Mohon tunggu...
Dadang Irwanto
Dadang Irwanto Mohon Tunggu... Guru dan AGEN MAJALAH ISLAMI -

Saya adalah Guru BTQ SD KP 02 PKL; Guru PAI SMA 3 PKL; Agen Majalah Islami Ar Risalah, Adzkia dan Hujjah dan Guru TPQ Darussalam klego pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malu Berubah Mulia

4 Juli 2015   01:56 Diperbarui: 4 Juli 2015   02:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Inilah rasa malu yang benar, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan semata-mata yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri.”

Malu Kepada Siapa?

Sifat malu yang paling bermanfaat dan diperintahkan adalah malu kepada Allah. Yakni ketika seseorang merasa malu kepada Allah tatkala tidak mengerjakan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya. Sementara, nikmat Allah yang tercurah atasnya tak terhitung banyaknya dan tiap tetes nikmat itu menuntut dirinya untuk mensyukurinya.

Bersyukur dengan cara menggunakan semua nikmat sesuai kehendak Pemberi. Maka dia malu menggunakan nikmat untuk bermaksiat. Ini seperti yang diungkapkan oleh Hatim bin al-Asham sebagai salah satu prinsip hidupnya, “Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari pengawasan Allah di mana pun aku berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” Begitu yang disebutkan dalam Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi.

Buah dari rasa malu kepada Allah yang benar akan membuahkan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Barangsiapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan (pikiran) apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang masuk ke dalamnya.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)
Jenis yang kedua adalah malu kepada orang lain. Rasa malu ini sangat bermanfaat dan seseorang akan mendapat pahala karenanya ketika ia memiliki rasa malu kepada Allah.

Karena itulah, Imam Ibnu Hibban rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat bergaul dengan sesama manusia.

Ketika rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, dalm lemahlah potensi perilaku buruknya. Dan sebaliknya, ketika sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala.

Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”

Begitulah faedah malu kepada manusia. Bahkan bagi orang beriman, rasa malu bisa menjadi deteksi awal untuk mengendus status dosa, sebelum nantinya mengetahui kepastian dari dalil syar’i. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun