Mohon tunggu...
Anton Da Karola
Anton Da Karola Mohon Tunggu... Freelancer - | tukang foto | tukang kliping

Citizen journalist from South Sumatera.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buku Pertama di Akhir Media Massa

16 Desember 2020   13:34 Diperbarui: 16 Desember 2020   13:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Opa lagi mengecek atap rumah, sebagian miring ke tengah karena rangka kayu tak kuat menahan beban bekas hantaman. Dok. Anton DC (2013).

Aku bergabung dengan Pelatihan Menulis Online (PMO), kebetulan ini batch 1, beberapa orang kukenali di grup Whatsapp ini. Aku yakin, bisa mengikuti pelatihan menulis dengan mudah. Bukankah aku sering mengaku jurnalis?

Oh, ya, Senin dan Selasa awal bulan kemarin diminta mengisi materi jurnalistik untuk anak-anak sekolah menengah di Sekolah Alam Palembang. Tak kusangka, di balik wajah lugu mereka, sudah pandai menulis jurnal. Dibandingkan anak-anak sekolah umum yang kenyang teori, mereka lebih sering praktik.

Kulihat schedule yang di-posting di grup, mulai dari agenda pelatihan, proses penugasan antologi hingga penerbitan buku dalam tempo sekitar tiga bulan, Hm, bagus, pikirku.

Pertengahan November

Klub PMO memutuskan untuk menulis genre romance-thriller. Baru sadar, aku adalah jurnalis, bukan novelis. Berkali-kali mengikuti agenda Forum Lingkar Pena (FLP). Namun, tak pernah menjadi anggota. Mereka menyukai puisi, aku lebih suka mengolok-olok puisi. Mereka pandai membuat fiksi, aku lebih suka nonfiksi.

Saat salah satu pentolan FLP Sumatera Selatan Umi Laila Sari mengadakan kuis berhadiah buku tentang bagaimanakah seharusnya mengelola akun media sosial pribadinya di platform Facebook dan Instagram. Kujawab seperti agak ngawur tapi teoritis, supaya dia menghapus saja sebagian isi posting-annya yang lebih banyak foto keluarga itu. Sementara, para peserta kuesioner yang lain, betul-betul berharap kebagian hadiah itu. Sampai memelas begitu.

Eh, rupanya malah diganjar hadiah. Entah buku apa? Karena belum juga kubuka hingga kini. Yang pasti, bukan buku Azzura Dayana. Mungkin buku puisi Sapardi Djoko Damono (aku lebih suka melafalkan nama Darmono) yang masih hidup saat hadiah itu tiba di rumah, diantar langsung oleh Elly, suaminya.

Tiga hari menjelang deadline, belum ada ide cerita yang kutulis. Terlintas di kepala pun tidak. Kami diberi batas waktu hanya sepuluh hari untuk menyelesaikan tugas berat ini.

Rasanya ingin copy paste tulisan dari salah satu bab Unconditional Love, novelku di Wattpad. Tinggal diedit sedikit, lalu kirim, selesai.

Kucoba mengingat memori masa lalu tentang cinta monyet. Apakah cerita anak baru gede di SMP yang terang-terangan bilang, "Aku galak samo kau ...." Menarik?

Aku bengong tak bisa ngomong. Padahal dia kan, cantik? Pinter, juara umum. Anak orang kaya pula. Kok, mau sama aku?

Hanya lelaki ganteng atau perempuan cantik saja yang kisah cintanya romantis, yang jelek minggir ke jurang. Itulah mengapa kisah cinta para remaja berakhir tragis di koran halaman kriminal. Gadis 19 Tahun Gantung Diri (Sriwijaya Post, 27/10/2020). Mungkin mereka merasa, kegagalan cinta adalah akhir segalanya.

Pacaran di kalangan pra nikah, lebih banyak rugi ketimbang manfaatnya, terutama  bagi perempuan. Yang tertinggal hanyalah mantan, kenangan, duka, luka, lara, nestapa, hingga meregang nyawa.

Tak banyak koran lokal yang kukumpulkan, karena kebanyakan isinya dangkal. Cukup baca sekilas judulnya, tak perlu baca semua beritanya.

Oh, tapi ada kisah asmara tentang Deri Permana dan Vera Oktaria yang menjadi headline berbulan-bulan di koran pada pertengahan 2019 lalu bisa jadi thriller. Halaman satu Tribun Sumsel (Rabu, 7/8/2019) dengan cover mereka berdua serta seorang saksi pun saya simpan, karena mirip poster film era akhir 90-an yang dilukis secara manual di spanduk. Semisal film Saur Sepuh, Tutur Tinular atau Ayat-ayat Cinta.

Kubaca-baca kembali cerita pendek di harian Kompas yang terbit setiap minggu. Artikel yang nyaris tidak pernah kubaca bertahun-tahun. Kalian tahu, jika tumpukan koran yang kukumpulkan di rumah bisa mencapai gedung dua lantai? Tak percaya? Tak mengapa, karena koran-koran tersebut keburu dirampok orang, sebelum sempat kukliping atau kujual sebagian.

Istriku meledek, "Wajahmu pecak nak nangis ...." Ketika menceritakan kembali rumah kosong di Pakjo yang dibobol maling. Rumah yang sudah kami tempati delapan tahun itu akan digusur, tak jelas proyek apa, kapan, dimana letaknya. Pak RT pun hanya mengumpul-ngumpulkan warga RT 04 RW 06 untuk makan tanpa memberi kepastian. Perumahan guru di blok depan rumah sudah kosong dalam tempo dua bulan. Kami masih menunggu hingga tahun baru, namun tetangga sebelah kami sudah keburu mengungsi.

Keempat anak kami semua lahir di rumah ini, bangunan ini sudah cukup tua, mungkin lebih dari 30 tahun. Kondisi plafon sudah sangat buruk dan sebagian rusak lagi meski diganti. Atap bocor di ruang depan dan mulai merembet ke kamar.

Saat anak istri di rumah, pohon beringin besar di belakang rumah roboh menimpa pohon nangka di dekat rumah sehingga turut roboh merontokkan pinggiran atap, padahal awal tinggal disini, pohon kates yang kami tebang pun sudah meremukkan sebagian atap bahkan menimpa adik saya.

Rumah ini sangat teduh, letaknya seperti di lembah, atap rumah hampir sejajar dengan jalan, dikelilingi berbagai pohon seperti jati, palem, kelapa, belakang rumah nampak seperti hutan padahal di tengah kota. Kupikir, mungkin sekitar 13 tahun lagi masih disini.

Koran yang kukumpulkan sejak masih kuliah kusimpan disini. Masih teringat jelas pertama kali berlangganan koran nasional pada bulan September 2001. Awal petaka konspirasi yang mengguncang dunia. Serangan 11 September ke menara kembar World Trade Center, dilanjutkan serangan balasan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak. Dengan misi mencari Osama bin Laden dan menghancurkan senjata pemusnah massal milik Saddam Hussein.

Sepertinya mereka salah sasaran, "senjata pemusnah massal" yang sesungguhnya, baru meledak menjelang akhir tahun 2019 di Wuhan, China.

Perang secara fisik hanyalah masa lalu, kini era perang proxy bukan frontal, mengadu domba rakyat antara pro pemerintah dengan oposisi, salah satunya. Atau berani mengajak China perang tapi hanya perang dagang. Amerika Serikat tak akan pernah lagi berperang face to face, meski negara-negara di Timur seperti Korea Utara sudah unjuk gigi. Mulai dari membuat virus komputer wannacry, dan mungkin juga virus sungguhan.

Bukan hanya membunuh secara langsung, jutaan manusia terinfeksi, ratusan ribu nyawa melayang. Hampir tidak ada negara yang lolos dari dampaknya, larangan keluar masuk atau lockdown berlaku, inflasi ekonomi merembet kemana-mana. Secara tidak langsung, banyak warga miskin baru memicu kriminalitas. Efek dari virus SARS ---CoV --- 2 akan terus ada bersama kita walakin pandemi usai.

Kompas sempat menulis berita, Koran Mati 20 Tahun Lagi --- Kompas, Jumat (27/9/2019) halaman 8, tapi nampaknya, "Koran Mati Tahun 2020 ini juga".  Lah, bagaimana nasib buku pertama saya nanti?

galak samo = mau sama

pecak nak = seperti hendak

kates = pepaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun