Mohon tunggu...
d_b
d_b Mohon Tunggu... -

bapak-bapak

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Stand-Up Comedy" di Simpang Peternakan Alay

13 Maret 2016   08:50 Diperbarui: 13 Maret 2016   12:04 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima tahun telah berlalu sejak dunia stand-up comedy hadir di tengah-tengah kita.
Lima tahun. Bukan waktu yang sebentar. Meski bukan waktu yang terlalu lama juga.
Tapi rasanya waktu yang cukup untuk kita iseng-iseng melontarkan tanya,
Quo Vadis stand-up comedy Indonesia?

***

Pertanyaan ini menjadi penting bagi saya, dan mudah-mudahan juga bagi Anda, terutama ketika melihat gejala terkini seiring dengan keluarnya film yang dibintangi delapan Komika (stand-up comedian) Indonesia berlevel Nasional, Comic 8 Casino King Part 2, gugatan miring muncul begitu deras di media sosial.

Ada satu frasa yang terasa menohok begitu kuat ketika disematkan pada sosok Komika, baik khususnya pada mereka yang terlibat dalam film tersebut maupun Komika Indonesia secara umumnya : “Ternak Alay

[caption caption="Rekaman citra lini masa"][/caption]Tidak terlalu njlimet untuk menjabarkan apa makna pelekatan atribut “peternak alay” dengan sosok Komika lokal kita. Bila mengingat perkembangan awal stand-up comedy lima tahun lalu, sebagai satu genre komedi yang berupaya tampil kritis, generasi alay (remaja dengan ciri khusus perilaku yang norak, lebay atau berlebihan) menjadi salah satu objek yang umum “diangkat” para Komika dalam bit-bitnya.

“Diangkat” tentu saja menjadi sebuah eufemisme karena dalam bit-bit yang dibawakan para Komika generasi alay bukan hanya diledek namun seringkali sudah terkesan dihujat dan dilecehkan. Akibatnya menjadi semacam hipokrisi ketika dalam perkembangannya kemudian segmen remaja (dan termasuk para alay di dalamnya) yang justru menjadi target audience utama dari industri stand-up comedy di Indonesia.

Tapi saya tidak ingin berdebat panjang lebar untuk persoalan ini. Karena di sisi lain, apa yang dianggap “hipokrisi” itu malah bisa dianggap memunculkan sisi kesuksesan yang menegakkan esensi stand-up comedy sebagai sebuah misi. 1)

Pasar yang Tertinggal

Bagi saya ada hal yang lebih menarik. Lontaran kecaman yang menghantam Komika dan dunia stand-up lokal seperti sebagian bisa dibaca dalam komentar di artikel review Hans David, seorang wartawan Jakarta Post, yang mengkritisi film Comic 8 Casino King Part 2 seharusnya kita baca sebagai satu gambaran penting dari peta eksistensi seni stand-up comedy di Indonesia itu sendiri.

Ada semacam ketidakpuasan dari segmen masyarakat yang lebih mature (dewasa) terhadap penampilan rata-rata Komika, yang justru mencerminkan satu hal penting : adanya pasar yang belum sepenuhnya berhasil digarap oleh dunia stand-up comedy di Indonesia saat ini.

Asumsi ini saya kira tidak berlebihan. Kurang lebih tiga tahun lalu, Arman Dhani di media Midjournal menulis satu tulisan yang cukup tajam bertajuk, Komedi dan Remeh Temeh Setelahnya. Tulisan yang mendatangkan berbagai tanggapan secara langsung dari pelaku dunia stand-up comedy di Tanah Air, seperti Mosidik dan Ridwan Remin, pada intinya mengungkapkan kegelisahan yang sama. Bagaimana sosok stand-up comedy di Indonesia belum cukup mampu tampil sebagaimana harapan pemirsa (dewasa) yang terbiasa melihat stand-up comedy yang dibawakan komika-komika terkenal dari luar negeri.

Dan tentu saja, menarik apabila kita mau bertanya. “Mengapa?” Mengapa stand-up comedian Indonesia tampaknya hanya cukup populer di segmen masyarakat tertentu (baca: generasi alay)? Atau lebih mengerucut lagi jika kita menelusurinya dengan bertanya, “Mengapa stand-up comedy Indonesia seperti lebih terarah pada segmen remaja (dan notabene termasuk pula para alay di dalamnya)?”

Dalam analisis saya ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini.

Pasar yang “Available”

Di masa awal stand-up comedy di Indonesia mulai menggeliat, tidak bisa dipungkiri bahwa aktor-aktor yang memprakarsai gerakan ini adalah mereka yang tergolong pada angkatan muda usia. Dan ketika mereka merintis genre stand-up comedy di Indonesia, aspek “muda usia” kemudian terbentuk bukan hanya dalam materi yang mereka bawakan, namun juga dalam pola penyebaran informasi dan sosialisasinya.

Media (media sosial) hingga bahasa (gaul) yang digunakan untuk menyosialisasikan genre komedi ini pada akhirnya memang lebih banyak menyasar pasar anak muda.

Ini tentu juga bukan tanpa alasan. Yang pertama, sebagai sebuah genre komedi yang baru maka “pasar” dari stand-up comedy di Indonesia saat itu memang belum terbentuk. Yang kedua, secara psikologis remaja atau yang berusia sedikit di atasnya (di bawah tiga puluh tahun), adalah golongan masyarakat yang paling mudah untuk terinfiltrasi sebuah tren baru, dan dalam konteks humor pun kita tahu, usia tua akan memiliki kekenyalan yang jauh lebih alot untuk bisa ditembus dengan joke.

Artinya, pada masa awal perkembangan stand-up comedy di Indonesia, pasar yang lebih “available” memanglah pasar anak muda dan remaja.

Open Mic untuk Semua Umur

Dengan booming-nya stand-up comedy, komunitas-komunitas regional kemudian muncul dan mulai menyelenggarakan Open mic. Berbeda dengan open mic yang diselenggarakan di luar negeri, “kebijakan” open mic di Indonesia rata-rata diselenggarakan di tempat-tempat yang memungkinkan kehadiran remaja. Pemilihan tempat open mic kerap menggunakan Cafe, Restoran yang ramah dikunjungi untuk semua usia. Penyelenggaraan jam open mic pun umumnya tidak dilakukan di atas jam “malam” tapi dilakukan di jam-jam “prime time” di mana anak muda dan remaja sebagai target audiensnya masih umum untuk beraktivitas di luar rumah.

Penyelenggaraan open mic dengan kebijakan seperti ini tentu saja secara langsung berperan untuk membentuk dan memperkuat pasar remaja sebagai target audiens dari pagelaran stand-up comedy. Saat ini akan sangat mudah menemukan wajah-wajah belia, sekitar usia SMP atau SMA muncul dalam perhelatan open mic yang diselenggarakan komunitas-komunitas. Dan sebaliknya justru semakin jarang bisa melihat wajah-wajah “mature” di antara penonton yang  menyimak penampilan para Komika.

“Kebijakan Televisi”

Salah satu industri yang cepat “menyambar” popularitas stand-up comedy adalah televisi. Dan ketika acara stand-up comedy diboyong untuk ditampilkan di layar kaca, penyesuaian-penyesuaian mau tidak mau harus mengikuti apa yang kita kenal sebagai “kebijakan dunia televisi”.

Komika yang muncul di televisi dihadapkan bukan hanya pada batasan materi yang terkait dengan tabu-tabu SARA, seks, kesopanan, kritik penguasa, melainkan juga dihadapkan pada penyesuaian materi agar sesuai dengan target audience yang dirancang penyelenggara program.

Ketika acara stand-up comedy di televisi kemudian berkembang dengan salah satu alternatif acaranya adalah ajang kompetisi pencarian bakat, maka konsep “idol-idolan” pun kita tahu memang sangat identik dengan target audiens remaja.

Trend Komika Muda

Ketika kemudian stand-up comedy benar-benar menjadi sebuah gelombang baru di masyarakat, tentu saja tren yang tercipta menarik banyak penggiat untuk ikut terjun ke dunia stand-up comedy. Dan karena memang idola yang muncul sebagai pelopor terlihat rata-rata masih berusia muda (atau paling tidak kalaupun sudah cukup tua penampilannya terlihat muda), maka gelombang masyarakat yang berlomba-lomba menjadi Komika pun rata-rata didominasi oleh anak muda.

Tentu saja ketika kemudian seorang Komika mencoba untuk melahirkan bit-bitnya, usia, wawasan dan concern (perhatian) terhadap isu-isu publik yang menjadi sumber keresahan untuk menciptakan bitnya akan lebih didominasi material yang dekat dengan kehidupannya sendiri maupun lingkungannya, atau dalam kata yang singkat, joke-nya ya akan bicara tentang isu anak remaja.

Akumulasi: Terjebak dalam Pasar yang Tercipta

Beberapa faktor di atas -dan mungkin faktor lainnya juga seperti persoalan teknis, tingkat kesulitan, keluasan wawasan untuk menciptakan bit- pada akhirnya kemudian seakan menciptakan “jebakan Betmen” tersendiri untuk para penggiat dunia stand-up comedy Indonesia.

Rata-rata Komika terjebak untuk mengakomodasi pasar target audiens yang tersedia. Dalam aktivitas saya berkecimpung di salah satu komunitas regional, sering kali saya melihat komika-komika menekankan pentingnya respons audiens yang rata-rata masih usia remaja ketika mencari “bantingan” untuk punchline-nya. Jadi, tidak lagi membentuk bit dalam perspektif argumentasi apa yang sebetulnya hendak disampaikan ke publik, tapi terfokus pada mencari bantingan apa yang bisa membuat penonton merespons bit-nya dengan tertawa.

Dan ketika pola demikian terjadi, akibatnya kemudian Komika tidak terpacu untuk menciptakan joke-joke yang bisa mengantarkan pemikiran-pemikiran yang cukup dalam terhadap suatu fenomena. Segala hal bisa diangkat menjadi materi, karena dibanting dalam punchline-nya pun dalam pola yang sederhana. “Yang penting lucu” menjadi jurus baku, dan pada gilirannya “mau menyampaikan apa”, sudah tidak menjadi penting lagi bagi seorang Komika.

Salah satu dampak dari hal ini adalah seperti apa yang telah diuraikan pada awal tulisan ini. Dunia stand-up comedy Indonesia di satu sisi cukup sukses untuk menarik dan mengikat target pasar remaja dan kaum muda usia, tapi seperti gagap untuk dapat memenuhi ekspektasi dari kalangan yang lebih dewasa dan menuntut joke-joke yang lebih berkualitas “dewasa”.

Dalam konteks dunia stand-up comedy Indonesia secara keseluruhan, sebetulnya Komika-komika yang membawakan materi “mature” bukanlah tidak ada. Pandji Pragiwaksono sendiri misalnya dalam tour Messake Bangsaku membawakan bit-bit yang bermain dengan isu-isu penting di masyarakat. Demikian pula seperti Sammy Notaslimboy dengan rutin Tanpa Batasnya malah lebih jauh lagi menghadirkan banyak isu-isu “berbahaya” yang bukan hanya dibawakan oleh penampil utama tetapi juga oleh komika yang menjadi penampil pembukanya seperti Rindra (ponakannyaoom). Reggy Hasibuan, Mosidik, atau bahkan Irvan Kartawirya yang saat ini menjadi salah satu peserta ajang lomba di Kompetisi Kompas (SUCI 6), adalah sedikit di antara nama-nama lain yang sesungguhnya juga telah menampilkan stand-up comedy dengan materi-materi “serius” yang cocok untuk pasar dalam usia yang sudah tidak lagi remaja.

Namun, memang menjadi sebuah kenyataannya pula, kehadiran karakter-karakter dengan materi seperti itu dari segi kuantitas tidaklah sebanyak Komika yang bermain di target audiens remaja. Dan sebagai akibatnya kehadiran mereka seperti tidak tampak, bagi kebanyakan pemirsa dewasa yang menetapkan standar lebih tinggi untuk suguhan stand-up comedy yang ingin mereka pirsa.

***

Lantas selanjutnya apa?

Saya kira kesadaran untuk membaca peta seperti di atas cukup penting apabila kita kembalikan pada pertanyaan awal yang ingin saya sampaikan pada dunia stand-up comedy Indonesia ; Quo Vadis? Mau ke mana?

Dalam kesadaran bahwa pasar stand-up comedy di Indonesia ternyata cukup unik karena terbagi menjadi dua segmen: remaja dan dewasa, rasanya keberadaan pasar itu justru harus dilihat sebagai sebuah potensi kekuatan untuk membangun industri stand-up comedy yang lebih baik ke depan.

Dari pembacaan petanya, kita bisa melihat cukup jelas. Ada kecenderungan dunia stand-up comedy Indonesia untuk terlalu fokus pada pasar remaja, dan belum cukup mengarahkan target pasar dewasa sebagai target audiensnya. Kesadaran seperti ini yang justru membawa kita sampai pada titik untuk bisa melihat adanya sebuah persimpangan yang terbentang, di mana satu jalan menuju ke hutan rimba stand-up yang masih perawan dan belum tergarap maksimal (pasar dewasa), dan satu jalan lainnya menuju ke zona peternakan yang selama ini telah menghidupi dunia stand-up comedy Indonesia.

Hal ini tentu saja akan menarik untuk dikaji. Bagaimana strategi yang bisa kita susun bersama-sama. Bagaimana menularkan kesadaran itu pada setiap penggiat dan komunitas di daerah-daerah. Apakah memungkinkan apabila komunitas regional mulai berpikir untuk membuat event-event open mic khusus yang dibungkus dengan gaya promosi dan pemilihan lokasi yang tepat disesuaikan untuk target audiens dewasa.

Bagaimana kesadaran itu harus ditumbuhkan juga pada diri setiap Komika di Indonesia, agar bisa memacu diri dan membuka wawasan lebih jauh. Terkait dengan jenuhnya persaingan komika di segmen remaja, terbukanya pasar yang lebih mature justru akan menjadi solusi yang baik bagi perkembangan karier Komika itu sendiri. Yang terpenting tentu saja kemudian mempersiapkan diri untuk memiliki kemampuan dan wawasan untuk menciptakan bit-bit joke yang memenuhi selera pasar yang lebih dewasa.

Bagaimana kemudian menggunakan pula televisi untuk membuka target market yang baru bagi para Komika Indonesia, akan menjadi bahasan yang tak kalah pentingnya.

Dan mungkin, kesadaran-kesadaran seperti ini bukan hanya penting untuk disosialisasikan, namun juga dibicarakan dalam media yang lebih besar dari blog sederhana. Dalam sebuah event di mana semua stakeholder dunia stand-up comedy Indonesia bisa berkumpul dan berembug dan menyusun strategi bersama-sama.

Entahlah, dalam sebuah Kongres stand-up comedy Indonesia mungkin? Itu bukan urusan saya sebenarnya. Karena saya bahkan belum pernah berkeinginan menyebut diri sebagai Komika.

 

Sentaby,
DBaonk

 

1) Dari kosa katanya, Stand-up Comedy sering dimaknai sebagai genre comedy dimana seorang komedian akan berdiri (Stand-up) dengan pendapat kritisnya terhadap suatu fenomena, dan menyampaikannya secara komedik. Gabungan antara kritis dan komedi ini mempunyai misi untuk menyampaikan kritik dalam cara yang mudah diterima publik, dan salah satu tolok ukur kesuksesannya adalah apabila kritik yang disampaikan tidak membuat pihak yang dikritisi menjadi antipati. Dalam konteks maraknya alay sebagai fan base dari para Komika yang dulu kerap mengkritisi mereka, tentu saja ada nilai kesuksesan misi Stand-up Comedy pula di sana. Meski variabel-variabelnya tentu tidak sesederhana itu pula, dan oleh karenanya… mari sepakat untuk tidak usah diperdebatkan. :)

 

*tulisan ini diunggah pertama kali di blog 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun