Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Kita Harus Memilih (Bag 1)

29 September 2016   09:27 Diperbarui: 29 September 2016   09:47 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan lucunya, konsekuensi logis dari alasan memilih pria ganteng nan mbelgedes itu akhirnya akan mempengaruhi nilai sang pria pilihan. Ia akan bernilai sangat tinggi dan “sangat layak untuk diajak” kalau mau pamer jalan-jalan ke Mall atau nonton bareng saat MU bertanding melawan tim papan bawah. Tapi sebaliknya, sang pria nilainya akan jatuh menjadi “mending jangan diajak” saat sang wanita mau menemui seorang Manajer Bank untuk mengajukan KPR.

Cukup jelas illustrasinya?
Mudah-mudahan demikian.

Paling tidak kita tentu sekarang lebih mudah untuk membayangkan, bahwa jika kekuasaan yang besar untuk menentukan sesuatu akan berpijak pada Hukum Ben Parker Pertama yang berbunyi “dari kekuatan yang besar, lahir tanggung jawab yang besar” (From Great Power Comes Great Responsibility), maka dalam persoalan alasan untuk memilih, Hukum Ben Parker Kedua pastinya akan berbunyi, “Dengan alasan yang semakin tak bertanggung jawab, maka akan lahir pilihan yang semakin mbelgedes.

***

Dalam memilih pemimpin daerah di ajang Pilkada, konteksnya tidak jauh berbeda. Kita sebagai warga akan dihadapkan pada pilihan. Memilih si A, atau si B atau si C.

Dan tentu saja, untuk memilih, kita juga akan berhadapan dengan “memilih alasan” mengapa si A cukup layak jadi pemimpin, dan sebaliknya si B dan C lebih baik disuruh jadi penggemar MU saja.

Persoalannya, dalam pertukaran wacana yang terjadi sehari – hari baik di lintas percakapan “darat” maupun media sosial di dunia maya, kita sangat-sangat sering melihat alasan-alasan yang diungkapkan banyak orang terkesan begitu “naif” dan serampangan, kalau ndak boleh disebut “tidak bertanggung jawab.”

Misalnya, kita pasti sering melihat ada yang melontarkan, “Si A bagus sih, tapi ogah gue milih doi karena di belakangnya ada tokoh Anu.” Tokoh Anu ini bisa berganti jadi Parpol Anu, Kelompok Anu, Group Arisan Anu, dan berbagai varietas anu-anuan lainnya.

Pendapat seperti ini, tentu sah-sah saja. Saya tidak mengatakan faktor pendukung tidak menjadi faktor yang penting. Apalagi kita tahu sama tahu, selalu ada rasionalisasi yang bisa ditarik, di uthak-athik-dan-digathukkan supaya alasan itu menjadi logis dan dianggap brilian.

Tapi mosok sih, kita mau milih Kepala Daerah yang membawahi sekian puluh triliun duit rakyat semata-mata didasarkan pada alasan sedangkal itu? Alasan yang bahkan menyentuh kapabilitas calonnya pun tidak? Apalagi dalam konteks politik yang dinamis, dukung mendukung pasangan calon itu bisa berubah 180 derajat dalam hitungan waktu yang singkat. Ambil contoh kasus Jokowi di Pilkada DKI 2012 dan Anies Baswedan di Pilkada 2016. Secara fakta keduanya didukung satu tokoh yang sering dipandang miring oleh banyak orang. Menjatuhkan pilihan enggan memilih Anies karena alasan ia didukung tokoh tersebut, sementara sebelumnya di 2012 memilih Jokowi yang juga didukung oleh tokoh yang sama, bukan hanya ndak konsisten tapi akhirnya akan menunjukkan pola yang-tak-berpikir-panjang-sekadar-mementingkan-kosmetik-dan-penggemar-MU belaka.

Sayangnya, dalam pertukaran wacana yang mengalir di hadapan kita, pendapat-pendapat seperti ini terlalu sangat-sangat sering sliweran. Ada yang mendalilkan ganteng sebagai ukuran. Ada pula yang menjadikan santun, jadi patokan. Atau sebaliknya ada yang menjadikan cara bicara yang kasar, karakter pemarah, banting hape, istri dua, atau penggemar klub Liverpool misalnya, sebagai ukuran-ukuran untuk mengeliminasi seorang Cakada dari daftar pilihan pribadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun