapat dipastikan tidak ada proyek yang dapat terlaksana sesuai dengan rencana.
Penyakit mental inilah yang seolah tak ada obatnya. Perubahan tambal sulam (incremental) dengan varian adonan yang sangat kaya sama sekali tidak memecahkan masalah jika soal mental pelaksana tidak pernah disentuh. Cara berfikir lama sudah seharusnya mulai ditanggalkan. Sebagai contoh, kita selalu menemukan kontraktor pembangunan jalan kelas 1 bermasalah karena baru 3 bulan diresmikan jalan tersebut sudah rusak kembali karena kurangnya material aspal jalan. Kelihatan ada “permainan” material. Pola pikir pemerintah sederhana, yang perlu diperbaiki adalah pertama memperkuat pengawasannya, menambal setiap bahagian yang bolong, menghukum kontraktor pelaksana sekaligus pelaksana, atau merubah sistem tender menjadi sistem online dan lain sebagainya. Hampir tidak ada yang berfikir untuk melakukan perubahan mentalitas terhadap semua stakeholder yang terlibat. Penting diingat semua kolusi dalam pelaksanaan barang dan jasa pemerintah adalah pekerjaan yang sistematik, semua terlibat dengan berbagai peran yang beda-beda. Kejahatan sudah dimulai justru sejak dalam niat, bukan saat direncanakan. Jadi urusannya sekali lagi, menyangkut mental!! Orang berkuasa menjadi kepala daerah atau menjadi pejabat daerah niatnya memang sudah menyalah.
Kita semua lupa jika ekonomi kita mestinya didasari atas nilai-nilai Pancasila. Mestinya standar utama pembangunan bangsa adalah pembangunan mental berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak merdeka tahun 1945 justru kita tidak pernah mengelaborasi sistem ekonomi Pancasila. Kita justru belanja ideologi keluar negeri yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kita bahkan tidak pernah memahamkan bagaimana sebetulnya bentuk sistem ekonomi berdasar Pancasila itu. Kita bahkan kehilangan nalar bagaimana mengoperasikan Ketuhan Yang Maha Esa dalam praktek pembangunan mental bangsa. Kita selalu keram otak jika bicara urusan mental bangsa. Rasanya apapun masalah bangsa kita saat ini semuanya berkaitan dengan mentalitas kita. Sudah terlalu lama kita dicekoki oleh sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Anehnya para ekonomo justru banyak yang mendewakan sistem ekonomi yang bertentangan dengan Pancasila. Kita tak mampu keluar dari kotak pasar bebas yang jelas-jelas bertentangan dengan mental gotong royong yang sudah tertanam sejak zaman dahulu kala. Bukankah jika gotong royong (modal sosial) hidup dalam sanubari anak-anak bangsa, uang tidak lagi menjadi hal yang utama? Berapa banyak pembangunan rakyat dahulu di seluruh pelosok Nusantara terwujud tanpa modal uang dan hanya mengandalkan modal sosial semata? Tidakkah kita perhatikan hiudp petani kita saat ini, bajak sawahnya pun mereka upahkan, nanam padinya pun upahan, yang memanen pun minta upah. Padahal, hanya dengan gotongroyong kita dapat menegasikan hukum jual beli, menegasikan hukum persaingan dan menegasikan hukum kepemilikan. Ditengah gotongroyong semuanya pasti tampak indah, nyaman dan berkeluarga. Dengan gotong royong kita bisa memanen estetika tidak lagi berkutat pada logika semata. Saya bukan ekonom, hanya rakyat biasa mohon pencerahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H