Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Kita Harus Memilih (Bag 1)

29 September 2016   09:27 Diperbarui: 29 September 2016   09:47 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: rc.runryder.com

Kita, sebagai manusia, suka-ndak-suka-mau-ndak-mau, lahir dengan kodrat untuk memilih.

Yang sederhana aja, bagi seorang suami bangun pagi pun kita bisa dihadapkan pada pilihan antara nyipok istri, atau gosok gigi lebih dahulu. Yang jomblo mungkin pilihannya lebih sederhana. Karena kita tahu, nyipok pacar dalam kenangan atau mengecup layar henpon dengan napas paling bau sampah sekalipun, memang tidak pernah punya resiko bahaya seperti digaplok pake Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Tapi apapun dan siapapun kita, pasti sadar bahwa adanya “pilihan dalam hidup” sejatinya memang suatu kodrat yang tak terelakkan. Bahkan bagi jomblo kawakan sekalipun jika ditanya kapan terakhir pacaran ia selalu punya pilihan untuk menahan tengsin dengan menyebut angka tahun, atau sekadar menjawab samar dengan jawaban, "saat Soeharto masih mayor."

***

Memilih, dalam konteks apapun akan berhadapan dengan alasan. Alasan apa yang mendasari kita pada satu pilihan.

Sebagai akibatnya, memilih alasan -lha.. ini pilihan lagi- akhirnya menjadi penting. Penting karena sejauh mana alasan itu bisa memenuhi kriteria layak, akhirnya akan menentukan dua hal: nilai kita sebagai pemilih, dan -lucunya- kelayakan alasan itu juga akan menentukan nilai dari pilihan itu sendiri.

Kalau kalimat nan njlimet di atas agak mbingungi, gampangnya kita illustrasikan dalam praktek di dunia fana. Imajinasikan dalam benak anda seorang wanita mau milih pacar. Banyak kriteria yang bisa ia gunakan untuk memilih kenapa si A layak dijadikan pacar, dan sebaliknya kenapa si B ndak cukup layak memenuhi kriteria itu.

Faktor ganteng misalnya, umumnya akan jadi kriteria yang akrab digunakan orang. Nyari pacar ya yang ganteng dikit mestinyalah. Alasan seperti ini, sesungguhnya sangat rasional. Lha, faktor ganteng itu jauh lebih mudah diukur ketimbang mengukur akhlak bukan?

Persoalannya, jika ia hanya menentukan ganteng sebagai satu-satunya kriteria yang penting, maka jangan heran kalau kemudian sang wanita sukses mendapat pacar yang gantengnya amit-amit, tapi di aspek lainnya pilihannya adalah seorang pria bodo-gak bisa kerja-tukang kepruk pasangan-doyan selingkuh-pemadat-penjudi-dan penggemar MU.

catatan: kriteria terakhir di atas belum tentu sesuatu yang negatif. Cuma gue demen aja nyelipin di situ.

Sebagai masyarakat yang bernaluri pakar-kritis-doyan komentar, kita bisa bayangkan kelanjutannya akan semudah menebak jalan cerita Sinetron kacangan. Kita kemudian juga akan memberikan penilaian pada sang wanita. Sang wanita pemilih pria yang demikian dengan mudah bisa kita masukkan dalam kuadran wanita-pemuja-kegantengan-tak-berpikir-panjang-yang-sekadar-mementingkan-kosmetik-dan-penggemar-MU belaka.

Dan lucunya, konsekuensi logis dari alasan memilih pria ganteng nan mbelgedes itu akhirnya akan mempengaruhi nilai sang pria pilihan. Ia akan bernilai sangat tinggi dan “sangat layak untuk diajak” kalau mau pamer jalan-jalan ke Mall atau nonton bareng saat MU bertanding melawan tim papan bawah. Tapi sebaliknya, sang pria nilainya akan jatuh menjadi “mending jangan diajak” saat sang wanita mau menemui seorang Manajer Bank untuk mengajukan KPR.

Cukup jelas illustrasinya?
Mudah-mudahan demikian.

Paling tidak kita tentu sekarang lebih mudah untuk membayangkan, bahwa jika kekuasaan yang besar untuk menentukan sesuatu akan berpijak pada Hukum Ben Parker Pertama yang berbunyi “dari kekuatan yang besar, lahir tanggung jawab yang besar” (From Great Power Comes Great Responsibility), maka dalam persoalan alasan untuk memilih, Hukum Ben Parker Kedua pastinya akan berbunyi, “Dengan alasan yang semakin tak bertanggung jawab, maka akan lahir pilihan yang semakin mbelgedes.

***

Dalam memilih pemimpin daerah di ajang Pilkada, konteksnya tidak jauh berbeda. Kita sebagai warga akan dihadapkan pada pilihan. Memilih si A, atau si B atau si C.

Dan tentu saja, untuk memilih, kita juga akan berhadapan dengan “memilih alasan” mengapa si A cukup layak jadi pemimpin, dan sebaliknya si B dan C lebih baik disuruh jadi penggemar MU saja.

Persoalannya, dalam pertukaran wacana yang terjadi sehari – hari baik di lintas percakapan “darat” maupun media sosial di dunia maya, kita sangat-sangat sering melihat alasan-alasan yang diungkapkan banyak orang terkesan begitu “naif” dan serampangan, kalau ndak boleh disebut “tidak bertanggung jawab.”

Misalnya, kita pasti sering melihat ada yang melontarkan, “Si A bagus sih, tapi ogah gue milih doi karena di belakangnya ada tokoh Anu.” Tokoh Anu ini bisa berganti jadi Parpol Anu, Kelompok Anu, Group Arisan Anu, dan berbagai varietas anu-anuan lainnya.

Pendapat seperti ini, tentu sah-sah saja. Saya tidak mengatakan faktor pendukung tidak menjadi faktor yang penting. Apalagi kita tahu sama tahu, selalu ada rasionalisasi yang bisa ditarik, di uthak-athik-dan-digathukkan supaya alasan itu menjadi logis dan dianggap brilian.

Tapi mosok sih, kita mau milih Kepala Daerah yang membawahi sekian puluh triliun duit rakyat semata-mata didasarkan pada alasan sedangkal itu? Alasan yang bahkan menyentuh kapabilitas calonnya pun tidak? Apalagi dalam konteks politik yang dinamis, dukung mendukung pasangan calon itu bisa berubah 180 derajat dalam hitungan waktu yang singkat. Ambil contoh kasus Jokowi di Pilkada DKI 2012 dan Anies Baswedan di Pilkada 2016. Secara fakta keduanya didukung satu tokoh yang sering dipandang miring oleh banyak orang. Menjatuhkan pilihan enggan memilih Anies karena alasan ia didukung tokoh tersebut, sementara sebelumnya di 2012 memilih Jokowi yang juga didukung oleh tokoh yang sama, bukan hanya ndak konsisten tapi akhirnya akan menunjukkan pola yang-tak-berpikir-panjang-sekadar-mementingkan-kosmetik-dan-penggemar-MU belaka.

Sayangnya, dalam pertukaran wacana yang mengalir di hadapan kita, pendapat-pendapat seperti ini terlalu sangat-sangat sering sliweran. Ada yang mendalilkan ganteng sebagai ukuran. Ada pula yang menjadikan santun, jadi patokan. Atau sebaliknya ada yang menjadikan cara bicara yang kasar, karakter pemarah, banting hape, istri dua, atau penggemar klub Liverpool misalnya, sebagai ukuran-ukuran untuk mengeliminasi seorang Cakada dari daftar pilihan pribadinya.

Saya ndak tahu bagaimana cara anda menjatuhkan pilihan. Saya ndak paham, apa ukuran yang anda gunakan untuk memilih seorang calon pemimpin kepala daerah. Tapi yang saya tahu dan pahami -dan sebaiknya demikian pula dengan anda- Hukum Ben Parker sesungguhnya tidaklah pernah keliru.

Semakin kita tidak bertanggung jawab dalam memilah alasan untuk memilih sesuatu, maka jangan heran jika pilihan kita nanti sebatas pemimpin yang lemah, mbelgedes dan menyisakan kekecewaan dalam peninggalan masa pemerintahannya.

Sekarang, tentu saja semuanya akan kembali kepada anda.

Apakah anda akan mencoba mengaji ulang alasan-alasan yang anda yakini, menerapkan metode tertentu yang memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menentukan suatu pilihan. Atau lebih memilih keriuhan silang pendapat dan menjerumuskan diri dalam pola memilih tanpa alasan yang cukup layak bagi sebuah jabatan sepenting Kepala Pemerintahan.

Lagi-lagi, tentu saja, ini adalah sebuah pilihan.

Jika, dan hanya jika, anda tertarik untuk menggali wacana bagaimana cara untuk menentukan pilihan, maka mungkin ada baiknya anda mencoba membaca bagian kedua dari tulisan ini. Mencoba tentu saja tidak ada salahnya. Entah apakah cukup berguna nantinya, paling tidak kita tahu-sama-tahu, membaca sebuah wacana yang tak berguna resikonya paling banter hanya setara rasa pedih mengecup kekasih dalam kenangan.

Sentaby,
DBaonk
Depok, September 2016

epilog:  Ini hanya semacam warming up. Untuk bagian keduanya akan diulas bagaimana benchmarking seorang Cakada. Mudah-mudahan bisa cepet ditulis apa yang ada di kepala. Doakan saja. Dengan tulus dan khusyuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun