Salam sehat guru hebat guru bermartabat.
TAK jarang saya temukan di setiap sekolah yang terkunjungi prinsip sebagaian guru _"Saya mah cukup mengajar saja. Sekolah kami kesulitan mengarahkan siswa menulis."Â
Ada juga yang mengeluh dengan kondisi dan menganggap sepele kemampuan anak didiknya sendiri dalam mewujufkan karya. Ada pula sekolah yang hanya berorientasi pada Arkas yang sudah berlalu diputuskan.Â
Inti persoalannya, kita masih memerlukan banyak sahabat yang mempunyai dan berani bertindak dari _oldmind_ ke _newmind._ Bila perlu sedikit nekad dan gila (gali ilmu langsung amalkan).
Lain soal ketika GSMB diterima oleh para stakeholder pendidikan yang berprinsip siap menjadi pembelajar, penggerak, dan pengkarya. Semua alasan _the oldmind_ tak tergambar sedikit pun.Â
Yang ada hanyalah kesiapan menghadapi tantangan sekaligus kesungguhan memungut peluang keberhasilan mewujudkan karya siswa, guru, dan semua warga sekolah.
Di sisi lain, kita tak bisa tertolak dari kemajuan teknologi digital. Kita menjadi sangat keranjingan bergawai. Satu sisi itu tuntutan, sisi lainnya sudah menjadi candu. Banyak grup medsos yang kita ikuti.Â
Dari mulai yang sifatnya club hobby, klub karya, klub bisnis, hingga klub khusus kewanitaan. Tanpa kita sadari telah menunjukkan perubahan struktur otak sekaligus pola pikirnya. Jika sudah terbiasa menulis sehari tanpa gawai seperti Dilan kehilangan Milea.
Kindisi-kondisi semacam ini bukan tidak diapresiasi oleh para pengambil kebijakan. Ada banyak garapan mengantisipasi perubahan _mindset, toolset, skillset,_ bahkan _heartset_ dengan hadirnya beragam medsos.Â
Dengan kata lain, digitalisasi pendidikan mau tidak mau mengubah institusi pendidikan bukan hanya sebatas pengembang ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahkan sudah menjadi sarana mobilitas sosial, tempat pemenuhan kewajiban ekonomi politik, sarana pemenuh persyaratan memasuki peluang baru (misalnya dengan tuntutan sekolah harus memiliki studio digital).
Endgamenya, pendidikan kini tidak mudah dipahami arasnya. Bisa menjadi sangat formalistis dan berbasis instruksi, pendidikan menjadi wadah mewariskan nilai-nilai ideologi (sekolah didirikann oleh ormas dan orprof), agama tertentu atau pandangan tertentu (Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, NU, dll). Ujung-ujungnya pendidikan sangat dipengaruhi oleh kompromi-kompromi konflik dan negosiasi politik.
Lalu dimana posisi dan peran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Sistem Pemataan Mutu Internal (SPMI), dan _Education Sustainalbe Development (ESD)?_ Hal ini dicoba diurai sentuh dengan tiga kerangka program literasi masional: _digital society, digital economy, digital government._Â
Dari tiga kerangka itu mana yang lebih dominan bertemu laku ketika sekolah diharuskan melakukan digitalisasi sekolah _(digital education)._ Haruskah semua pembelajaran berbasis platform? Haruskah setiap sekolah menyiapkan studio digital?Â
Sudahkah setiap _stakeholder_ pendidikan memahami empat pilar kurikulum litersi digital? _Digital safety, digital skill, digital ethics, digital culture?_ Sejauh mana derajat desiminasinya.Â
Haruskah semua pembelajaran berbasis video yang terunduh ke youtube? Sekali lagi, _endgamnya_ ada pada sikap mental, sikap nalar setiap pemangku pendidikan untuk meningkatkan kompetensi literasinya. Jangan harap literasi digital bisa menjadi kekuatan setiap pembelajar jika literasi dasarnya saja (baca tulis dan numerasi) hanya sebatas wacana dan diwacanakan.Â
Yang penting bagi kita saat ini adalah dare to action di atas setiap kebijakan apapun dan sadar atas kehadiran kita _prove we exist because of working. Tinggalkan oldmind yang hanya menuju material, financial, apalagi _profeet oriented._
*Ki D. Andana* _Bakti dan Kreativitas Guru Tak Pernah Surut: Kegelisahan Menghadapi Sikap Mental Diri Sendiri_ 08/09/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H