Jadi jelas, dunia standup comedy, memang masih jauh dari fase "baik-baik" saja. Dan secara faktual, kondisi tersebut muncul dalam fenomena yang menjawab kemungkinan yang kedua.Â
Kemunculan wadah-wadah seperti MLI (Majelis Lucu Indonesia) atau Komtung (Komedi Untung) TV misalnya. Meski secara teknis, kemunculan wadah-wadah ini bisa hanya dimaknai sebagai sarana kreatif dari para komika untuk dapat survive di dunia yang mereka geluti, namun tidak dapat ditolak bahwa dalam konten-konten yang dibuat, tampak jelas bahwa para komika sendiri sebenarnya memiliki atensi kritis untuk mempertanyakan begitu banyak formulasi baik dalam teknis maupun dalam aspek komunitasnya, yang masih belum cukup memuaskan dan menjawab kebutuhan pembangunan bidang seni ini secara lebih mapan.Â
Hanya sayang, pergulatan pemikiran itu tidak banyak muncul dalam bentuk polemik yang dapat diikuti secara tertulis. Saya menduga mungkin memang pengaruh kuadran dari bidang seni ini sebagai suatu bentuk alternatif industri hiburan, akhirnya membawa pola dari para komika untuk lebih suka mempertukarkan pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang lebih bernuansa enternainment ketimbang tulisan yang akademis.Â
Kanal-kanal Vlog di Youtube, atau penyampaian-penyampaian pemikiran kritis melalui media sosial seperti twitter tampaknya menjadi sarana yang lebih disukai. Tentu dalam persepektif bisnis industri apa yang dilakukan ini tidak serta merta bisa dimaknai sebagai keliru.Â
Bahkan tetap perlu dipuji apa yang dilakukan komika-komika dalam wadah-wadah MLI dan Komtung TV tersebut, karena apapun nilainya, satu aspek yang tak dapat dipungkiri adalah justru penggunaan media-media seperti itu di masa sekarang sangat mendukung tetap maraknya perhatian masyarakat terhadap bidang standup comedy maupun para penggiat-penggiatnya.
Dan yang terpenting tentu saja, fenomena-fenomena di atas menunjukkan patahnya dua asumsi yang diajukan: Dunia Standup Comedy di Indonesia memang tidak atau belum "baik-baik saja," dan kekritisan dalam diri para penggiatnya untuk mempertanyakan dunianya sendiri ternyata juga memang masih ada.
"Open mic" & Pemikiran Yang Tersisa
Dalam konteks apa yang diuraikan di atas, maka dua telaah tentang open mic yang ditulis Ridwan Remin dan Harry Ramdhani bagi saya terasa sebagai satu tegukan yang menyegarkan. Ada pergulatan pemikiran yang menarik ketika keduanya bercakap dalam dua artikel yang berbeda.Â
Ridwan Remin sebagai pelaku standup comedy dari Komunitas StandupIndo Bogor menghadirkan pada kita apa sesungguhnya nilai penting Open mic bagi seorang Komika. Dan Harry Ramdhani yang meski bukan komika namun sangat akrab dan cukup intens berkecimpung di komunitas StandupIndo Bogor, mengajukan "alternatif" pemikiran untuk membuka ruang berpikir nilai penting open mic dari sisi publik sebagai pengunjung di Cafe-cafe tempat penyelenggara Open mic.
Kedua tulisan itu sekali lagi, bukanlah polemik yang memperdebatkan satu soal dalam dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Harry dalam tulisannya tidak menolak nilai penting open mic bagi komika yang diajukan Ridwan Remin.Â
Ia,-berangkat dari sisi penikmat dan customer di area-area yang menjadi tempat penyelenggara open mic- hanya mengajukan dan mempertanyakan pemikiran dari sudut pandang yang berbeda: "Lalu bagaimana dengan nilai penting open mic bagi para pengunjung cafe?"