Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY, Manchester United dan Pilkada Rasa Sepak Bola

27 September 2016   00:20 Diperbarui: 27 September 2016   10:03 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum pernah sebelumnya saya sesenang ini melihat keputusan SBY.

Ibarat klub, sebagai penggemar Liverpool saya selalu memandang sosok beliau sebagai MU.

Saya akui kehebatannya, tapi kalau disuruh mencintai mendukung, saya akan lebih memilih hijrah jadi penggemar sepak takraw saja.

***

Saya memang penikmat sepakbola, sebagaimana juga saya penikmat dinamika politik di Indonesia dan dunia. Hanya karena alasan kodrat terlahir di era Liverpool jaya, dan klub ini yang paling sering ditayangkan pertandingannya di stasiun televisi nasional di minggu pagi, yang membuat saya sejak usia 6 tahun hanya tahu satu klub yang menarik hati.

Demikian pula, hanya karena kodrat terlahir di era Orde Baru, maka saya cukup kenyang menyaksikan gejolak politik. Mulai dari gejolak semu di masa Soeharto yang represif, sampai gejolak mimpi nan tak terkendali selepas era reformasi.

Tapi dari keduanya saya belajar.

Belajar bagaimana menikmati menonton dinamika dunia sepak bola sementara klub yang disukai bertahun tahun tidak pernah menjuarai kompetisi.

Belajar bagaimana pertandingan yang seru, permainan yang cantik, sportivitas yang terjaga dan pemain yang ndak petakilan mencurangi atau apalagi menyakiti pemain lain, adalah kenikmatan sesungguhnya dari sebuah pertandingan, terlepas siapa atau klub mana yang jadi pemenang.

Di dunia politik, saya pun mau tak mau akhirnya sampai pada pola pikir yang sama. Saya sudah berhenti mendukung satu partai, jauh lebih lama dibandingkan saat saya mengenyahkan tayangan televisi lokal, sinetron berita kriminal dan debat politik awur-awuran dari kamus tayangan di rumah saya.

Bagi saya, parpol mana yang juara ndak penting-penting amat. Saya sudah berlepas dari kekuatiran kalau si anu berkuasa maka akan jadi begini atau begitu. Kalau partai anu berkuasa, negara akan dibawa ke jurang kehancuran. Saya sudah hidup cukup lama untuk bisa percaya, kekuatiran begitu hanya kembang-kembang dinamika politik saja.

Saya kira Anda pun seharusnya tidak berbeda. Paling tidak Anda yang sudah melewati puluhan tahun era orde baru dan belasan tahun era reformasi ini, tentu merasakan sendiri. Kita sebagai bangsa dan masyarakat, tetap maju setapak demi setapak. Meski mungkin katanya lambat, tapi toh yang terpenting pada akhirnya kita tetap survive dan bisa hidup dalam kondisi apapun juga.

***

Politik, sebagaimana juga sepakbola, adalah pertandingan yang menyimpan seni di dalamnya. Dan seni itu ndak perlu atau bahkan bukan harus mewujud dalam bentuk permainan yang kotor.

Adu strategi, adu taktik, adalah lebih menyenangkan dinikmati oleh penikmat yang sudah ndak mementingkan lagi siapa pemenang dalam pertandingannya.

Karena sebagaimana sebalnya melihat pertandingan sepakbola yang menjemukan, tim-tim oportunis dan pemain curang yang menghalalkan segala cara untuk menang, atau bahkan pertandingan yang pemainnya pukul-pukulan lebih banyak dari mendribble bola, maka memirsa pertarungan dunia politik yang hingar bingar dengan perilaku yang tak elok, yang lebih menyukai menjegal lawan politik dengan cara-cara fitnah, hina dan bully, sesungguhnya mudah membuat kita menjadi muak untuk menyimak lebih jauh pertandingannya.

Dan itu terus terang yang saya rasakan ketika mencoba menikmati dinamika Pilkada di DKI Jakarta, beberapa bulan belakangan ini.

Proses politik untuk menyambut Pilkada yang baru 2017 nanti sudah dikotori jauh-jauh hari dengan permainan-permainan kotor yang kadang -maaf- terlihat begitu menjijikkan. Segala cara dipakai, dan dalam konteks "segala" termasuk pula cara-cara yang menurut saya seharusnya dimaknai menghinakan intelektual kita sebagai manusia.

Baik dari kubu pendukung Ahok sebagai Petahana, kubu pendukung Sandiuno yang digadang sebagai cagub lawannya, maupun kubu pendukung Yusril Ihza Mahendra sebagai alternatif penantang lainnya, pola yang dipakai rata-rata air.

Mirip, kalau tidak boleh dikatakan serupa. Fitnah, menjelek-jelekkan, spin kalimat atau pernyataan yang dikeluarkan setiap bakal calon menjadi negatif, atau bahkan sekadar melontarkan hinaan hinaan verbal atau berupa gambar (meme), seakan menjadi Prosedur Standar Operasional dalam dunia politik menjelang Pilkada Jakarta.

Ketika hari-hari terakhir batas pencalonan oleh Parpol belum menunjukkan calon lain selain yang telah disebut di atas, maka bayangan masa kampanye yang memuakkan itu ndak bisa kita tolak. Belum masa kampanye saja sudah kotor begitu, apalagi di masanya. 

Kalau ada tagline yang cocok untuk menggambarkan situasi Pilkada DKI, mungkin How Low Can You Go dari iklan rokok kretek (yang kini jadi) milik Amerika itu yang paling cocok. Makin rendah caranya, makin hina caranya, malah makin merasa jadi Juara.

Dan melihat calon-calon yang akan maju bertarung, rasanya hal itu ndak akan terelakkan. Inevitable. Pastinya kejadian masa kampanye yang penuh caci maki, fitnah dan bully jadi lebih akurat ketimbang ramalan kapan kita Kiamat.

Karenanya ketika Partai Demokrat mengumumkan Agus Harimurti dan Sylviana Murni sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur dari koalisi PD, PPP dan PKB, sontak saya merasa kagum luar biasa.

Ini SBY, yang sebagai pemusik saya pandang nyebelin karena album-albumnya ndak ada yang bergenre gothic metal, yang sebagai presiden masa pemerintahannya sering saya pandang sinis karena kesuwen dan keliatan lambreta rata hayo kayak orang ragu-ragu saja, ternyata punya strategi yang layak dihormati.

***

Sebagian besar orang mungkin hanya melihat pencalonan anak tertuanya dari sisi "upaya meneruskan Dinasti," dan memang, faktor itu rasanya ndak keliru. Tapi saya melihat bagaimana cerdiknya SBY bersiasat dalam politik, bagaimana ia membaca, mengisi pembacaannya dengan berbagai pertimbangan, sebelum akhirnya memutuskan.

Keputusan SBY mencalonkan AH dan SM kali ini rasanya layak diakui sebuah gocekan yang cantik. Ada 3 hal yang saya cermati sebagai makna yang menunjukkan kecantikannya.

Pertama, dua sosok ini memberikan alternatif baru yang mengejutkan. Bukan hanya asal calon alternatif, tetapi penjodohan keduanya sebagai pasangan diperhitungkan secara cermat untuk punya potensi kekuatan yang cukup membuat perhatian orang menoleh dan berpikir ulang.

Agus Harimurti adalah sosok pemuda yang cukup ideal. Berprestasi di akademik dan militer jelas menunjukkan kepribadian yang tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.

Tentu saja, untuk perkara "Calon Gubernur ditentukan Ketua Partai/Orang yg dianggap pemimpin Partai," bagi saya masih jauh dari harapan berjalannya demokrasi yang baik. Tapi mungkin memang kita sedang berproses menuju ke sana, jadi saya ndak mau protes lebih banyak soal itu.

Terlepas dari Agus adalah anaknya, terlepas pula dari analisa yang menyoroti Agus sebagai pangeran yang disiapkan untuk mengukuhkan dinasti Cikeas, sosok Agus secara pribadi tetap harus diakui seorang Calon Pemimpin yang memiliki potensi kualitas.

Dan di sini saya lebih takjub dengan keberanian untuk menarik Sylviana Murni sebagai pasangan untuk menantang Ahok sebagai petahana. Ibu satu ini adalah salah satu PNS dengan karir yang bagus, dan pengalaman birokrasi yang matang di DKI. Saya bahkan berani menilai, untuk persoalan DKI, SM yang sudah menjalani masa kerja sejak tahun 80-an bahkan boleh jadi lebih matang dari Ahok.

Puluhan tahun bekerja di satu dinas ke dinas lain di Pemda DKI, beliau tentu sudah hapal dengan seluk beluk birokrasi di DKI. Masalah birokrasi pemerintahan, lubang-lubangnya di mana, pasti diketahui ibarat mengetahui alur alur di telapak tangannya sendiri.

Sebuah pilihan berani, dan strategi yang jitu, karena pasangan ini tidak akan mudah dipatahkan dari faktor "pengalaman menangani masalah DKI."

Akibatnya, masyarakat akan punya alternatif pilihan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya "asal bukan Ahok," tetapi "bukan Ahok, dengan kualitas yang sepadan."

Kedua, saya kembali pada persoalan mandegnya dinamika politik Jakarta dengan pola berpolitik yang ndak elok di kalangan akar rumput/pendukung petahana dan lawan politiknya.

Memajukan sosok AH dan SM ibarat memotong mata rantai yang menyebalkan. Ibarat memutus tali permusuhan yang telah demikian panjang antara kubu Pro-Ahok dan kubu Anti-Ahok.

Memutus, dan membuka peluang untuk pertarungan baru yang lebih sehat. Demokrat sepanjang saya pahami, bukan partai yang punya fatsoen politik menghalalkan cara-cara yang tak bermartabat. Demokrat dalam dua kali kepemimpinan SBY selalu berusaha tampil mengedepankan persaingan yang sehat. 

Kampanye oke, sesekali menyindir untuk menunjukkan kesalahan/kelemahan lawan oke, tapi bahasa dan tutur yang digunakan bukan dengan pola awur-awuran yang kita lihat sekarang ini sering menghiasi media sosial dan media massa.

Tentu saja, ini akan berpulang kembali kepada massa di akar rumputnya. Apakah cukup cerdas untuk melihat, "eh, ini babak baru, musuh baru, kita bisa berantem dengan cara yang lebih elegan." Ataukah akan kembali pada pola yang negatif, yang penuh dengan hina, kehinaan dan bully-bully massal.

Dan tentu pula, kita tidak bisa berharap lain selain dua hal pada yang gemar menggelorakan pertarungan dengan cara tak beradab: mereka sadar untuk hidup menjadi manusia, atau mereka bosan hidup sekalian.

Tapi paling tidak, bagi saya faktor ini jadi penting. Ada prasangka baik bergelora dalam pikiran saya, bahwa keputusan SBY memajukan pasangan ini juga disebabkan keprihatinannya melihat dinamika politik Pilkada DKI yang semakin tidak sehat. Mendukung Yusril atau Sandiaga, tidak akan membuka peluang adanya perubahan pola.

Dan di titik itu mau ndak mau saya mengucap tabik pada SBY. Mudah-mudahan keinginannya menampilkan calon penantang baru agar ada perubahan dalam pola dinamika politik di akar rumput/pendukung para calon, disambut dengan kepala cerdas masyarakat Jakarta dan penduduk warga media sosial.

Hal yang ketiga, terkait dengan proyeksi 2019. Banyak orang menganalisa, pencalonan Agus hanya merupakan batu ujian sekaligus batu lompatan untuk bertarung di Pilpres 2019.

Hanya ada satu hal yang mungkin dilupakan dalam analisa itu. Saya sendiri ndak kepikiran, dan baru ngeh ketika diingatkan Maz @bimoalbad di twitter.

Jika Agus memenangkan PilGub DKI 2017, dan memutuskan bertarung dalam Pilpres 2019, maka akan terbuka kemungkinan DKI Jakarta untuk pertama kalinya dipimpin seorang Wanita.

Entah dengan Anda, tapi sejak lama saya selalu punya fantasi yang sama: jika kejamnya Ibu tiri selalu berhasil dihapuskan dengan kasih seorang Ibu, maka Ibu Kota yang konon lebih kejam dari ibu tiri akan menjadi tantangan yang sepadan bagi pemimpin dengan naluri seorang Ibu.

Jakarta itu keras. Sejak lama kita kenal kehidupan Jakarta penuh dengan persaingan ketat dan kegerahan sebagai akibatnya. Dan rasanya, patut diuji bagaimana naluri seorang Ibu berhasil mengayomi penduduk jakarta dengan segala masalahnya.

Karena itu satu hal yang belum pernah dicoba bukan?

***

Tiga hal di atas, membuat saya kali ini tersenyum takluk. Belum pernah saya sesenang ini melihat keputusan SBY.

Meski saya tidak pernah berjanji ini akan menjadi kebiasaan yang terulang, paling tidak kali ini saya akan menyampaikan salam.

 

 

Sentaby (Salam hormat) pak.

DBaonk

Depok, Sept 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun