Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY, Manchester United dan Pilkada Rasa Sepak Bola

27 September 2016   00:20 Diperbarui: 27 September 2016   10:03 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kira Anda pun seharusnya tidak berbeda. Paling tidak Anda yang sudah melewati puluhan tahun era orde baru dan belasan tahun era reformasi ini, tentu merasakan sendiri. Kita sebagai bangsa dan masyarakat, tetap maju setapak demi setapak. Meski mungkin katanya lambat, tapi toh yang terpenting pada akhirnya kita tetap survive dan bisa hidup dalam kondisi apapun juga.

***

Politik, sebagaimana juga sepakbola, adalah pertandingan yang menyimpan seni di dalamnya. Dan seni itu ndak perlu atau bahkan bukan harus mewujud dalam bentuk permainan yang kotor.

Adu strategi, adu taktik, adalah lebih menyenangkan dinikmati oleh penikmat yang sudah ndak mementingkan lagi siapa pemenang dalam pertandingannya.

Karena sebagaimana sebalnya melihat pertandingan sepakbola yang menjemukan, tim-tim oportunis dan pemain curang yang menghalalkan segala cara untuk menang, atau bahkan pertandingan yang pemainnya pukul-pukulan lebih banyak dari mendribble bola, maka memirsa pertarungan dunia politik yang hingar bingar dengan perilaku yang tak elok, yang lebih menyukai menjegal lawan politik dengan cara-cara fitnah, hina dan bully, sesungguhnya mudah membuat kita menjadi muak untuk menyimak lebih jauh pertandingannya.

Dan itu terus terang yang saya rasakan ketika mencoba menikmati dinamika Pilkada di DKI Jakarta, beberapa bulan belakangan ini.

Proses politik untuk menyambut Pilkada yang baru 2017 nanti sudah dikotori jauh-jauh hari dengan permainan-permainan kotor yang kadang -maaf- terlihat begitu menjijikkan. Segala cara dipakai, dan dalam konteks "segala" termasuk pula cara-cara yang menurut saya seharusnya dimaknai menghinakan intelektual kita sebagai manusia.

Baik dari kubu pendukung Ahok sebagai Petahana, kubu pendukung Sandiuno yang digadang sebagai cagub lawannya, maupun kubu pendukung Yusril Ihza Mahendra sebagai alternatif penantang lainnya, pola yang dipakai rata-rata air.

Mirip, kalau tidak boleh dikatakan serupa. Fitnah, menjelek-jelekkan, spin kalimat atau pernyataan yang dikeluarkan setiap bakal calon menjadi negatif, atau bahkan sekadar melontarkan hinaan hinaan verbal atau berupa gambar (meme), seakan menjadi Prosedur Standar Operasional dalam dunia politik menjelang Pilkada Jakarta.

Ketika hari-hari terakhir batas pencalonan oleh Parpol belum menunjukkan calon lain selain yang telah disebut di atas, maka bayangan masa kampanye yang memuakkan itu ndak bisa kita tolak. Belum masa kampanye saja sudah kotor begitu, apalagi di masanya. 

Kalau ada tagline yang cocok untuk menggambarkan situasi Pilkada DKI, mungkin How Low Can You Go dari iklan rokok kretek (yang kini jadi) milik Amerika itu yang paling cocok. Makin rendah caranya, makin hina caranya, malah makin merasa jadi Juara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun