Sehebat apapun masalah perekonomian melanda dunia maupun suatu negara, para perencana tetap percaya bahwa solusi yang tepat adalah memperbaiki sistem liberal-kapital yang sudah ada. Paham Liberalisme-Kapitalisme (pasar bebas) tetap menjadi pilihan yang utama. Jika ada bagian yang rusak, tak perlu sampai mengganti sistem yang ada. Kerusakan bisa diperbaiki dengan cara tambal sulam saja (incremental). Padahal kerusakan tidak hanya menyangkut sisitem dan sub-sistem semata, melainkan juga menyangkut mental para pelaksana (implementor). Lihat, mengapa belanja pemerintah daerah justru anjlok padahal ditengah kelesuan ekonomi kita butuh meningkatkan belanja pemerintah? Sebab banyak pejabat daerah justru takut menggunakan anggaran karena taruma ditangkap KPK. Aneh bukan...? kalau tak bersalah mengapa takut menggunakan anggaran? Penyebabnya, pejabat daerah takut, karena sistem selama ini memang tak memungkinkan untuk mereka bekerja secara jujur. Lingkungan birokrasi yang korup memaksa mereka untuk mengambil tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan proyek pemerintah sudah bukan rahasia umum lagi jika masih saja dikelola secara mafia (makan fee saja), siapa yang punya proyek (untuk mendapatkan proyek saja pengusaha sudah mengeluarkan dana), berapa keuntungannya, berapa setorannya, berapa biaya pengamanannya. Dapat dipastikan tidak ada proyek yang dapat terlaksana sesuai dengan rencana.
Penyakit mental inilah yang seolah tak ada obatnya. Perubahan tambal sulam (incremental) dengan varian adonan yang sangat kaya sama sekali tidak memecahkan masalah jika soal mental pelaksana tidak pernah disentuh. Cara berfikir lama sudah seharusnya mulai ditanggalkan. Sebagai contoh, kita selalu menemukan kontraktor pembangunan jalan kelas 1 bermasalah karena baru 3 bulan diresmikan jalan tersebut sudah rusak kembali karena kurangnya material aspal jalan. Kelihatan ada “permainan” material. Pola pikir pemerintah sederhana, yang perlu diperbaiki adalah pertama memperkuat pengawasannya, menambal setiap bahagian yang bolong, menghukum kontraktor pelaksana sekaligus pelaksana, atau merubah sistem tender menjadi sistem online dan lain sebagainya. Hampir tidak ada yang berfikir untuk melakukan perubahan mentalitas terhadap semua stakeholder yang terlibat. Penting diingat semua kolusi dalam pelaksanaan barang dan jasa pemerintah adalah pekerjaan yang sistematik, semua terlibat dengan berbagai peran yang beda-beda. Kejahatan sudah dimulai justru sejak dalam niat, bukan saat direncanakan. Jadi urusannya sekali lagi, menyangkut mental!! Orang berkuasa menjadi kepala daerah atau menjadi pejabat daerah niatnya memang sudah menyalah.
Kita semua lupa jika ekonomi kita mestinya didasari atas nilai-nilai Pancasila. Mestinya standar utama pembangunan bangsa adalah pembangunan mental berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak merdeka tahun 1945 justru kita tidak pernah mengelaborasi sistem ekonomi Pancasila. Kita justru belanja ideologi keluar negeri yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kita bahkan tidak pernah memahamkan bagaimana sebetulnya bentuk sistem ekonomi berdasar Pancasila itu. Kita bahkan kehilangan nalar bagaimana mengoperasikan Ketuhan Yang Maha Esa dalam praktek pembangunan mental bangsa. Kita selalu keram otak jika bicara urusan mental bangsa. Rasanya apapun masalah bangsa kita saat ini semuanya berkaitan dengan mentalitas kita. Sudah terlalu lama kita dicekoki oleh sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Anehnya para ekonomo justru banyak yang mendewakan sistem ekonomi yang bertentangan dengan Pancasila. Kita tak mampu keluar dari kotak pasar bebas yang jelas-jelas bertentangan dengan mental gotong royong yang sudah tertanam sejak zaman dahulu kala. Bukankah jika gotong royong (modal sosial) hidup dalam sanubari anak-anak bangsa, uang tidak lagi menjadi hal yang utama? Berapa banyak pembangunan rakyat dahulu di seluruh pelosok Nusantara terwujud tanpa modal uang dan hanya mengandalkan modal sosial semata? Tidakkah kita perhatikan hiudp petani kita saat ini, bajak sawahnya pun mereka upahkan, nanam padinya pun upahan, yang memanen pun minta upah. Padahal, hanya dengan gotongroyong kita dapat menegasikan hukum jual beli, menegasikan hukum persaingan dan menegasikan hukum kepemilikan. Ditengah gotongroyong semuanya pasti tampak indah, nyaman dan berkeluarga. Dengan gotong royong kita bisa memanen estetika tidak lagi berkutat pada logika semata. Saya bukan ekonom, hanya rakyat biasa mohon pencerahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H