Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

"Open Mic" dan Pemikiran yang Tersisa

16 Desember 2018   18:04 Diperbarui: 25 Agustus 2022   14:27 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dany Beler, ketika mencoba materi di #OpenMicBGR (Foto: @DetectiveFerry)

Senang membaca dua tulisan saling bersahutan dari Ridwan Remin dan Harry Ramdhani yang membahas tentang open mic di media Kompasiana ini. 

Meski tidak ditujukan menjadi sebuah polemik, namun pergulatan pikiran dari kedua tulisan itu bagi saya memberi sedikit angin segar dari sebuah ketiadaan dalam tujuh tahun perkembangan dunia standup comedy di Indonesia.

Ya, dunia seni hiburan yang satu ini tanpa terasa sudah memasuki tahun ke tujuh. Sejak malam perdana Standup Night di Comedy Cafe 13 Juli 2011, batu yang coba-coba dilemparkan Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, Ryan Adriandhi, Isman HS, Asep Suadji, Intan, Jati, Iwel -dan tentu saja Ramon Papana sebagai pemilik Comedy Cafe- ke tengah lautan publik penikmat seni humor di Indonesia, terbukti tidak tenggelam. Batu itu bukan hanya menimbulkan riak, namun telah menciptakan arus gelombang besar yang bergerak demikian jauh.

Namun dalam tujuh tahun usia perkembangan standup comedy di Indonesia, yang notabene berarti tujuh tahun pula usia StandupIndo sebagai komunitas yang mewadahinya satu hal yang bagi saya terasa kurang adalah perdebatan-perdebatan yang condong bersifat akademis di dalamnya. 

Sangat minim tulisan yang mencoba menghadirkan polemik kritis dari para pelakunya tentang standup comedy dan segala pernak-pernik dinamika yang ada di dalam dunia ini.

Kebanyakan tulisan yang saya baca lebih berupa review dari publik terhadap penampilan komika-komika dalam standup special atau gala-gala show case yang diadakan. 

Sebagian besar review hanya mengajukan pujian-pujian kosong dan kalaupun ada kritik seadanya di dalamnya, jarang sekali memunculkan pergulatan pemikiran yang kritis mengupas lebih dalam, me-redefinisikan, memformulasikan dan lebih jauh secara konstruktif mengarahkan perkembangan-perkembangan baru dari bidang seni yang satu ini.

Agak miris memang. Karena di saat para komika terlihat begitu giat untuk meneliti dan mengobservasi dan mempertanyakan fenomena apapun di masyarakat dan mengangkatnya secara kritis dalam materi-materinya, kekritisan itu seperti mati ketika berbicara tentang standup comedy, komunitas dan dinamika yang berkembang di dalamnya. 

Padahal kita tentu percaya, bidang apapun yang berkembang di dalam sejarah peradaban manusia, justru menjadi lebih hidup dan maju ketika pemikiran-pemikiran dituliskan dan pergulatan pemikiran yang saling mengisi akhirnya membentuk kesadaran-kesadaran baru.

Standup Comedy Indonesia (Tidak) Baik-Baik Saja

Ada dua point kemungkinan yang tentu saja bisa diajukan jika kita mempertanyakan mengapa ini terjadi. Yang pertama, mungkin dunia standup comedy di Indonesia relatif memang "baik-baik saja." 

Sudah sangat mapan dan ajeg baik dalam teori, bentuk format dan formulasi-formulasi apapun yang menjadi penggerak di dalamnya, sehingga tidak diperlukan pergulatan pemikiran apapun dari para penggiat di dalamnya. Atau kemungkinan yang kedua, bisa jadi para penggiatnya sendiri sesungguhnya memang tidak cukup kritis terhadap dunianya sendiri.

Tapi jika kita mengamati sekilas saja dunia standup comedy Indonesia, maka tentu kita tahu dua kemungkinan itu sama sekali tidak benar. Dunia standup comedy Indonesia tidaklah "baik-baik" saja. 

Selain belum cukup mapan secara struktur bangunan sebagai sebuah bidang seni, dalam aspeknya sebagai sebuah industri, pergulatan di dalamnya juga masih sangat muda dan membuka begitu banyak peluang untuk munculnya wacana-wacana konstruktif yang membangun bidang seni lebih baik.

Dari segi pertanyaan mendasar seperti, apakah yang kita lihat sekarang ini sudah benar-benar sebuah suguhan "standup comedy" misalnya, atau apakah yang kita pirsa dan dipertunjukkan komika-komika Indonesia sekarang ini tidak lebih hanya memindahkan sesi-sesi Asmuni bermonolog sendirian di awal pertunjukan Srimulatnya dulu? Hanya lebih mirip sesi-sesi awal pertunjukan lenong di mana satu Bokir berbicara sendirian dengan penonton sebelum memasuki babak cerita dalam pertunjukan lenong untuk mencairkan suasana? 

Apakah memang ini sesungguhnya bidang seni humor standup comedy? Ataukah formulasi standup comedy yang berakar dari seni humor dalam kultur yang asing ketika dicoba dihadirkan di Indonesia memang perlu penyesuaian-penyesuaian dengan kultur dan situasi lokal sehingga kita bisa memberi formulasi baru dari definisi "Standup Comedy ala Indonesia?"

Pertanyaan seperti ini rasanya masih sangat penting dan relevan untuk terus dipertanyakan dan diuji. Diformulasikan dengan pergelutan pemikiran, diperkaya dengan perdebatan yang mengisi argumentasinya dalam pola yang lebih akademis, karena dari pergulatan seperti itu maka secara konstruktif kita akan bisa meletakkan dasar bagi bidang seni secara lebih mapan, baik dalam telaah teknis bidang seninya, ataupun sampai pada persoalan pembentukan segmen market dan posisinya dalam dunia industri hiburan.

Hal lain, dari segi komunitas misalnya. Format komunitas sebagai motor penggerak dalam bidang seni ini jelas bukan merupakan format yang ada di negara-negara asal bidang komedi yang satu ini. 

Cari saja misalnya tips bagaimana menjadi seorang standup comedian dari literatur bahasa asing. Tidak akan ada di dalam tips-tips semacam itu saran untuk bergabung dalam komunitas standup comedy jika orang ingin menjadi seorang standup comedian di Inggris atau di Amerika.

Di Indonesia, jelas kondisinya berbeda. Komunitas Standup Indo yang tersebar dalam berbagai region di seluruh Indonesia, bukan hanya menjadi wadah kumpul-kumpul orang yang memiliki preferensi bidang yang sama, namun juga memiliki fungsi yang lebih jauh karena di Indonesia memang Komunitaslah yang akan menjadi motor penggerak, dan mesin pendukung bagi perjalanan karir seorang standup comedian.

Karenanya pertanyaan-pertanyaan dan pemikiran-pemikiran yang mengupas bagaimana sebenarnya komunitas ini harus bergerak, bagaimana formulasi terbaik bagi komunitas ini untuk dapat mendrive para komika baik dalam struktur pengembangan karirnya maupun bagaimana persoalan rules, pakem, aturan atau norma-norma yang melingkupi bidang seni ini, instrumen apa yang perlu dikembangkan dalam komunitas untuk memfasilitas norma dan pakem-pakem yang diarahkan. 

Ataupun pertanyaan yang paling mendasar seperti bagaimana formulasi bagi para penjaga gawang di Komunitas untuk dapat menjaga iklim Komunitas bisa bertahan menghadapi imbas-imbas dari persaingan dunia industri yang memang menjadi arah pengembangan karir seorang komika, adalah pertanyaan yang masih sangat terbuka untuk digeluti dan dihidupkan demi pembangunan bidang seni ini lebih baik.

Jadi jelas, dunia standup comedy, memang masih jauh dari fase "baik-baik" saja. Dan secara faktual, kondisi tersebut muncul dalam fenomena yang menjawab kemungkinan yang kedua. 

Kemunculan wadah-wadah seperti MLI (Majelis Lucu Indonesia) atau Komtung (Komedi Untung) TV misalnya. Meski secara teknis, kemunculan wadah-wadah ini bisa hanya dimaknai sebagai sarana kreatif dari para komika untuk dapat survive di dunia yang mereka geluti, namun tidak dapat ditolak bahwa dalam konten-konten yang dibuat, tampak jelas bahwa para komika sendiri sebenarnya memiliki atensi kritis untuk mempertanyakan begitu banyak formulasi baik dalam teknis maupun dalam aspek komunitasnya, yang masih belum cukup memuaskan dan menjawab kebutuhan pembangunan bidang seni ini secara lebih mapan. 

Hanya sayang, pergulatan pemikiran itu tidak banyak muncul dalam bentuk polemik yang dapat diikuti secara tertulis. Saya menduga mungkin memang pengaruh kuadran dari bidang seni ini sebagai suatu bentuk alternatif industri hiburan, akhirnya membawa pola dari para komika untuk lebih suka mempertukarkan pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang lebih bernuansa enternainment ketimbang tulisan yang akademis. 

Kanal-kanal Vlog di Youtube, atau penyampaian-penyampaian pemikiran kritis melalui media sosial seperti twitter tampaknya menjadi sarana yang lebih disukai. Tentu dalam persepektif bisnis industri apa yang dilakukan ini tidak serta merta bisa dimaknai sebagai keliru. 

Bahkan tetap perlu dipuji apa yang dilakukan komika-komika dalam wadah-wadah MLI dan Komtung TV tersebut, karena apapun nilainya, satu aspek yang tak dapat dipungkiri adalah justru penggunaan media-media seperti itu di masa sekarang sangat mendukung tetap maraknya perhatian masyarakat terhadap bidang standup comedy maupun para penggiat-penggiatnya.

Dan yang terpenting tentu saja, fenomena-fenomena di atas menunjukkan patahnya dua asumsi yang diajukan: Dunia Standup Comedy di Indonesia memang tidak atau belum "baik-baik saja," dan kekritisan dalam diri para penggiatnya untuk mempertanyakan dunianya sendiri ternyata juga memang masih ada.

"Open mic" & Pemikiran Yang Tersisa

Dalam konteks apa yang diuraikan di atas, maka dua telaah tentang open mic yang ditulis Ridwan Remin dan Harry Ramdhani bagi saya terasa sebagai satu tegukan yang menyegarkan. Ada pergulatan pemikiran yang menarik ketika keduanya bercakap dalam dua artikel yang berbeda. 

Ridwan Remin sebagai pelaku standup comedy dari Komunitas StandupIndo Bogor menghadirkan pada kita apa sesungguhnya nilai penting Open mic bagi seorang Komika. Dan Harry Ramdhani yang meski bukan komika namun sangat akrab dan cukup intens berkecimpung di komunitas StandupIndo Bogor, mengajukan "alternatif" pemikiran untuk membuka ruang berpikir nilai penting open mic dari sisi publik sebagai pengunjung di Cafe-cafe tempat penyelenggara Open mic.

Kedua tulisan itu sekali lagi, bukanlah polemik yang memperdebatkan satu soal dalam dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Harry dalam tulisannya tidak menolak nilai penting open mic bagi komika yang diajukan Ridwan Remin. 

Ia,-berangkat dari sisi penikmat dan customer di area-area yang menjadi tempat penyelenggara open mic- hanya mengajukan dan mempertanyakan pemikiran dari sudut pandang yang berbeda: "Lalu bagaimana dengan nilai penting open mic bagi para pengunjung cafe?"

Dalam tulisan ini saya akan mengajukan alternatif pemikiran yang ketiga yang akan merangkum kedua pertanyaan itu dan -mudah-mudahan- bisa menawarkan formulasi yang bisa menjadi pijakan dalam penyelenggaraan Open mic: Bagaimana nilai penting Open mic bagi Komunitas?

Dari segi penyelenggaraan, Open mic bagi Komunitas adalah sarana yang bukan hanya menjadi kegiatan reguler, tapi bahkan juga menjadi sebuah kegiatan yang utama. Core dari hidupnya Komunitas justru ada di Open mic. Dalam kenyataannya, komunitas Standup yang mati di beberapa regional tertentu, memang mati karena tidak mampu menyelenggarakan Open mic secara reguler. 

Di sisi lain, di Open mic-lah komunitas bukan hanya memberikan fasilitas bagi para komika yang bergabung di dalamnya untuk menguji materi maupun melatih penampilannya, namun juga memiliki fungsi-fungsi sebagai instrumen untuk mengukur potensi kualitas seorang Komika, mengukur sikap mental, attitude, ambisi dan konsistensi seseorang yang memiliki keinginan berkarir di bidang standup comedy.

Dalam penerapannya, seorang komika yang tampil pecah secara konsisten di Open mic akan memiliki peringkat yang dianggap cukup layak untuk didorong lebih jauh menekuni bidang ini secara profesional. 

Entah dengan menempatkan komika itu dalam gelaran showcase (Standup Night atau bahkan Tour Show), atau tampil dalam job-job corporate (gigs) yang masuk ke pengurus Komunitas, atau diarahkan mengikuti lomba-lomba atau ajang talent show di televisi. 

Melalui open mic pula pengurus Komunitas bisa mendeteksi bagaimana sikap mental dan attitude seorang komika sebagai performer. Apakah ia memang memiliki ambisi untuk berkarir, apakah ia memiliki sikap mental dan attitude yang cukup baik dan konsisten untuk mengembangkan karirnya dalam bidang standup comedy, ataukah ia memang tidak berpotensi, atau bahkan mungkin bisa terjadi potensinya besar, namun ambisi dan konsistensinya untuk menjadi seorang komika profesional memang tidak menjadi prioritas sang komika secara pribadi. 

 Cukup banyak sosok komika yang memiliki potensi namun tidak memiliki konsistensi dan ambisi yang cukup untuk mendorongnya menjadi seorang komika profesional dan berkarir di bidang Standup Comedy. 

Dan di dalam sebuah komunitas tentu saja karakter-karakter seperti ini mau tidak mau memang harus diturunkan level peringkatnya dan tidak diutamakan untuk diberi peluang karir yang lebih berkembang.

Dalam konteks ini, sebagai sebuah instrumen openm ic akan berfungsi menjadi alat penyaring bagi komunitas dalam memberi peluang komika mengembangkan karirnya.  

Bukan hanya mengukur mana komika yang potensial, tetapi juga secara lebih jauh mengukur kesiapan seorang komika untuk berkarir secara profesional, baik dalam loyalitas terhadap bidang ini maupun loyalitas terhadap dinamika komunitas yang mewadahinya.

Dengan iklim yang khas di dunia standup comedy di Indonesia dimana pengembangan karir seorang komika akan bertumpu pada Komunitas dan dengan begitu banyak talent-talent yang bergabung di dalam sebuah Komunitas, maka instrumen penyaring yang "transparan, adil dan memberi kesempatan yang sama" pada komika-komika mau tidak mau harus dibentuk dan diciptakan. Dan sejauh ini open mic yang telah terbentuk menjadi instrumen yang dimiliki Komunitas.

Karena itu, nilai penting open mic bagi komunitas ini penting untuk diperhatikan para komika. Bisa jadi seperti dikatakan Ridwan Remin dalam tulisannya ada komika-komika yang secara teknis tidak terlalu membutuhkan open mic dalam fungsinya sebagai "sarana latihan," tetapi nilai penting openmic tidak hanya memiliki fungsi itu. Ada nilai penting open  mic bagi komunitas yang juga harus dipahami oleh para komika yang bergabung di dalamnya. 

Penting diingat, bahwa rajin mengikuti open mic bagi seorang komika -yang sudah sangat "jadi" sekalipun- bukan hanya dalam konteks fungsinya sebagai sarana latihan, tetapi lebih jauh dari itu, karena open mic justru akan menjadi alat penyaring bagi komunitas dalam kebijakan memberi peluang bagi komika-komika.

Bagi komunitas sendiri, rancangan strategis penyelenggaraan open mic pada akhirnya perlu dirumuskan dengan lebih formal. Rules-rules untuk menjadikan open mic sebagai instrumen ini perlu terus dikembangkan agar memenuhi nilai transparansi, keadilan dan dapat berfungsi memberi peluang yang sama pada semua potensi komika untuk berkembang. Mulai dari absensi, ukuran peringkat, hingga penempatan urutan tampil penting disusun dengan kerangka berpikir mempertimbangkan aspek open mic sebagai instrumen ini. 

Namun meskipun konsistensi terhadap penerapan "rules" dalam penyelenggaraan open mic ini menjadi penting bagi komunitas, tentu saja iklim yang demokratis dalam kebijakan juga sangat penting untuk diterapkan. Karena bukan tidak mungkin kebijakan yang keliru pada akhirnya justru memberi dampak terlemparnya potensi-potensi komika yang bagus, hanya lantaran ketidakpuasan-ketidakpuasan yang seharusnya bisa dikompromikan.

 Nilai penting lain bagi Komunitas dari penyelenggaraan Open mic akan berbicara dari aspek pembentukan segmen market. Dalam tulisan saya Standup Comedy Di Simpang Peternakan Alay, saya sudah mengajukan pemikiran tentang hal ini. 

Open mic bagi Komunitas seharusnya tidak hanya berfungsi dalam konteks pembinaan, tetapi juga menjadi sarana yang dimanfaatkan untuk instrumen pembentuk market. 

Baik dari segmen usia, maupun latar belakang pengunjung perlu menjadi pertimbangan dalam menempatkan waktu dan tempat penyelenggaraan Open mic. Lebih jauh, open mic seharusnya bisa menjadi ajang show case portofolio bagi para komika.

Menjadikan open mic sebagai event pertemuan bisnis dengan kolega-kolega yang berpotensi mendatangkan job corporate justru bisa menjadi langkah strategis yang akhirnya membuat kemasan open mic diperhitungkan secara matang untuk dapat memaksimalkan peluang itu. 

Dalam bayangan penulis, sebetulnya sangat perlu pengurus Komunitas bergerak melakukan approach pada para pengusaha atau pelaku bisnis yang berpotensi mendatangkan job corporate bagi para komika, dengan mengundang mereka hadir di Open mic. 

Mungkin dengan memberikan fasilitas undangan makan gratis atau first drink gratis, atau semacam itu. Tentu saja, dalam konteks yang demikian, maka persiapan baik materi maupun list tampil dari komika yang memang akan "dijual" menjadi penting untuk diperhatikan.

Dalam nilai penting bagian inilah, sisi nilai penting dari penikmat yang diajukan Harry Ramdhani kemudian menemukan benang merahnya. Sebagai pengunjung cafe atau rumah makan, tentu saja kita punya kepentingan untuk suasana yang kondusif bagi aktivitas kita menyantap hidangan yang kita pesan. 

Tidak selamanya orang yang datang mengunjungi suatu cafe, memang datang untuk melihat open mic. Bahkan sangat umum terjadi mereka justru tidak mengetahui di tempat itu sedang atau akan diselenggarakan open mic. 

Jika penampilan komika-komika yang hadir cukup sesuai dengan selera mereka, bisa jadi suguhan open mic itu menjadi nilai plus bagi mereka. Tapi yang sebaliknya tentu saja bisa pula terjadi. Situasi "rame sendiri" dari para komika yang hadir sebagai penonton bisa jadi juga akan menjadi faktor yang mengganggu kenyamanan mereka.

Dalam konteks ini, kuncinya tentu saja peran pengurus komunitas dalam mengantisipasi kepentingan para pengunjung seperti itu. Rules standar perilaku dan standar sikap yang diterapkan bagi para komika -baik yang tampil maupun yang hadir sebagai penonton- perlu disosialisasikan dalam komunitas. 

Kemudian, dalam bayangan saya penugasan satu atau dua orang pengurus Komunitas untuk menjadi "customer service" bisa menjadi strategi yang diterapkan Komunitas. "Customer Service Komunitas" ini akan berfungsi untuk melakukan pendekatan personal pada pengunjung yang hadir (kalau perlu dari meja ke meja), misalnya dengan standar S.O.P membagikan kartu nama contact person atau brosur dari komunitas. 

Tentu saja, pelatihan atau penyiapan perwakilan "Customer Service Komunitas" ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Perlu ditekankan kemampuan verbal dan gestur yang memenuhi kualitas untuk approach, berchit-chat dengan pengunjung, mengambil kesempatan untuk menawarkan jasa penampil standup comedian, atau sekadar menjelaskan dengan sopan apa sesungguhnya yang sedang terjadi dalam pagelaran open mic ini untuk menjembatani potensi terganggunya kenyamanan para pengunjung yang tidak hadir di cafe itu untuk menonton open mic.

Jika Komunitas memiliki divisi bisnis yang mengembangkan diversifikasi lain semisal pelatihan komedi bagi perusahaan, sesi training komedi terapi bagi perusahaan, atau bahkan yang paling standar kebutuhan mempromosikan kesempatan-kesempatan gelaran gala, penjualan tiket standup show dan sejenisnya, bisa dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan ini.

Dengan demikian komunitas akan bisa memunculkan nilai penting open mic bagi pengunjung cafe yang tidak sengaja hadir untuk menikmati suguhan jokes-jokes dari para komika. Pengunjung cafe yang tidak berniat menikmati jokes atau penampilan para komika, bisa memperoleh benefit lain dari suguhan open mic yang diselenggarakan.

Penutup

Sebagai sebuah konklusi, maka jelas bahwa jika kita berbicara tentang nilai penting dari open mic, dua sudut pandang yang dihadirkan Ridwan Remin dan Harry Ramdhani dalam tulisannya belumlah cukup. 

Open mic akan memiliki nilai pentingnya sendiri baik bagi komika, maupun bagi pengunjung. Dan yang melingkupi keduanya justru adalah nilai penting open mic bagi Komunitas. Baik dalam konteksnya sebagai sarana pembinaan, maupun sebagai sarana penterasi market.

Karenanya, pemikiran-pemikiran strategis di dalam Komunitas untuk memformulasikan open mic yang dapat memaksimalkan nilai-nilai penting itu rasanya sangat perlu untuk dikembangkan. Rules-rules perlu dibentuk, konsep dan pemetaan strategis perlu didiskusikan dengan lebih serius di dalam komunitasnya sendiri.

Dalam buku tentang standup comedy yang sedang saya tulis, saya membahas secara khusus strategi-strategi yang perlu dikembangkan Komunitas dalam penyelenggaraan open mic. 

Baik dalam kaitannya dalam pengembangan metode pembinaan yang terstruktur bagi para komika, maupun dalam konteks bagaimana komunitas berperan dalam pengarahan dan pengembangan market bagi industri standup comedy ini.

Terakhir, tentu saja apa yang saya uraikan dalam tulisan ini bukanlah sebuah pemikiran yang telah sempurna. Dan karenanya, diskusi yang lebih intens atau tulisan lain yang bisa menyempurnakannya akan menjadi sebuah hadiah yang menyenangkan. Dan saya kira, itu akan menjadi hadiah bukan hanya bagi saya, tapi bagi dunia standup comedy indonesia.

Depok, 15 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun